Friday, December 10, 2010

5600 Jokes For All Occasions

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


"Narcoleptic."
Julukan majalah The Economist untuk Gus Dur.

Itu terkait kebiasaan Gus Dur yang nampak tertidur dalam suatu acara, tetapi begitu terbangun dirinya mampu menjawab secara tajam segala hal-ihwal yang ditanyakan para wartawan.

Paparan di atas tercakup dalam tulisan obituari majalah tersebut, yang ditulis setahun lalu itu. Tulisan itu membuat saya sadar betapa sangat sedikit yang telah saya ketahui tentang Gus Dur.

Kesadaran tersebut meruyak ketika saya memperoleh SMS (9/12/2010) dari Yogyakarta. Dari pengirim yang tidak saya kenal.

Nama pengirimnya : Sudaryanto. Mahasiswa S-2 Universitas Negeri Yogyakarta. Rupanya ia menemukan blog saya ini. "Kebetulan saya sedang menulis tesis tentang wacana humor Gus Dur. Kapan-kapan saya silaturahmi dengan panjenengan," tulisnya.

Saya terenyak.

Rasanya tidak banyak yang saya ketahui dari humor-humor Gus Dur. Saya hanya langsung teringat peristiwa yang terjadi pada tahun 1986. Tidak bosan saya selalu mengulang cerita ini, ketika memergokinya di toko buku Gramedia Blok M, tepatnya tanggal 25 Oktober 1986. Saat itu Gus Dur memberi saya sebuah riddle, teka-teki, cangkriman yang menjurus.

Di halaman dalam buku karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions : Over 550 Subjects to Help You Entertain, Insult, and Amuse Any Audience (1980, foto di bawah), buku yang saya beli saat itu, saya tuliskan cangkriman Gus Dur tersebut :

"Rambut wanita MANA yang paling lebat, paling hitam dan paling keriting ?" Itu tanya Gus Dur kepada saya.

Saya langsung tergelak. Sekaligus wajah saya pasti nampak bodoh, karena saat itu saya memang tidak tahu apa jawaban yang pasti. Syukurlah Gus Dur segera menimpali :

"Rambut wanita Papua Nugini."

Saya kembali tergelak. Kini lebih keras. Beberapa pasang mata langsung nampak mencereng ke arah saya. Saya tak peduli. Sebelum berpisah, saat itu Gus Dur masih juga memberikan teka-teki dan misteri kepada saya. Melalui ujaran : "Hanya kita-kita saja yang masih waras."

Teka-teki ini baru saya ketahui maknanya belasan tahun kemudian. Jawaban dari teka-teki itu, kini menjadi bagian dari isi buku saya yang baru terbit, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010).

Sibuk memoles citra. Isi artikel obituari majalah bisnis Inggris ternama itu juga menampilkan cerita tentang kewarasan beliau sebagai insan. Waras yang ia maksudkan adalah keberanian dan ketulusan untuk menunjukkan, dan bahkan melucukan kekurangan dirinya sendiri.

Benar-benar sebuah kualitas keluhuran yang langka ditemui di antara pemimpin-pemimpin kita masa kini. Karena mereka selalu nampak sibuk mempraktekkan strategi kehumasan untuk memoles diri, agar selalu tampil kinclong dan sempurna di muka rakyatnya.

Kewarasan Gus Dur itu tegas mencuat dan menginspirasi ketika dirinya dipaksa lengser dari kursi kepresidenan di tahun 2001. Saat ditanya wartawan apakah hal itu akan disesalinya, dengan enteng Gus Dur menjawab : "Sama sekali tidak. Saya lebih menyesal ketika saya kehilangan 27 rekaman Simfoni Kesembilan dari Beethoven."

Bahkan begitu lengser Gus Dur segera memberi kabar kepada para wartawan : "Mulai esok, saya akan menceritakan lelucon-lelucon lagi."

Presiden RI ke-4 yang oleh Bill Clinton dijuluki sebagai presiden paling lucu di dunia itu meninggal dunia dalam usia 69 tahun.
Tanggal 30 Desember 2009.

Delapan tahun sebelumnya, 30 Desember 2001, pelawak Dono Warkop, juga meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

Adakah kesamaan tanggal meninggal ini hanya sebagai suatu kebetulan belaka ?

Bagi saya, hal itu ternyata mampu menerbitkan gagasan. Bahwa untuk mengenang keduanya, dan demi menunjang kemajuan dunia humor Indonesia sebagai pilar penjaga kewarasan nurani bangsa, bersama ini dengan rendah hati mengusulkan agar tanggal 30 Desember diproklamasikan oleh para pencinta humor Indonesia sebagai hari bersejarah.

Hari Humor Nasional.
Atau Hari Humor Indonesia.

Dengan harapan, di momen tersebut makna luhur humor bagi kemanusiaan dapat kita kemukakan, kita rayakan, juga kita reguki. Sambil merujuk beberapa ucapan bernas berikut ini tentang humor, maka kita semoga semakin yakin betapa humor pantas sekali sebagai harta jiwa yang senantiasa kita perjuangkan sebagai bekal bangsa Indonesia dalam mengarungi peradaban.

"Humor is mankind's greatest blessing."
Humor merupakan rahmat terbesar bagi kemanusiaan.
- Mark Twain

"If I had no sense of humor, I would long ago have committed suicide." Apabila saya tidak memiliki sense of humor maka saya telah melakukan bunuh diri pada waktu yang telah lalu.
- Mohandas Gandhi

"Humor is something that thrives between man's aspirations and his limitations. There is more logic in humor than in anything else. Because, you see, humor is truth. "
Humor merupakan sesuatu yang tumbuh subur di antara aspirasi manusia dan keterbatasannya. Terdapat lebih banyak logika pada humor dibanding hal-hal lainnya. Karena seperti Anda tahu, humor adalah kebenaran.
- Victor Borge

"When humor goes, there goes civilization."
Ketika humor lenyap, lenyap juga peradaban.
- Erma Bombeck

"You can turn painful situations around through laughter. If you can find humor in anything, even poverty, you can survive it."
Anda mampu mengubah keadaan yang penuh penderitaan dengan humor. Apabila Anda mampu menghumori segala hal, bahkan kemiskinan, Anda akan mampu bertahan.
- Bill Cosby


Terlebih lagi momen yang mendekati tutup tahun itu merupakan waktu yang tepat bagi warga bangsa ini untuk berefleksi. Untuk menyadari kekurangan-kekurangan diri sendiri.

Dan kemudian bersepakat menancapkan tekad untuk berbuat yang lebih baik di tahun depan yang siap dijelang.


Wonogiri, 10 Desember 2010

Thursday, November 25, 2010

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau
Penulis : Bambang Haryanto
Format: 13 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-96413-7-0
Jumlah halaman: xxxii +205
Harga: Rp 39.000,-
Soft cover
Terbit: 24 November 2010

Sinopsis : Membaca Komedikus Erektus, Anda akan merasa ada sesuatu yang menyelinap bersijingkat bukan saja ke otak Anda.

Tetapi juga ke rasa.
Hati. Pori-pori.
Bahkan ke pembuluh darah.

Sesuatu itu seperti mendesak-desak, mencubit-cubit, kadang bahkan menggaruk-garuk perasaan intelektual Anda.

Ia begitu rewel, mengajuk-ajuk, mengulik-ulik. Anda akan tergiring untuk duduk termenung-menung, terbengong-bengong dan seringkali bahkan tidak mampu melakukan apa-apa karena pengaruh “sihir”-nya.

Humornya sungguh mencengangkan, karena gagasan dan wawasannya sanggup menembus batas ruang, waktu dan hegemoni disiplin ilmu.

-Darminto M. Soedarmo, mantan pemimpin redaksi majalah HumOr.

• Video Porno, Guantanamo dan Barack Obama.
• Heboh Bank Century: Canda dan Ironi.
• In Memoriam Gus Dur (1940-2009) : "Hanya Kita Saja Yang Masih Waras."
• Bir Obama, Polisi Korup dan Ketegasan SBY Kita.
• Ancaman Flu Babi, Golput dan Album SBY 2014.
• Facebook, Lumpur Lapindo dan Politikus Kita.
• Kejujuran dan Komedian Baru di Senayan.

Endorsement:

“Saya yakin judul buku ini tidak kalah heboh ketimbang buku berjudul ‘Gurita Sebuah Lokasi Itu’. Penulis lihai bermain secara bukan main-main dengan logika. “

-Jaya Suprana, Pendiri, Ketua dan Anggota Perhimpunan Pecinta Humor

“Dalam dunia ‘humor kuliner’, Bambang Haryanto jago analisis serta jago masaknya! Indonesia perlu puluhan orang seperti Bambang Haryanto, baru kemudian ada kemajuan di negeri ini. Di sanalah nantinya dunia humor kita akan lebih kaya, pluralis, dan makin cerdas!”

-Effendi Gazali, Ph.D. MPS ID, mantan juara lawak Sumatera Barat, alumnus Cornell University USA & Radboud University, the Netherlands

“Jika Anda ingin tertawa hari ini, juga memperoleh petunjuk meraih sukses? Bacalah buku ini.Titik !”

