Tuesday, May 29, 2012

Diktator Modern, Buku Dobson dan Nasib Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



@bambangharyanto 
Thanks for your note. 
The book is on today's modern regimes... 
Suharto was their teacher. 
^WJD 
@DictatorBook 
May 29, 12:11 AM 

Anda kenal William J. Dobson ?
Saya tidak mengenal dia.

Gara-gara membaca resensi di situs Bloomberg Business Week (17/5/2012) tentang bukunya yang akan terbit awal Juni 2012 ini, saya bisa “kenalan” dengannya lewat Twitter. Ia editor politik dan luar negeri dari situs Slate yang ternama.

Buku Pak WJD itu berjudul The Dictator’s Learning Curve: Inside the Global Battle for Democracy (Doubleday, 2012). 352 halaman. Isi intinya mengupas taktik-taktik licik para diktator era moderen dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam resensi itu termuat pendapat para diktator modern memahami bahwa lebih baik mereka tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum daripada secara terang-terangan melakukan pencurian terhadapnya.

Petikan resensi yang ditulis Joshua Kurlantzick, ahli kajian Asia Tenggara dari Council on Foreign Relations, antara lain :

“…tatkala gerakan protes demokrasi saling belajar satu sama lain, rejim otoriter juga melakukan adaptasi dan membangun jenis kediktatoran yang unik pada Abad 21 ini. Rejim-rejim otokrat seperti Vladimir Putin, Hugo Chavez dan Hu Jintao mengkooptasi bentuk-bentuk demokrasi, seperti pemilu, organisasi NGO, Internet dan media sosial yang nampak bebas, tetapi mereka manfaatkan itu semua dalam proses menegakkan otoritasnya.

Wajah demokrasi ia pampangkan ke muka dunia, bahkan juga kepada rakyatnya sendiri, sembari terus mendominasi kekuasaan tanpa tindak-tindak kekerasan gaya lama model Muammar Qadaffi atau Joseph Stalin.”

Bangsa Indonesia, mari kita bercermin. Kemenangan kelompok radikal terkait kasus konser Lady Gaga apa punya kaitan dengan tesisnya William Dobson itu ?

Juga dalam konteks Pemilu dan Pilpres 2009 di Indonesia, apakah Anda masih ingat kehebohan terkait kekisruhan data daftar pemilih, sampai merebaknya kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang dikaitkan dengan tuduhan manipulasi 18 juta suara di Pemilu dalam ocehan Nazaruddin saat dalam pelariannya di Kolombia ?

***  

Sang guru. Ketika membaca-baca resensi itu, saya agak heran : mengapa Soeharto tidak ia sebut-sebut ? Untuk mencari tahu, segera saya mendaftarkan diri menjadi pengikut Pak Dobson dalam akun Twitternya. Sungguh aneh, ia malah gantian menjadi pengikut saya :-).

Kemudian saya tanyakan via Twitter mengapa Soeharto nampak tidak ia sebut-sebut dalam bukunya yang bersampul merah dan bergambar tangan hitam memegang tiga pucuk bunga putih.

Jawaban Pak Dobson seperti tersaji di awal tulisan ini :  

Suharto was their teacher.
Suharto adalah guru mereka.

Bukankah dia enam kali terus-menerus memenangkan pemilu ?
Bukankah ia termasuk gurunya presiden kita yang kini berkuasa ?

Para pejuang demokrasi, rupanya Anda bakal tidak punya kesempatan untuk sejenak beristirahat – hingga saat ini. Dan nanti.


Wonogiri, 29 Mei 2012