Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
“Mengapa kau selalu berpakaian hitam-hitam setiap waktu ?”
Itulah sepotong dialog dari drama Burung Camar (1896) karya pengarang drama Rusia terkenal, Anton Chekhov (1860–1904). Saat itu tokoh Medvedenko bertanya kepada Masha. Apa jawabnya ?
“Saya sedang meratapi hidup saya. Saya tidak berbahagia.”
Warna hitam rupanya warna untuk duka. Tetapi bagaimana menjelaskan, walau mungkin ini suatu kebetulan, bila sebagian buku yang saya miliki dan bertopik Internet dan dunia digital memiliki sampul berwarna hitam ?
Bahkan pelbagai penerbit yang berbeda ketika menerbitkan buku yang membahas topik hot tersebut, termasuk buku maha terkenalnya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995), sampul bukunya juga berwarna hitam. Bukunya Ray Hammond, Digital Business : Surviving and Thriving in an On-Line World (1996), kembali sampulnya didominasi warna hitam.
Coba tengok lagi buku-buku terbitan Harvard Business School Press berikut ini. Buku karya Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (1996). Buku berat ini merupakan oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., ketika ia meliput Olimpiade Atlanta 1996.
Kemudian cek sampul bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, Net Gain : Expanding Markets Through Virtual Communities (1997). Kedua sampul buku tersebut juga didominasi oleh warna hitam. Demikian juga bukunya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun, Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996).
Apakah memang Internet itu pas dicitrakan dengan warna hitam ? Dan bukankah warna hitam sering pula diidentikkan sebagai warna kematian ? Untuk buku yang disebut terakhir memang terdapat kalimat yang menjelaskan kaitan antara Internet dan kematian. Tetapi dalam konteks pemanfaatan Internet oleh perusahaan.
”Corporate Web sites work best as flagpoles or cemeteries”, demikian tulis Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun. Situs web perusahaan, menurutnya paling cocok digunakan sebagai penanda atau sebagai kuburan. Karena menurut mereka banyak CEO dan CFO yang terjebak dalam mitos bahwa situs web merupakan “pasar dan sumber pemasukan yang tidak terbatas.”
Senyatanya, situs web ideal bila digunakan untuk mengenalkan produk-produk dan jasa-jasa baru. Tetapi alih-alih, kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu dipakai untuk memajang proyek dan produk yang nasibnya menjelang kematian. Pemborosan. Salah strategi.
Mabuk digital. Buku satu ini saya beli di Times Bookshop, Indonesia Plaza, Thamrin, Jakarta, 20 Februari 1997. Hasil dari honor artikel saya berjudul “Ambisi Microsoft di Tahun 1997” yang termuat di Media Indonesia, 23 Januari 1997.
Buku ini mengandung ratusan tip agar kita mampu memanfaatkan media digital secara maksimal. Kalau hari-hari ini muncul heboh masalah pencurian password, ada dua teman saya mengalami bencana sebagai kurban phising itu, Mandel dan Van der Leun sudah memberikan nasehat : password itu hanya tepat berada di dua tempat, di kepala pemiliknya dan di komputer induk layanan email bersangkutan.
“Jadilah Christopher Columbus, “ adalah pula tip lainnya. Kita dianjurkan untuk menjelajah Internet, terutama pada situs-situs yang terasa asing. Karena harta karun informasi itu sering kita temui secara serendipity di tempat-tempat aneh itu pula.
Terima kasih, Thomas Mandel.
Ia adalah futuris profesional dan konsultan manajemen pada Stanford Research Institute International. Di majalah TIME (Mei/1995) yang berisi laporan khusus membahas fenomena Internet, ia menulis artikel menarik. Judulnya “Confessions of a Cyberholic”, yang merupakan pengakuan dirinya sebagai seseorang yang kecanduan berat komputer dan Internet. Ilustrasinya berupa gambar kartun dirinya yang ditemani seekor (?) komputer yang berwujud kera.
Gara-gara merasa bosan hanya bisa menonton televisi saat proses penyembuhan operasi di punggungnya, Mandel meminjam komputer dan modem dari kantornya, lalu lewat jaringan telepon dirinya terhubung dengan BBS (Bulletin Board Services) lokal. BBS adalah cikal bakal Internet. Itu terjadi di tahun 1985. Kecanduannya terhadap komunikasi on-line, dan kemudian pada Internet mulai bersemi. Lalu meledak-ledak. Thomas Mandel tercatat sebagai salah satu tokoh yang mewarnai perkembangan dunia Internet di Amerika Serikat, dan tentu saja, dunia.