-Jerry Gogapasha, komedian dan ventriloquist, jerrygogapasha.com

Thursday, October 21, 2010

Mary J. Cronin, Internet dan Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Mary J. Cronin.
Itulah nama perempuan berwajah anggun dan karismastis ini.

Sayangnya, ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI (JIP-FSUI) di Kampus Rawamangun era 1980-an, seingat saya, namanya tidak pernah muncul dalam perkuliahan.

Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, Bapak Karmidi Martoadmodjo sampai Bapak Sulistyo Basuki, sepertinya belum pernah menyebut-nyebut nama itu pula.

Tak apalah.
Saya mengenalnya dari majalah Library Journal.

Kalau ada waktu luang, di perpustakaan JIP-FSUI yang berada di lantai 2 Unit 3 Kampus FSUI, saya membuka-buka majalah itu. Biasanya, setumpuk majalah itu atau yang sudah terjilid, saya bawa ke luar ruang.

Kemudian membaca-bacanya di beranda, di atas kursi rotan panjang yang tua, yang terletak di sisi barat ruang perpustakaan jurusan tersebut. Bisa sambil melihat-lihat hijau daun, berbercak putih yang berpadu bunga-bunga kuning, dari pohon-pohon akasia yang merindangi kampus itu.

Saya memang nekat "melanggar aturan" dengan membawa bahan pustaka ke luar perpustakaan. Terima kasih Pak Wakino dan Nasfudin, petugas perpustakaan JIP-FSUI, yang rupanya memaklumi alasan saya. Karena di luar, sambil membaca-baca itu saya juga bisa bernikmat-ria dengan asap plus nikotin yang di tahun 1980 itu masih membekap ketat diri saya.

Bahkan, di masa itu, bergabung dengan sesama mahasiswa yang juga perokok seperti Hartadi Wibowo dan Subagyo Ramelan, kami dikenal sebagai trio penghuni "the smoking corner" di kelas. Penyebar kabut racun. Syukurlah, pada tahun 1989, saya bisa berhenti merokok, setelah menjadi budak nikotin lebih dari 16 tahun.

Lupakanlah nikotin. Mari kembali ke Mary J. Cronin.

Kalau tak salah ingat, ia mengisi kolom tetap di majalah tersebut dengan topik seputar aplikasi teknologi informasi di perpustakaan. Topik tersebut masih terasa asing, dan baru, utamanya dalam atmosfir dunia kepustakawanan di Indonesia saat itu.

Internet dengan intelejensia. Waktu pun bergulir. Empat belas tahun kemudian, suatu keajaiban, saya bisa "ketemu" dengan Mary J. Cronin kembali. Bukan di majalah Library Journal lagi. Sebagai anggota perpustakaan American Cultural Center (ACC), Wisma Metropolitan 2, saya seperti dapat anugerah ketika memergoki isi majalah Fortune, 18 Maret 1996.

Di situ terdapat wawancara komprehensif antara editor IT majalah bisnis bergengsi itu, Rick Tetzeli, dengan Mary J. Cronin. Judul artikelnya, "Getting Your Company's Internet Strategy Right."

Dalam pengantarnya Rick Tetzeli menulis : "Mary Cronin menemukan Internet sebelum Internet menjadi bahan kehebohan pada dekade ini. Sebagai pustakawan universitas di Boston College, Cronin memanfaatkan Internet untuk meriset data pada tahun 1980-an.

Kini dalam empat tahun terakhir ia menulis, memberi kuliah dan memberikan konsultasi bagaimana perusahaan mampu memanfaatkan Internet dan teknologinya sebagai bagian dari strategi perusahaan bersangkutan. Sekarang ia menjabat sebagai professor di Carroll School of Management dari Boston College, Cronin memberikan wawasan, quiet intellegence, untuk kajian yang kini lebih menonjol heboh hura-huranya itu.

Bukunya yang segera terbit, The Internet Strategy Handbok : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menunjukkan bagaimana kalangan bisnis dapat memanfaatkan Internet jauh lebih signifikan dibanding hanya tampil genit berpamer-ria dengan situs-situs web yang molek semata. Cronin membeber pikiran-pikirannya secara persuasif bahwa perusahaan membutuhkan perencanaan yang cermat agar mereka mampu memanfaatkan Internet untuk kebutuhan di dalam mau pun di luar perusahaan."

Akhirnya, Rick Tetzeli menyimpulkan : buku ini merupakan buku panduan untuk perusahaan-perusahaan Amerika.

Kramat sampai Atlanta. Diam-diam, saat itu, saya merasa bangga. Bahwa seorang pustakawan telah mampu melakukan "penjarahan," dengan mengaplikasikan wawasan dan ilmu pengetahuan miliknya sebegitu jauh jangkauannya. Bahkan mampu menerobos batas-batas teritori ranah tradisionalnya. Ilmu perpustakaan a la ramuan Cronin itu mampu memperkuat otot-otot yang menunjang keberhasilan dunia bisnis, dunia korporasi, bahkan pada pilar-pilar yang paling fundamental di era perubahan dewasa ini.

Suatu kebetulan, ketika keluyuran di lapak majalah bekasnya Pak Yono ("asal Sragen, hijrah ke Jakarta sejak 1957-an") di Kramat Raya, Depan Gedung PMI, saya menemukan lagi majalah Fortune edisi 18 Maret 1996. Tentu, saya beli. Foto Mary J. Cronin di atas juga saya ambil dari majalah bisnis ini.

Keajaiban masih berlanjut. Ketika adik saya, Broto Happy W., yang reporter Tabloid BOLA, meliput Olimpiade Atlanta 1996, saya wanti-wanti berpesan untuk dioleh-olehi buku karya Mary J. Cronin itu. Syukurlah, buku itu ia beli pada tanggal 17 Juli 1996, dan kini berjejer dengan beberapa buku bersampul hitam, buku-buku bertopik Internet, yang juga terbitan dari Harvard Business School Press.

Buku yang isinya tidak mudah dikunyah. Salah satu isi buku itu yang relevan dengan komunitas penulis surat pembaca yang saya dirikan, Epistoholik Indonesia, dan sering saya kutip antara lain tulisan Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones Business Information Services.

Ia membuka cakrawala saya saat menjabarkan perbedaan antara media cetak dan media Internet. Menurutnya, di dunia media cetak aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi terpisah-pisah. Tetapi kini berkat kehadiran Internet, semua proses tersebut terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari konsumen sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah, menurut saya, yang masih banyak tidak disadari oleh para pengelola media cetak dan situs di Indonesia.

Wawasan dari Pak Gerdy itulah yang kini menjadi salah satu sacred mission saya : berusaha mengabarkan hadirnya perubahan berkat kehadiran Internet. Utamanya sebagai orang yang merasa memperoleh anugerah karena dalam bagian hidup saya yang terindah pernah terciprat untuk memiliki DNA ilmu perpustakaan, walau pun selama ini memilih untuk tidak berkarya dalam kurungan tembok-tembok gedung perpustakaan.

Ada nasehat dari Mary J. Cronin yang mungkin bermanfaat bagi kita. Ketika ditanya bagaimana agar peselancar Internet bisa tertarik melakukan bookmark, atau secara rutin mengunjungi situs-situs kita di Internet, ia pun menjawab :

"Informasi yang bermanfaat, itulah kuncinya. Anda harus memberi mereka sesuatu yang berharga dalam transaksi ini. Ini bukan perbuatan berderma, altruistik. Melainkan ini merupakan strategi pemasaran yang baik."

Terima kasih, Ibu Mary, untuk jeweran ini. Karena selama ini saya sering mejeng di Internet hanya semata-mata tergoda hasrat tak terkendali untuk berasyik-masyuk bagi diri sendiri.


Wonogiri, 20 Oktober 2010

Tuesday, April 06, 2010

Rules of the Net dan Thomas Mandel : 15 Tahun Setelah Kepergiannya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Mengapa kau selalu berpakaian hitam-hitam setiap waktu ?”

Itulah sepotong dialog dari drama Burung Camar (1896) karya pengarang drama Rusia terkenal, Anton Chekhov (1860–1904). Saat itu tokoh Medvedenko bertanya kepada Masha. Apa jawabnya ?

“Saya sedang meratapi hidup saya. Saya tidak berbahagia.”

Warna hitam rupanya warna untuk duka. Tetapi bagaimana menjelaskan, walau mungkin ini suatu kebetulan, bila sebagian buku yang saya miliki dan bertopik Internet dan dunia digital memiliki sampul berwarna hitam ?

Bahkan pelbagai penerbit yang berbeda ketika menerbitkan buku yang membahas topik hot tersebut, termasuk buku maha terkenalnya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995), sampul bukunya juga berwarna hitam. Bukunya Ray Hammond, Digital Business : Surviving and Thriving in an On-Line World (1996), kembali sampulnya didominasi warna hitam.

Coba tengok lagi buku-buku terbitan Harvard Business School Press berikut ini. Buku karya Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (1996). Buku berat ini merupakan oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., ketika ia meliput Olimpiade Atlanta 1996.

Kemudian cek sampul bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, Net Gain : Expanding Markets Through Virtual Communities (1997). Kedua sampul buku tersebut juga didominasi oleh warna hitam. Demikian juga bukunya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun, Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996).

