Thursday, December 27, 2018

Freeport dan Dinamika Mutakhir Dunia Pertambangan Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto

Orang memperoleh mimpi agar kencing di kebun. Lalu ketika merasa enak, tempat bekas kencingnya itu dicangkul, lalu keluarlah dari dalam bumi harta karun : minyak, batubara, emas, nikel, tembaga dan barang tambang yang lain. Karena dia tidak bisa mengelola, ia diamkan saja harta karun itu sampai dirinya mampu mengeksploitasinya.

Cerita di atas hanya fiksi. Tetapi seorang Amien Rais ketika berbicara tentang Freeport di awal-awal reformasi dulu, juga berpendapat begitu. Dengan semangat nasionalisme, dia ingin Freeport dinasionalisasi. Lalu tambang itu menurutnya sebaiknya didiamkan saja dulu sampai bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelolanya.

Orang tambang membalas : Harta karun pertambangan itu tidak sama dengan uang di bank. Uang di bank walau didiamkan mampu menghasilkan bunga, tetapi tambang yang dibiarkan tidak akan menghasilkan apa-apa. Tambang harus dikelola dulu agar menghasilkan, dan bila sesuatu bangsa belum mampu, dapat bekerja sama dengan fihak lain.

Pilihan melakukan kerja sama seperti itu tidak hanya eksklusif oleh bangsa Indonesia. Tetapi hampir semua negara berkembang yang memiliki SDA juga melakukan hal yang sama. Mereka bahkan berlomba-lomba agar mampu menarik investasi untuk kemakmuran negara masing-masing.

Mengapa mereka mengundang investor asing ? Karena sesuatu negara yang berambisi mampu secara mandiri mengelola pertambangannya sendiri membutuhkan 5 M, yang meliputi : man, management, money, machine dan material. Kilas balik, di tahun 1967 saat Freeport masuk, Indonesia hanya punya material, tambang. Apakah lalu negara maju atau pebisnis tambang tersebut mau secara cuma-cuma dan berbaik hati memberikan 4 M lainnya kepada Indonesia ?

Jelas tidak. Mereka pebisnis yang motifnya adalah mencari untung, kalau bisa ya sebanyak-banyaknya. Maka pemerintah saat itu menerbitkan Kontrak Karya (KK) sebagai payung hukum yang berusaha win-win pada kedua belah fihak. Baik bagi investor pertambangan mau pun pemerintah Republik Indonesia. Setiap kali KK itu direvisi dalam beberapa generasi, dengan tujuan agar Indonesia semakin memperoleh lebih banyak manfaat.

Pemerintah kini, dengan merujuk UU Minerba, sedang melakukan negosiasi lagi dengan Freeport. Tujuannya, agar usaha pertambangan itu mampu menghadirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Sekarang telah menjadi kenyataan, Indonesia jadi pemegang saham mayoritas.

Penulis berpose bersama buku biografi tokoh pertambangan Soetaryo Sigit, di depan stand PT Freeport Indonesia dalam event Asia GeoSEA Congress and IAGI Annual Convention, 12 Oktober 2016 di Bandung.
Bersama Ratih Poeradisastra saya merasa beruntung bisa sedikit tahu seluk-beluk dunia pertambangan Indonesia ketika menulis biografi tokoh sentral sejarah pertambangan Indonesia, alm Bapak Soetaryo Sigit.

Berjudul : Soetaryo Sigit : Membangun Pertambangan Untuk Kemakmuran Indonesia (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016)