Gerard Van der Leun yang menulis kenangan tentangnya mengatakan bahwa <"mandel"> (dalam buku aslinya ditulis tanpa tanda kutip, untuk menyimbolkan seseorang yang telah almarhum ; sebab bila ditulis tanpa tanda kutip itu maka di Internet nama “mandel” tersebut akan hilang!) tidak menghasilkan peranti lunak, peranti keras atau koneksi Internet. Juga tidak menyediakan fasilitas tunjuk dan klik yang mempermudah penjelajahan mengarungi samudera data di dunia maya.
Apa yang diberikan Thomas Mandel kepada Internet adalah seluruh jiwanya.
Menurut Van der Leun lagi, Thomas Mandel sangat faham, sementara banyak perusahaan dan individu gagal mengerti, bahwa koneksi on-line di Internet itu bukanlah wahana untuk menjual sesuatu atau menggerojoki informasi kepada khalayak yang kelaparan informasi.
Melainkan, menurut Mandel, Internet merupakan sarana bagi semua orang untuk terhubung dengan orang-orang lainnya, secara apa adanya dan jujur, genuine, tanpa filter sebagaimana berlaku pada media-media lama (media berbasis atom = media cetak). Untuk mengukuhkan, betapa pun remehnya, kehadiran komunitas insan-insan sejiwa yang kini secara kebetulan terpisahkan oleh batas-batas geografi, mampu menciptakan lingkungan di mana kandungan atau isi karakter seseorang yang pertama dan yang terutama adalah yang tercermin pada apa-apa yang dilihat oleh mereka.
Penyerahan diri secara total terhadap Internet membuat Mandel terperosok pada apa yang ia sebut sendiri sebagai terkena cyberaddiction dan bahkan menyebut dirinya sebagai abuser. Gejala kronisnya : ia gambarkan dirinya selalu terobsesi untuk memiliki komputer dengan segala periferalnya yang serba mutakhir dan canggih.
Sampai-sampai Mandel mengaku, “mengunjungi supermarket komputer lokal lebih sering dibanding mengunjungi toko-toko buku di kotanya”. Syukurlah, kemudian ia mengaku bisa mengerem kecanduannya itu.
“Mengunjungi dan seringkali memposting tulisan di milis Internet mengenai peralatan olah raga sama sekali tidak sama dengan berolah raga itu sendiri. Bermain Tetris (di komputer) bukan sejalan dengan resep atau nasehat dokter saya dalam rangka penyembuhan penyakit carpal-tunnel syndrome yang saya derita. Mendiskusikan pernak-pernik pakaian dalam wanita dalam forum chatting bukan pula pengganti yang sepadan dengan suasana ber-date di hari Jumat malam yang sebenarnya”, aku Mandel.
Benarkah Mandel berhasil mengerem kecanduannya sebagai seorang cyberholic ? Babak akhir artikelnya itu mampu mengundang senyum. Ia ternyata memang tidak mampu mengendalikan kecanduannya tersebut !
Thomas Mandel meninggal dunia, 5 April 1995.
Lima belas tahun lalu. Karena sakit kanker paru-paru.
Dalam usia 49 tahun.
Gerard Van der Leun menulis : “Mandel meninggal dengan tenang. Ia didampingi kekasih yang mencintainya, diiringi nomor Ode to Joy dari Simfoni Nomor 9 Beethoven. Saat itu saya berfikir, inilah momen menjemput kematian yang terindah.”
Selamat beristirahat dengan damai, Pak Mandel.
Hari ini saya akan mengenakan pakaian hitam, untuk mengenangnya.
Wonogiri, 24/3-6/4/2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
bisa dibilang buku-buku disini lumayan berat untuk ukuran saya yang penggemar novel ringan.
ReplyDeleteTapi..
sangat berguna untuk referensi selingan!
I'll try this one!
Dear Dela,maafkan saya.Mungkin kebetulan selera kita berbeda, dan itu sah adanya. Silakan ambil yang bisa Dela kunyah,dan tinggalkan yang terasa berat.
ReplyDelete