Apakah memang Internet itu pas dicitrakan dengan warna hitam ? Dan bukankah warna hitam sering pula diidentikkan sebagai warna kematian ? Untuk buku yang disebut terakhir memang terdapat kalimat yang menjelaskan kaitan antara Internet dan kematian. Tetapi dalam konteks pemanfaatan Internet oleh perusahaan.


”Corporate Web sites work best as flagpoles or cemeteries”, demikian tulis Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun. Situs web perusahaan, menurutnya paling cocok digunakan sebagai penanda atau sebagai kuburan. Karena menurut mereka banyak CEO dan CFO yang terjebak dalam mitos bahwa situs web merupakan “pasar dan sumber pemasukan yang tidak terbatas.”

Senyatanya, situs web ideal bila digunakan untuk mengenalkan produk-produk dan jasa-jasa baru. Tetapi alih-alih, kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu dipakai untuk memajang proyek dan produk yang nasibnya menjelang kematian. Pemborosan. Salah strategi.

Mabuk digital. Buku satu ini saya beli di Times Bookshop, Indonesia Plaza, Thamrin, Jakarta, 20 Februari 1997. Hasil dari honor artikel saya berjudul “Ambisi Microsoft di Tahun 1997” yang termuat di Media Indonesia, 23 Januari 1997.

Buku ini mengandung ratusan tip agar kita mampu memanfaatkan media digital secara maksimal. Kalau hari-hari ini muncul heboh masalah pencurian password, ada dua teman saya mengalami bencana sebagai kurban phising itu, Mandel dan Van der Leun sudah memberikan nasehat : password itu hanya tepat berada di dua tempat, di kepala pemiliknya dan di komputer induk layanan email bersangkutan.

“Jadilah Christopher Columbus, “ adalah pula tip lainnya. Kita dianjurkan untuk menjelajah Internet, terutama pada situs-situs yang terasa asing. Karena harta karun informasi itu sering kita temui secara serendipity di tempat-tempat aneh itu pula.

Terima kasih, Thomas Mandel.

Ia adalah futuris profesional dan konsultan manajemen pada Stanford Research Institute International. Di majalah TIME (Mei/1995) yang berisi laporan khusus membahas fenomena Internet, ia menulis artikel menarik. Judulnya “Confessions of a Cyberholic”, yang merupakan pengakuan dirinya sebagai seseorang yang kecanduan berat komputer dan Internet. Ilustrasinya berupa gambar kartun dirinya yang ditemani seekor (?) komputer yang berwujud kera.

Gara-gara merasa bosan hanya bisa menonton televisi saat proses penyembuhan operasi di punggungnya, Mandel meminjam komputer dan modem dari kantornya, lalu lewat jaringan telepon dirinya terhubung dengan BBS (Bulletin Board Services) lokal. BBS adalah cikal bakal Internet. Itu terjadi di tahun 1985. Kecanduannya terhadap komunikasi on-line, dan kemudian pada Internet mulai bersemi. Lalu meledak-ledak. Thomas Mandel tercatat sebagai salah satu tokoh yang mewarnai perkembangan dunia Internet di Amerika Serikat, dan tentu saja, dunia.

Gerard Van der Leun yang menulis kenangan tentangnya mengatakan bahwa <"mandel"> (dalam buku aslinya ditulis tanpa tanda kutip, untuk menyimbolkan seseorang yang telah almarhum ; sebab bila ditulis tanpa tanda kutip itu maka di Internet nama “mandel” tersebut akan hilang!) tidak menghasilkan peranti lunak, peranti keras atau koneksi Internet. Juga tidak menyediakan fasilitas tunjuk dan klik yang mempermudah penjelajahan mengarungi samudera data di dunia maya.


Apa yang diberikan Thomas Mandel kepada Internet adalah seluruh jiwanya.

Menurut Van der Leun lagi, Thomas Mandel sangat faham, sementara banyak perusahaan dan individu gagal mengerti, bahwa koneksi on-line di Internet itu bukanlah wahana untuk menjual sesuatu atau menggerojoki informasi kepada khalayak yang kelaparan informasi.

Melainkan, menurut Mandel, Internet merupakan sarana bagi semua orang untuk terhubung dengan orang-orang lainnya, secara apa adanya dan jujur, genuine, tanpa filter sebagaimana berlaku pada media-media lama (media berbasis atom = media cetak). Untuk mengukuhkan, betapa pun remehnya, kehadiran komunitas insan-insan sejiwa yang kini secara kebetulan terpisahkan oleh batas-batas geografi, mampu menciptakan lingkungan di mana kandungan atau isi karakter seseorang yang pertama dan yang terutama adalah yang tercermin pada apa-apa yang dilihat oleh mereka.

Penyerahan diri secara total terhadap Internet membuat Mandel terperosok pada apa yang ia sebut sendiri sebagai terkena cyberaddiction dan bahkan menyebut dirinya sebagai abuser. Gejala kronisnya : ia gambarkan dirinya selalu terobsesi untuk memiliki komputer dengan segala periferalnya yang serba mutakhir dan canggih.

Sampai-sampai Mandel mengaku, “mengunjungi supermarket komputer lokal lebih sering dibanding mengunjungi toko-toko buku di kotanya”. Syukurlah, kemudian ia mengaku bisa mengerem kecanduannya itu.

“Mengunjungi dan seringkali memposting tulisan di milis Internet mengenai peralatan olah raga sama sekali tidak sama dengan berolah raga itu sendiri. Bermain Tetris (di komputer) bukan sejalan dengan resep atau nasehat dokter saya dalam rangka penyembuhan penyakit carpal-tunnel syndrome yang saya derita. Mendiskusikan pernak-pernik pakaian dalam wanita dalam forum chatting bukan pula pengganti yang sepadan dengan suasana ber-date di hari Jumat malam yang sebenarnya”, aku Mandel.

Benarkah Mandel berhasil mengerem kecanduannya sebagai seorang cyberholic ? Babak akhir artikelnya itu mampu mengundang senyum. Ia ternyata memang tidak mampu mengendalikan kecanduannya tersebut !

Thomas Mandel meninggal dunia, 5 April 1995.
Lima belas tahun lalu. Karena sakit kanker paru-paru.
Dalam usia 49 tahun.

Gerard Van der Leun menulis : “Mandel meninggal dengan tenang. Ia didampingi kekasih yang mencintainya, diiringi nomor Ode to Joy dari Simfoni Nomor 9 Beethoven. Saat itu saya berfikir, inilah momen menjemput kematian yang terindah.”

Selamat beristirahat dengan damai, Pak Mandel.
Hari ini saya akan mengenakan pakaian hitam, untuk mengenangnya.



Wonogiri, 24/3-6/4/2010

Monday, April 05, 2010

Laron-Laron Luaran Pendidikan Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Al Ries.
Carole Hyatt.

Chris Anderson. Don Tapscott. Jack Trout. Malcolm Gladwell.
Nicholas Negroponte. Richard Nelson Bolles. Seth Godin.

Anda merasa akrab dengan nama-nama mereka itu ? Nampaknya tidak. Di pelbagai media utama Indonesia, nama-nama itu juga jarang atau tidak pernah muncul. Bahkan dalam publikasi di dunia maya kita, rasanya hal serupa juga terjadi.

Untuk nama pertama, yang kiranya bisa bercerita banyak tentangnya mungkin Hermawan Kertajaya. Untuk nama kedua, wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih. Untuk nama-nama selanjutnya, sedikit banyak kiranya pernah diceritakan oleh seorang blogger asal Wonogiri :-).

Untuk Hermawan Kertajaya, yang hari-hari ini sedang merampungkan 100 seri tulisan tentang pemasaran di koran Jawapos, saya tidak mengenalnya. Untuk nama kedua, saya pernah berbincang dengannya di depan sebuah ruang pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta (25/11/2004).

mBak Maria adalah juri saya, disamping Tika Bisono dan Mas Ito alias Sarlito Wirawan Sarwono. Terdapat 20 finalis dalam Mandom Resolution Award 2004, dan separonya akan dikukuhkan sebagai pemenangnya.

mBak Maria, yang sering menulis masalah jender, ketidakadilan sampai impunitas militer di Indonesia, tentu tidak mengenal diri saya saat itu. Saya berinisiatif mengobrol. Mulai dengan bertanya apakah ia mengenal wartawan Kompas asal Wonogiri, Thomas Pudjo. Ternyata malah beliau pernah menginap di rumas Mas Thomas itu, di Wonogiri, kota saya.

Sesuatu yang magis terjadi ketika saya ingatkan akan tulisannya, sekitar 3-5 tahun yang lalu. Hmm, agen rahasia, komedian dan penulis itu harus punya daya ingat yang kuat, bukan ? [“Demikian juga penipu” :-( ]. Tulisan mBak Maria itu mengutip pendapat konsultan karier, Carole Hyatt, dengan bukunya Shifting Gears : How To Master Career Change and Find the Work That’s Right for You (1990).

Obrolan kami rasanya menjadi lebih hidup. Apa sih yang lebih bisa mendekatkan kita dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal, selain humor, dan buku-buku yang sama-sama pernah kita baca ?

Saya akhirnya ikut menang dalam kontes Mandom Resolution Award 2004 itu. Meraih peringkat ketiga. Sepertinya saya menang bukan karena ide resolusi saya yang unggul, yaitu meluncurkan 100 blog untuk para penulis surat pembaca, dan baru terlaksana 30-an.

Tetapi mungkin karena di mata ketiga juri itu saya bukan lagi sebagai orang asing bagi mereka. Saya “kenal” Tika Bisono sejak tahun 1980. Di arena persidangan itu, saya mengaku sebagai fans untuk suara lembutnya sebagai penyanyi. Sementara untuk Mas Ito saya mengaku bahwa istri beliau, mBak Pratiwi, adalah kakak kelas saya di UI.

Persneling kehidupan. Buku tersebut berisi panduan strategi karier ketika dunia sedang berubah. Menurut Hyatt, kita pun harus ikut berubah, dituntut terampil memindah–mindah persneling kehidupan kita. Karena, sembari mengutip pendapat Buddha, “penyebab utama penderitaan manusia adalah keyakinannya tentang kepermanenan.”

Perubahan itu, seperti tergurat di bab pertamanya menyangkut fenomena desa global. Antara lain berkat Internet di masa kini, membuat kita sudah menerjuninya sendiri pula. Profesi-profesi masa depan yang menjanjikan, menurut Hyatt, berada di dan bukan lagi berada pada perusahaan raksasa, tetapi pada perusahaan-perusahaan kecil, yang bergerak di bidang jasa, intrapreneuring (kewiraswastaan di dalam perusahaan), dan bekerja di rumah.

Perubahan itu juga menuntut pola pikir baru dalam bidang pendidikan. “Pendidikan,” demikian dikutip dari Donna Shalala dari Universitas Wisconsin, harus “mampu memberi Anda keyakinan bahwa Anda dituntut terus belajar dan belajar” (h.39). Yang menarik, ketika pekerjaan makin terspesialisasikan, ternyata tuntutan bagi seseorang yang memiliki “kapasitas merangkai pelbagai hal-hal menjadi satu dan memahami konteks,” justru semakin sangat dibutuhkan.

Ben Barber, ilmuwan dan teoritikus brilyan dari Departemen Politik Universitas Rutgers menyimpulkan (h.41) : “Agar sukses dalam pasar tenaga kerja, Anda harus memiliki keterampilan analisis dan kapasitas memahami kaitan antara pelbagai hal yang ada.” Filsafat, kesusasteraan, dan bahkan puisi, ia percayai, semakin menempati posisi terhormat di tengah gejolak dunia yang berubah.

Bunuh diri ramai-ramai. Mungkin ini pendapat subyektif, betapa resep Donna Shalala di atas belum atau tidak bergema di benak para luaran pendidikan kita. Banyak orang begitu lulus atau wisuda, langsung pula berhenti dalam belajarnya. Mengamati pengunjung perpustakaan di kota saya, banyak anak-anak muda yang saya amati, hanya membaca-baca koran untuk meneliti iklan-iklan lowongan pekerjaan semata.

Sementara kabar tentang tes masuk PNS sampai penyelenggaraan job fair, foto-fotonya di media massa selalu menampakkan jubelan anak-anak muda yang bergelar sarjana. Saya menyebut mereka sebagai laron-laron luaran pendidikan kita, yang menyerbu sumber-sumber sinar yang benderang. Semua nampak anut grubyug. Ikut arus semata.

Mereka tidak pernah membekali diri dengan strategi berburu pekerjaan secara memadai. Akibat fatalnya, yang justru tidak mereka sadari, dalam keriuhan demi keriuhan itu sebenarnya mereka sedang melakukan “bunuh diri” beramai-ramai adanya.

Iklan-iklan lowongan sampai job fair itu adalah game-nya perusahaan. Bukan game-nya para pencari kerja. Teknik rekruitmen dengan jalur itu dirancang untuk menguntungkan perusahaan semata. Bahkan tenaga kerja yang berkualitas pun, karena bias dari teknik itu, juga begitu mudah tersingkir dalam persaingan.

“Jumlah surat lamaran yang membeludak diterima oleh perusahaan potensial menjadi penghalang serius Anda,” kata John Langley, ahli strategi perancangan surat lamaran dari Detroit yang dikutip Carole Hyatt (h. 201). Sementara itu, repotnya lagi, “sembilan puluh sembilan persen orang mengalami kesulitan dalam merancang dan menulis surat lamaran mereka !”

Problem serius semacam ini apakah telah diketahui, disadari, oleh para guru atau pun dosen mereka ? Saya tidak tahu. Karena kebanyakan lembaga pendidikan itu nampaknya lebih hirau sebagai pabrik ijazah, dengan meluluskan anak didiknya sebanyak-banyaknya, sementara nasib mereka itu di dunia kenyataan selanjutnya hanya diserahkan kepada Yang Maha Esa.

Wabah markus. Laron-laron luaran pendidikan kita itu, kini juga mencari “pekerjaan” dengan menyerbu dunia maya. Facebook utamanya.

Yang lelaki, mereka nampak cukup berbahagia dengan meniti karier guna meraih pangkat sebagai Consigliere, Underboss, dan Boss dalam Mafia Wars yang terkenal itu. Apakah fenomena ini sekaligus cerminan mengapa borok makelar kasus dan mafia hukum begitu meruyak di Indonesia ?

Sementara yang perempuan terjun ramai-ramai berkarier di dunia pertanian, berbagi pupuk bagi tanaman mereka di FarmVille, seiring kenyataan bahwa presiden kita adalah seorang doktor ilmu pertanian.

Pertanyaannya : adakah sekolah atau perguruan tinggi kita yang dengan sengaja, secara terencana dan terstruktur membekali anak didiknya menggunakan Facebook sebagai sarana bantu yang dahsyat guna memudahkan para lulusan itu meraih pekerjaan idamannya ? Kalau Anda seorang guru atau dosen, saya tunggu kabar, cerita dan opini Anda tentang hal ini. Terima kasih.

Tetapi yang pasti, ketahuilah, dewasa ini para perekrut profesional juga menggunakan media sosial, baik blog, Facebook sampai Twitter, sebagai sarana mereka melakukan seleksi calon karyawan. Mereka tidak lagi puas hanya membaca-baca surat lamaran dan daftar riwayat hidup yang Anda kirimkan.

Karena mata mereka kini juga mencari-cari informasi yang lebih rinci dan mungkin tersembunyi tentang diri Anda di dunia maya. Melalui bantuan Google, dengan hanya satu-dua klik saja, mereka justru akan menjadi curiga berat bila nama Anda tidak mereka temukan di dunia maya.

Akan tetapi sebaliknya, bila mereka menemukan diri Anda dalam tags foto kiriman teman Anda nampak sedang telanjang dada, memegang botol bir, beradegan foto-foto gokil di pantai dan pesta, atau hanya bisa memposting pesan-pesan egosentris yang menye-menye semata, boleh jadi doa tulus ayah-ibu agar Anda segera memperoleh pekerjaan mungkin akan sia-sia.

Kuda Ries. Manfaatkan Facebook seturut nasehat Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991) ini. Guna meraih sukses dalam meniti karier dan pekerjaan, Anda harus menemukan kuda yang tepat untuk Anda tunggangi. Bila kuda kerja keras yang Anda pilih, peluang sukses Anda hanya 1 dari 100. Kuda IQ ? Hanya 1 banding 75. Mengandalkan kuda pendidikan pun cuma 1 dari 60.

Nasehat Ries dan Trout, pilihlah kuda kreativitas yang membuka peluang sukses Anda naik, 1 banding 25. Kuda hobi lebih potensial lagi, 1 banding 20. Sementara kuda publisitas, menurut mereka, telah menjanjikan peluang sukses Anda 1 banding 10.

Ajakan saya untuk Anda : gunakan potensi Facebook yang dahsyat ini sebagai kuda tunggang publisitas Anda. Secara cerdas dan bijaksana. Postinglah informasi-informasi yang mencerminkan siapa Anda, apa keistimewaan dan manfaat eksistensi Anda bagi bebrayan agung di dunia ini.

Sebab terlalu sayang bila Facebook Anda isinya hanya lebih banyak menye-menye, yang mungkin membuat Anda bangga semu terhadap diri sendiri, tetapi sebenarnya membuat Anda jatuh harga dan mengguratkan citra negatif di benak banyak fihak.

Misalnya, di mata calon penggemar, calon bos, bahkan juga calon mitra sukses karier Anda.



Wonogiri, 31/3/2010

Monday, March 08, 2010

Facebook dan Peluang Dua Bisnis Besar

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Sinetron tolol itu saya lihat tak sengaja di warnet Telkomnet. Di Wonogiri. Ketika menunggu antrean, sambil membaca-baca brosur pelbagai jasa Telkom, akhirnya televisi yang hidup di ruangan itu merenggut perhatian.

Adegan dalam sinetron yang tertayang di RCTI, Jumat malam itu, dan saya tidak tahu judulnya, mengingatkan saya akan isi wawancara wartawan harian Kompas Dahono Fitrianto dengan aktor Tio Pakusadewo.

Seperti termuat di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 : 23, dalam menjawab pertanyaan apa aktor zaman sekarang ada yang tidak cerdas, Tio mengatakan : “Banyak sekali yang tolol. Ada ekspresi tolol yang diucapkan, dia biarkan saja…. Di sinetron, (adegan konyol) yang sering terlihat, misalnya kita sudah tahu apa yang terjadi, tetapi ditambahi suara monolog yang seperti suara dalam hati itu. Aduh, itu paling sering dibuat dan diulang, dan itu pembodohan yang sangat luar biasa.”

Adegan seperti itulah yang saya tonton malam itu. Aktor kelahiran Jakarta 2 September 1963 yang juga pernah mencoba sebagai hacker itu, tambah menarik jawabannya ketika dicecar pertanyaan terkait persiapan yang harus dimiliki seseorang yang ingin menjadi aktor.

Jawab Tio : “Harus bercermin dulu. Lihat dulu ke diri sendiri, digali dulu, kasih kuesioner kepada diri sendiri. Kira-kira mampu engga saya mencapai keaktoran ? Artinya di harus tahu diri dulu, cukup cerdaskah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya ? Modal paling utama harus cerdas. Sebab kalau kurang-kurang, ya, jangan mimpi dulu, sebab akan merepotkan yang lain.”

Sebagai pencinta humor dan komedi, pendapat Tio itu menurut saya juga relevan untuk kancah mengundang tawa ini. Tinggal kata-kata “aktor” tersebut tinggal diganti dengan “komedian,” beres sudah. Karena hal parah yang sama rasanya juga berlaku dalam dunia komedi kita.

Sementara nasehatnya bagi calon aktor untuk terlebih dahulu menggali diri sendiri, melakukan self-assessment atau soul-searching itu sebenarnya merupakan hal yang universal bagi setiap insan dalam mengarungi kehidupan. Dengan menyelami dirinya sendiri secara jujur, ia akan mengetahu aspirasi, impian, kelebihan atau pun kekurangannya, sehingga dirinya akan mampu menempatkan diri sebagai pribadi yang unik di tengah milyaran umat manusia di dunia ini.

Buku suci kehidupan. Di kampus-kampus negara maju, Amerika Serikat misalnya, minimal mahasiswa akan memperoleh himbauan untuk melakukan tes evaluasi diri mereka sendiri. Salah satu panduannya adalah buku terkenal What Color Is Your Parachute ? : A Practical Manual for Job-Hunters & Career Changers (Ten Speed Press, Tahunan). Pengarangnya Richard Nelson Bolles.

Kalau ingin lebih efektif lagi, buku diatas harus ditemani panduan yang lebih mendetil dari buku Where Do I Go From Here With My Life ? : A Very Sistematic, Practical and Effective Life /Work Planning Manual for Students, Instructors, Counselors, Career Seekers and Career Changers (1974). Pengarangnya tetap Richard Nelson Bolles beserta mantan agen CIA, almarhum John C. Crystal. Penerbitnya juga Ten Speed Press.

Prosesnya seperti kita menyusun daftar riwayat hidup. Tetapi dengan pendekatan secara lahir dan batin. Mungkin dalam kosmologi Jawa disebut sebagai mempersoalkan sangkan paraning dumadi. Kalau sudah selesai, kita akan memperoleh otobiografi kerja kita masing-masing kira-kira setebal 100 sampai 200 halaman.

Keunikan masing-masing diri kita kemudian telah terpetakan, demikian pula cita-cita beserta impian yang akan kita raih selama kita hidup di dunia ini. Tanpa arah dan tujuan, kita seperti ikut dalam keriuhan lomba lari cross country di hutan, tetapi sama sekali tidak ada rambu atau pun tanda-tanda penunjuk jalan.

Setelah itu semua mantap, kita tinggal mengaktualisasikannya dengan bantuan pelbagai media yang ada. Termasuk pula dengan Facebook, media sosial yang sungguh benar-benar dahsyat manfaatnya itu.

Media berdarah-darah. Sayangnya, selama ini isu terkait Facebook yang lebih sering muncul dan menonjol di media massa adalah hal-hal yang negatif saja. Bisa dimaklumi, karena begitulah mindset media massa. Selain mengugemi pakem 5W+1H, mereka kini getol menambahnya dengan 1 W lagi. Wow. Menu utamanya adalah berita-berita kerusuhan. Bentrokan. Bencana. Kematian. Darah. Ancaman.

Termasuk getol mengambil sudut pandang dengan fokus tentang kejelekan atau ancaman yang berpotensi dimiliki oleh media-media sosial itu, boleh jadi karena media-media sosial tersebut merupakan ancaman kuat bagi media-media lama , media-media mainstream yang sering diledek sebagai media lame stream itu.

Kasihan bener pergulatan media-media mainstream yang lamban itu. Aksi mereka untuk mempertahankan hidup sering nampak tersaji lucu-lucu. Termasuk misalnya melakukan kampanye gencar agar anak-anak sekolah (kembali) membaca dan mencintai koran. Ada yang lewat kompetisi basket, lomba bikin situs, lomba majalah dinding, pelatihan sampai outbound, dan sejenisnya.

Seorang maverick Internet dari majalah gaya hidup Internet Wired, Kevin Kelly, pernah saya kutip dalam artikel "Solocon Valley" (Kompas Jawa Tengah, 5/8/2006), pantas kita dengar pendapatnya. Ia telah mengutip kesimpulan Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, bahwa rumus aktual masa kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Itulah yang banyak dilakukan secara keblinger oleh pengelola surat-surat kabar di Indonesia, hanya karena media lain melakukannya. Mereka berupaya menimbun lubang, abyss, yang tak berdasar itu.

Seharusnya mereka mencari peluang, dengan mempercayai jaringan, network mereka. Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan (istilah dari Kevin Kelly) di era Internet ini yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan, repetisi, sekuel, kopi-mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya.Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya !

Repotnya banget, apakah sistem dan atmosfir pendidikan kita selama ini telah memupuk segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinasi tersebut pada anak didik ? Sebagai mantan mentor melukis anak-anak, setiap kali membaca koran tentang lomba mewarnai, saya merasakan ada ribuan Picasso-Picasso dan Einstein muda yang terbantai di sana.

Pembantaian terhadap rasa percaya diri anak-anak untuk tegak menjadi insan-insan berpikiran mandiri dan kreatif ini rasanya justru jarang masuk radar para guru, psikolog, seniman, dan juga insan-insan perguruan tinggi seni kita.

Pembantaian jenis lain juga diam-diam terjadi bagi kita-kita yang memiliki akun Facebook ini. Kalau para konsultan karier di pelbagai negara maju berujar bahwa media sosial seperti blog, Facebook dan Twitter merupakan sarana ampuh untuk mengedepankan masing-masing subject matter expertise kita, tetapi yang sering banyak terjadi adalah pesan-pesan atau tulisan yang egosentris.

Facebook banjir tulisan status yang semata mendongkrak ego kita, karena memang hanya kita sendiri yang pantas sebagai audiensnya. Tulisan tersebut benar-benar melupakan segi manfaat bagi orang lain yang membacanya.


Sebuah artikel kontroversial yang ditulis Nukman Luthfie berjudul Blog Memang Tren Sesaat, yang mengisahkan konon turun pamornya blog secara kuantitatif akibat tergusur popularitas Facebook dan Twitter, telah memicu beragam komentar.


Misalnya “ogiexslash” (#4) menulis : “Bagi saya mau trennya turun, yang penting nge-BLOG, FB isinya kebanyakan curhat2an saja…lama-lama bosen.”

Sementara “Moch Ata” (#15) bilang : “ Ngeblog, separah-parahnya ngeblog pasti ada satu pesan berisi pengetahuan yang ingin blogger bagi. Coba tengok update Facebook teman-teman kita, saya sampai muak, dan sama sekali tak ada sebuah knowledge yang bisa kita dapat. “

Mungkin sudah ratusan, ribuan dan bahkan milyaran jam telah dihabiskan untuk urusan egosentris itu. Karena memang asyik saat mengelus-elus ego kita sendiri. Mungkin rasanya seperti naik kuda-kuda kayu, atau kursi goyang. Kita bergerak, mungkin juga berkeringat, tetapi nowhere, tidak pernah kemana-mana.

Terakhir, bagi saya, dalam Facebook terbuka dua bisnis besar.

Pertama, mereka yang berbisnis menakut-nakuti orang lain dengan bercerita tentang ancaman dan bahayanya. Kedua, kubu yang memberi tahu tentang manfaat dan cara-cara memanfaatkannya. Saya tidak tahu, tulisan saya ini masuk aliran yang mana. Anda punya pendapat ?


Wonogiri, 6-7 Maret 2010

Naisbitt, Tenis dan Trah Martowirono

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


“Bagaimana Anda membaca surat kabar ?”

Futuris tersohor John Naisbitt dalam bukunya Mind Set ! (2007) mengajukan pertanyaan itu. Ia pun lalu menjawabnya sendiri.“Saya membaca surat kabar mulai dari belakang ke depan, didahului dengan halaman olahraga.”

Alasannya, karena ia memang suka olahraga. Tetapi ada tambahan yang tidak kalah penting, dirinya memiliki prasangka bahwa laporan olahraga merupakan berita yang paling dapat diandalkan. Semakin ke halaman depan, tingkat kendalan berita semakin menurun. Sebagai contoh, berita bahwa tim Boston Red Sox mengalahkan New York Yankees 7-3, kita hampir 100 persen yakin bahwa memang demikianlah kenyataannya.

Kalau berita-berita hiruk-pikuk politik, di halaman depan, bagaimana ? Ia menyimpulkan, “memang sudah menjadi naluri manusia untuk memelintir berita ke arah kesimpulan yang diinginkan.”

Olahraga dan trah kita. Analisis John Naisbitt di atas mungkin relevan dengan kiprah dan kecintaan terhadap nilai-nilai olahraga bagi warga Trah Martowirono. Karena tidak sedikit yang menyukai olahraga.

Bunga Citra Persada dari Yogya, suka main basket. Baroto nDandung asli Selogiri dulu suka mengejar-ngejar bulu angsa. Dari Yogya, siapa yang suka sepakbola : Intan atau Mutiara ? Yoga dari Ngadirojo dan Yashika dari Kajen kini menekuni olahraga taekwondo. Basnendar pendiri klub Bola Basket Kajen Club.

Mayor Haristanto yang baru saja ikut Cingay Parade 2010 di Singapura dengan foto spektakuler, ikut mendirikan kelompok suporter di Solo, Makasar dan Pekanbaru. Broto Happy Wondomisnowo, suka sepakbola, bulu tangkis, dan kini menjadi redaktur sepakbola nasional di Tabloid BOLA. Bambang Haryanto yang buku komedinya akan segera terbit oleh Penerbit Etera Imania Jakarta itu tercatat di MURI :-) sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000).

Deretan fakta di atas kini diperkaya dengan data terbaru : Nuning atau Bhakti Hendroyulianingsih, nenek dari Nabila, dan putranya Yudha Arditya Banar Nugraha, kini masuk dalam jajaran pengurus cabang olahraga yang mereka terjuni untuk Kabupaten Wonogiri.Olahraga tenis lapangan.

Sekedar kilas balik : Yudha pernah menekuni olahraga bulutangkis. Lalu pindah ke tenis. Dalam Kejuaraan Tingkat Nasional Tahun 2000 di Nusa Dua, Bali, ia meraih prestasi juara tunggal putra dan juga ganda putra untuk kelompok umur 16 tahun.

Olahraga tenis, juga mampu mengikat lebih erat tali silaturahmi trah Martowirono. Walau secara tak sengaja. Nuning pernah bercerita dalam acara Reuni Trah 2009 di Yogyakarta, bahwa timnya pernah bertanding melawan timnya Ibu Suharti Priyono dari Gayam, Sukoharjo. Konon yang menang secara love game :-( dapat bonus mandi lulur dan layanan spa di Salon ASTI, Sukoharjo seumur hidup.


Pada lain kesempatan, di hall tenis Wonogiri ia bertemu Ibu Retno Winarni dan Pak Agus dari Solo. Kali ini tidak bertanding, karena yang menang konon akan dapat hadiah kotak ATM bank ternama tempat Pak Agus bekerja. Karena dengan syarat : ambil dan membongkar sendiri.



Mendongkrak prestasi Wonogiri. Berdasarkan Surat Keputusan Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PELTI) Jawa Tengah No. 010/PD.Pelti/III/10 yang ditandatangani oleh Ketua Umum Pengprov Pelti Jawa Tengah, Kukrit Suryo Wicaksono, Nuning menjabat sebagai Bendahara 2. Sementara Yudha, berkiprah di Seksi Perwasitan dan Pertandingan. Mungkin secara tak resmi ia merangkap sebagai bodyguard untuk mengawal dan mengamankan brankas atau dompet sang bendahara 2 Pengurus PELTI Kabupaten Wonogiri itu.

Pengukuhan pengurus PELTI Kabupaten Wonogiri itu dilangsungkan di GOR Tenis Wahana Purna Bhakti di Wonogiri, 3 Maret 2010, oleh Ketua I PELTI Jawa Tengah, H. Soenoto SK (bertopi).Beliau yang didampingi Bapak Amien Sutantyo (Kudus), menyebut acara itu sebagai “momen sakral, untuk memulai dharma bhakti dalam bingkai memprestasikan olahraga, khususnya olahraga tenis di Kabupaten Wonogiri.”

Gayung bersambut. Ketua PELTI Wonogiri yang baru, Drs. Tarmanto, MM (foto: berkaos putih), memiliki obsesi tinggi. Kalau selama ini kuat anggapan olahraga tenis sebagai rekreasi, kini akan diubah paradigmanya sebagai olahraga prestasi. Khususnya bagi atlet-atlet muda potensial yang banyak bersemi di Kota Gaplek ini.

KONI pun mendukung tekad itu. Ketuanya, Eddy Purwanto (dalam foto, berbaju batik), bahkan menabur keyakinan bahwa pengurus baru untuk masa 2010-2015 itu mampu berbuat banyak bagi kemajuan prestasi tenis di Wonogiri. “Walau maklum,” katanya, “ anggaran KONi tahun ini jauh lebih menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.”

Acara pagi itu yang dihadiri pejabat teras terkait dengan pembinaan olahraga, Bambang Haryadi (teman SD-nya Mayor Haristanto), semakin tambah gayeng karena yang hadir merupakan sebagian dari para calon kompetitor yang berpeluang maju dalam Pilbup 2010.

Ada Ma’ruf Irianto, mantan ketua PELTI yang lalu (berpeci hitam), yang ingin menjago sebagai calon bupati. Ada Sekda Kabupaten Wonogiri, Suprapto, bakal calon wakil bupati. Juga Ketua KONI, Eddy Purwanto, kandidat bakal calon wakil bupati pula. Ada gagasan, ketiganya diadu dalam ekshibisi pertandingan tenis seusai acara itu. Tetapi nampaknya, acara clash of titans tak jadi terlaksana saat itu.


Susunan Pengurus PELTI Wonogiri yang baru : Penasihat : Ir. H. Suprapto, MM, Sri Wiyoso, SH, MM, Drs. Budi Sena, MM. Ketua : Drs. Tarmanto, MM.. Sekretaris : Drs Mulyanto, I Gusti Bagus Garantika, SH. Bendahara : Drs. Yatno Pratomo, Bhakti Hendro Yulianingsih.

Seksi Pembinaan Prestasi : Yoyong Anang P, SPd, Yuli Purnomo, SPd, Hendro Setyawan, AMd. Seksi Organisasi : Maryanto, SSos, MM, Dwi Hendro, SE. Seksi Pendanaan : Dwi Bowo Hartono, ST, MT, Agung Budi Utomo, ST, Katni Priyadi Hartoyo. Seksi Sarpras : drs. Heru Dadi, Supriyadi. Seksi Humas : Drs. Joko Heru S, MPd, Sutarmin, SH. Seksi Perwasitan & Pertandingan : Drs Gunawan Dwi C, MM, Dedi Adi Nugroho, SPd, Yudha Arditya B, SE.

Segenap warga Trah Martowirono mengucapkan selamat bekerja untuk Nuning dan Yudha. Sehingga kelak bila kita mendengar atau melihat prestasi atlet-atlet tenis dari Kabupaten Wonogiri mencorong dalam kancah kejuaraan unggulan, kita akan ikut bangga.

Juga merasa bahagia, karena doa-doa kita agar warga trah kita berbuat bagi bagi kemaslahatan bersama telah dikabulkan olehNya.


Wonogiri, 3/3/2010

Wednesday, January 27, 2010

Australia Terbuka 2010, The Biology of Belief dan Anda

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Swiss.
Negeri yang bersih.

Kritikus dan novelis Perancis André Gide (1869–1951) melukiskan betapa di sana “Anda tak akan berani membuang puntung rokok ke danaunya dan sama sekali tak ada corat-coret grafiti di WC umumnya.”

Tetapi Swiss juga tak luput menjadi bulan-bulanan. Dalam film The Third Man (1949) seorang Orson Welles (1915–1985) telah menambahkan ejekan itu dalam skenario karya penulis Inggris, Graham Greene (1904–1991) :

“Di Itali, ketika rejim Borgia berkuasa selama tiga puluh tahun berlangsung teroe, perang, pembunuhan dan banjir darah, tetapi juga menghasilkan Michelangelo, Leonardo da Vinci dan the Renaissans.

Di Swiss, mereka tenteram membina persaudaraan, demokrasinya berjalan sepanjang lima ratus tahun secara damai, tetapi apa yang bisa mereka hasilkan ? Jam ku-kuk !”

Dan kini, juga menghasilkan seorang Roger Federer.

Very Swiss !

Demikian tandas Vijay Amritaj, komentator tenis yang terkenal di televisi Star Sports. Ia berkomentar ketika penyandang 15 gelar Grand Slam itu dalam proses menekuk Lleyton Hewitt, “kangguru” terakhir yang mampu bertarung di Melbourne Park.

Vijay benar. Roger Federer adalah presisi. Seperti jam Swiss dibuat. Di lapangan setiap bola yang ia tembakkan dengan raket Wilson KFactor KSix-One Tour 90 (kini ganti dengan raket Wilson BLX SixOneTour-90. Info ini dikirimkan sobat Pedhet Wijaya langsung dari Melbourne. Thanks, buddy !) itu ibarat perjalanan detik-detik jarum jam yang berputar.

Dengan konsistensi.
Dengan ketepatan.

“Di masa-masa awal karir saya, problem utama saya adalah konsistensi.” Demikian tutur petenis kelahiran Basel 8 Agustus 1981 itu. Akibat dari sifat umum sebagai anak muda, yang temperamental. Tetapi kini, lanjut Federer : “Saya belajar untuk bisa lebih sabar.”

Terkait kesabaran itu wartawan Paul Weaver dari koran The Guardian merujuk bahwa ketahanan mental Roger Federer merupakan hasil dari latihan, produk rekayasa. Sementara Nadal lebih alamiah. Tetapi kita menjadi saksi bagaimana jam Swiss itu berdetak secara menakjubkan. Santun tetapi kejam dalam menelan satu demi satu, semua musuh-musuhnya.

Perjalanan karier tenis Roger Federer mungkin sudah tertakdir sebagai perjuangan untuk meraih kesempurnaan. The Roger Federer Story : Quest for Perfection. Itulah judul buku yang ditulis Rene Stauffer, konon salah satu jurnalis ternama tenis dunia, yang terbit pada tahun 2007.

Kesempurnaan itu pula yang barangkali membuatnya pantas didaulat sebagai atlet papan atas dunia yang terpilih sebagai salah satu dari 100 Orang Berpengaruh Di Dunia oleh Majalah TIME edisi 14 Mei 2007 (“ini hadiah Niz dari London.”). Fisiknya yang bugar membuatnya tidak pernah mengundurkan diri ketika terjun dalam pertandingan utama. Tidak seperti nasib malang seteru “abadinya”, juga petenis hebat asal Mallorca, Spanyol : Rafael Nadal.

Pride and ego. “Saya sangat menyesal,” demikian kata penghiburan dari Andy Murray saat menyalami Nadal yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Dalam pertandingan merebut kursi semi final Australia Terbuka 2010 itu, posisi angka Nadal telah tertinggal, 3-6, 6-7 (2-7) dan 0-3. Ketika cedera lututnya yang kronis sudah tak tertahankan lagi, ia pun melemparkan handuk.

Dunia tenis kuatir berat. Seorang Kevin Mitchell, juga wartawan dari surat kabar The Guardian menulis, cedera tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang karir gilang-gemilang Rafael Nadal di masa-masa mendatang.

Cedera lutut yang sama membuat Nadal absen mempertahankan gelarnya di Wimbledon tahun lalu. Di final, petenis Amerika Serikat yang paling sering ketemu, Andy Roddick, gagal mengadang Roger Federer dalam meraih trofi Grand Slam ke-15. Akibatnya Federer melebihi prestasi si tukang servis geledek dari AS, Pete Sampras.

“Lutut,” kata Louise L. Hay dalam bukunya Heal Your Body : The Mental Cause For Physical Illness and The Metaphysical Way to Overcome Them (1985), “mewakili harga diri dan ego.”

Sementara itu, masalah terkait lutut, menurutnya, dipicu oleh “kebandelan ego dan rasa harga diri itu. Tidak mampu bersikap lentur. Dicekam rasa takut. Tidak fleksibel. Pantang menyerah.”

Dari paparan Louise L. Hay (“kajian yang masuk disiplin ilmu baru, the biology of believe ini, yang kepingin saya buatkan blog tersendiri tetapi belum kesampaian itu “) kita bisa menebak memang begitulah psyche seorang Rafael Nadal selama ini.

Ia seorang matador petarung, brave fighter, yang enerjinya tak pernah habis terkuras. Cedera kronis lututnya itu menjadi logis akibat dari rasa gerah dan geram karena terlalu lama menjadi bayang-bayang dari Federer. Selalu saja dirinya menjadi nomor dua. Sempat ia duduk di peringkat satu dunia. Tetapi Federer dengan konsisten, kemudian mampu menggusurnya lagi.

Lihatlah data pertarungan keduanya yang benar-benar sengit.

Keduanya sama-sama memenangkan Grand Slam pada tiga lapangan yang berbeda secara berurutan. Rafael Nadal menjadi raja di Perancis Terbuka 2008, Wimbledon 2008 dan Australia Terbuka 2009. Sementara Roger Federer tampil megah di Amerika Serikat Terbuka 2008, Perancis Terbuka 2009 dan Wimbledon 2009.

Meminjam kasus pemasaran klasik dari bukunya Al Ries dan Jack Trout, Positioning : The Battle For Your Mind (1986), perjuangan Nadal itu kiranya dapat diwakili oleh upaya perusahaan persewaan mobil di Amerika, Avis. Perusahaan itu juga merasa posisinya terpatok melulu di kursi nomor dua. Sementara posisi nomor satu ditenggeri oleh Hertz.

Kampanye iklan perjuangan Avis itu kemudian tercatat sebagai contoh klasik dalam sejarah pemasaran : bagaimana Avis menempatkan diri dalam posisi kuat untuk bertarung melawan sang jawara. Lihatlah tagline iklannya :

“Avis hanya nomor dua dalam bisnis persewaan mobil, tetapi mengapa Anda harus bersama kami ? Karena kami berusaha keras lebih baik dalam melayani.”

Dalam kasus Nadal, semboyan we try harder-nya Avis itu kiranya membuat lututnya berderak dan berteriak. Ia gagal menuju semi final. Nadal pun terpental.


Kini siapa kampiun di Rod Laver Arena 2010 ini ?

Apakah Andy Murray yang akan memenangkan juara Australia Terbuka ? Jangan lupa, ia punya senjata sekaliber peluncur roket untuk servis pertamanya. Ia telah mengalahkan Federer empat kali, Nadal dua kali, dan peringkat keempat Novak Djokovic sebanyak tiga kali.

Bila anak muda usia 22 tahun itu juara, ia merupakan orang Inggris pertama tampil dengan mahkota Grand Slam sejak Fred Perry menjuarai kandangnya sendiri, Wimbledon, di tahun 1936.

Itu waktu yang sudah lama sekali. Sama dengan mimpi tim sepakbola Indonesia untuk bisa masuk final Piala Dunia. Apalagi ketika terjun di Paris 1938, negara kita masih sebagai negara jajahan Belanda !

Siapakah jago Anda di hari Minggu mendatang ?
Siapa jago teman saya Pedhet Wijaya yang kini sedang pula ada di Melbourne ?


Wonogiri, 27 Januari 2010.

P.S. : Ditulis dengan menguping nomornya Mozart, Simfoni No. 40, di hari ulang tahunnya yang ke 254.

Kebetulan tanggal tersebut 5 tahun lalu di Pesta MURI Semarang (2005) saya mendeklarasikan komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, Epistoholik Indonesia (EI). Juga menyatakan tanggal 27 Januari sebagai Hari Epistoholik Nasional, dan saat itu saya meraih Rekor MURI yang kedua.

Pesta hebat akan dirayakan, Insya Allah, di surat kabar Koran Tempo, edisi Jumat, 29 Januari 2010. Oleh Mas M. Ravik, wartawannya, kiprah EI akan dibeberkan di sana. Semoga dapat menjadi inspirasi, bahwa dengan menulis itu membuat kita mampu berkontribusi bagi sesama.

Sunday, January 24, 2010

A Whack On The Side Of The Head

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Pertandingan tenis bintang lima !”

Demikian ungkapan plastis komentator tenis Star Sports, Vijay Amritaj, sore kemarin (24/1). Ia mengomentari babak akhir pertandingan menegangkan antarsesama petenis Belgia, Justine Henin melawan yuniornya Yanina Wickmeyer.

Saya pun ikut tegang saat Henin ketinggalan angka.

Tetapi menurut Vijay, bekal “pengetahuan dan pengalaman” dari pemegang 7 gelar juara Grand Slam dan atlet kebanggaan negeri kecil yang merdeka tahun 1830 (di Indonesia saat itu meletus Perang Diponegoro) yang membuatnya lolos dari lubang jarum.

Vijay juga mengatakan bahwa pertandingan itu telah mencuatkan sinyal bahaya bagi petenis putri dunia lainnya.

Bunyi sinyal itu demikian tegas : di masa mendatang, waspadailah Yanina Wickmeyer !

Juga, Fernando Gonzalez. Itu bisik saya.

Tentu saja untuk kalangan petenis pria. Pendapat saya ini merupakan wujud sebagai makmum atas prediksi Vijay ketika petenis Chile itu, unggulan 11, menjelang bertarung melawan petenis unggulan 7 asal AS, Andy Roddick.

Malam itu hampir saja mengirim SMS ke sobat saya, seorang tennis buff asal Solo, Pedhet Wijaya. Tokoh inovatif yang malang melintang di bisnis radio Bandung dan Solo ini, juga pernah mengentak dunia dengan menyelenggarakan festival keroncong internasional di Solo, Desember 2008, saat ini sedang menonton langsung hajat tenis akbar di Melbourne tersebut. Saya ingin tahu, Pedhet Wijaya ini menjagoi siapa : Roddick atau Gonzalez ?


Kurva presisi. Bagi saya, petenis kelahiran Santiago 27 tahun lalu itu, anggun bermain seperti ular. Kalau Roddick tampil meledak-ledak dengan gedoran servis as, bertubi-tubi, Gonzalez menggelesar kanan-kiri, dengan pengembalian bola yang sepertinya tidak bertenaga.

Tetapi ketika Roddick berada pada posisi bolong, ular Chile itu segera mematuk dengan bisanya. Meneroboskan bola secara halus pada ruang yang sempit. Mengiris ruang sehingga bola jatuh down the line dengan presisi tinggi. Atau secara cerdik melambungkan bola sebagai garis dengan kurva terukur sehingga jatuh di balik punggung petenis asal negeri Paman Sam itu.

Dazzling and glorious shoot !
Demikian seru Vijay Amritaj memuji.
Berkali-kali.

Tetapi tarian ular asal negeri yang pernah diperintah kubu Marxis Demokrat dengan presidennya Salvador Allende, tidak berlanjut paripurna. Sekadar info, nama Allende dipakai sebagai nama salah satu anak pejuang HAM kita, almarhum Munir yang kasusnya pembunuhannya digantung pemerintahan SBY sampai saat ini. Salvador Allende pada tahun 1973 dijatuhkan oleh junta militer yang represif pimpinan jenderal Augusto Pinochet.


Kembali ke Fernando Gonzalez. Diterpa beruntun kesalahan sendiri di saat kritis, terlibat berbantahan dengan wasit, menendang botol minum, sampai membanting raketnya hingga penyok, menandakan ia dibelit rasa frustrasi berat. Pertandingan, dengan meminjam judul lagunya John Lennon sebagai mind game itu, menjadi semakin berat bagi Fernando.

Karena dirinya pertama-tama harus bertarung melawan diri sendiri dulu. Konsentrasinya buyar. Akhirnya ia harus mengakui kemenangan Andy Roddick, 3-2.

Selamat tinggal, Fernando !
Semoga lain kali kita ketemu lagi, sehingga saya bisa menyanyikan lagunya ABBA yang terkenal ini untukmu :

Can you hear the drums Fernando?
I remember long ago another starry night like this

There was something in the air that night
The stars were bright, Fernando

They were shining there for you and me
For liberty, Fernando


Menantang resiko. Saya memilih Fernando Gonzalez karena saya cenderung suka menjagoi para underdog. Justine Henin juga underdog dalam turnamen Australia Terbuka 2010 ini. Ia bisa ikut dengan fasilitas wild card, bukan ?

Pilihan semacam itu tentu mengundang resiko yang lebih besar. Kebetulan isu terkait resiko ini, dengan judul “Dipimpin Oleh Resiko,” pada malam yang sama menjadi topik acara Golden Ways-nya Mario Teguh di MetroTV.

Inti pesannya adalah, kalau Anda takut terhadap resiko atau menghindari resiko, Anda tidak akan pergi kemana-mana.

Pesan serupa juga muncul sebelumnya dalam artikel Rhenald Kasali di Kompas, terkait usrek pengusutan kasus Bank Century. Menurutnya, bangsa Indonesia kini cenderung bersikap fundamentalis (istilah dari saya), yang harus selalu benar seperti malaikat. Salah sedikit saja, dirinya harus memperoleh hukuman setimpal. Malah berlapis-lapis.

Pendekatan seperti ini, menurut saya, akan hanya menghasilkan kelompok insan-insan medioker, under taker dan juga care taker. Mereka itu bukan sebagai inventor atau inovator yang senantiasa berperangai sebagai risk taker.

Sayangnya, kualitas yang pertama itulah yang selama ini terjadi pada pendidikan kita.

Lembaga pendidikan kita senantiasa jauh lebih banyak melahirkan para bebek, yang suka status quo dan membebek, daripada melahirkan insan-insan yang mampu berpikir merdeka yang metaforanya selalu muncul dalam bagian akhir tulisan ilmuwan politik asal UGM, Riswandha Imawan almarhum : eagle flies alone.

Indonesia kita memiliki lambang garuda, tetapi justru bangsa ini sekarang banyak sekali melahirkan bebek-bebek yang suaranya riuh dan mengerubunginya. Lihat saja pemandangan dalam gedung DPR. Termasuk dalam rapat-rapat pansus kasus Bank Century. Utamanya kuak-kuak suara seekor bebek robot yang mengumpat sana-sini, ia semata berteriak untuk mengacaukan paparan lawan politiknya.

Jutaan calon bebek lainnya, kini sedang mengeram di kandang-kandang yang bernama lembaga pendidikan kita. Mereka tiap hari dilolohi doktrin, yang menurut konsultan kreativitas dari Lembah Silikon Roger von Oech dalam bukunya A Whack On The Side Of The Head : How To Unlock Your Mind For Innovation (1983), senantiasa berusaha mencari “satu jawaban yang benar.”


Pendekatan tunggal di atas boleh jadi tepat untuk situasi tertentu. Tetapi bahayanya, kebanyakan bertendensi menghentikan upaya untuk memperoleh jawaban alternatif benar lainnya, setelah jawaban pertama itu diperoleh.

Pendekatan seperti ini patut disayangkan. Karena seringkali jawaban benar yang kedua, ketiga atau yang kesepuluh, merupakan jawaban yang kita butuhkan untuk menyelesaikan masalah secara inovatif.

Terima kasih, Roger.

Buku merah itu saya beli tanggal 2 April 1997. Pas ada obralan di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta. Untuk sekadar tanda, saya tulis pada salah satu halaman depannya : “..buku ini sudah aku impikan untuk aku miliki, sekitar 5-10 tahun yang lalu…dibeli dari honor artikelku, Ambisi Microsoft di tahun 1997, di Media Indonesia, 23 Januari 1997.”

Konsultan kreatif untuk Apple, ARCO, Colgate-Palmolive, IBM, NASA sampai Xerox ini, dalam mengenalkan diri antara lain menulis, “Saya menulis disertasi tentang filsuf Jerman Abad 20, Ernst Cassirer, manusia serba bisa yang terakhir. Darinya, saya belajar bahwa menjadi seorang generalis merupakan hal yang baik, dengan melihat Gambar Besar mendorong kita mampu bersikap fleksibel.”

Sebagaimana penilaian komentator tenis favorit saya Vijay Amritaj yang penderita asma itu terhadap pertandingan Henin-Wickmeyer di Australia Terbuka 2010 di minggu malam itu, saya makmum sekali lagi dalam memberi komentar untuk pendapat Roger von Oech di atas :

“Itu pendapat bintang lima !”
Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 25 Januari 2010

Tuesday, January 12, 2010

Kontroversi Goblog Dalam Buku : Suharto versus Gus Dur

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Soeharto benar-benar gondok. Marah besar sama Gus Dur.

Karena menurutnya Gus Dur telah berbicara kepada wartawan asing, Adam Schwarz, yang menyatakan bahwa anak petani kelahiran Kemusuk, Godean, dan pernah tinggal di kota kelahiran ayah saya, Wuryantoro, serta bersekolahnya di kota saya Wonogiri, lalu menjadi diktator paling lama memerintah itu, disebut sebagai goblog.

Ungkitan cerita perseteruan dua mantan presiden kita itu saya baca dari artikel Siswono Yudo Husodo, berjudul “Gus Dur dan Pak Harto,” di Suara Merdeka, 4/1/2010 : 6. Saya membacanya di Perpustakaan Umum Wonogiri, 6/1/2010.

Menurut cerita Pak Siswono, suatu peristiwa Gus Dur titip pesan kepada beliau agar diteruskan kepada Pak Harto. Isinya, bahwa kyai petinggi NU ini ingin menghadap. Tetapi Pak Harto tak berkenan saat itu. Alasannya ?

Jenderal besar yang tinggal di jalan Cendana itu lalu merujuk kepada isi bukunya Adam Schwarz, A Nation In Waiting : Indonesia In The 1900s (1994).

Menurut paparan Pak Siswono, dalam buku karya wartawan majalah Far Eastern Economic Review yang berbasis di Hongkong itu tertulis kalimat, “That is the stupidity of Soeharto that he did not follow my advice.” Itulah kebodohan Soeharto yang tidak mengikuti nasehat saya.

Ketika kalimat ini dikonfirmasikan kepada Gus Dur, santri humoris ini berusaha menjelaskan bahwa sang pengarang bersangkutan salah kutip. Karena menurut Gus Dur, yang ia katakan selayaknya berbunyi : “That is my stupidity that I do not advice Soeharto.” Itulah kebodohan saya bahwa saya tidak memberi saran kepada Suharto.

Pak Siswono lalu mengutip kata Gus Dur saat itu, bahwa “Tentu saya mengerti kalau Pak Harto tersinggung berat atas kesalahan penulisan itu.”

Kedua mantan presiden kita itu telah berpulang.


Militan vs moderat. Tergerak isi artikel Pak Siswono itu, yang menulis judul bukunya Adam Schwarz itu dengan Nation In Waiting (tanpa “A”), saya mencoba membolak-balik buku hadiah dari Mas Bambang Setiawan, wong Wonogiri yang tinggal di Jakarta, yang ia berikan kepada saya 8 Januari 2006 itu.

Boleh jadi karena kegoblogan diri saya, saya hanya menemukan lema “stupid” yang relevan pada halaman 188. Lema itu termuat dalam konteks terjadinya perbenturan antara muslim militan yang disebut oleh Gus Dur diwakili oleh organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) versus muslim moderat termasuk dirinya.

Menurut Gus Dur, proses demokratisasi harus dimulai dengan penguatan nilai-nilai demokrasi pada tingkat akar rumput, di mana nilai-nilai ini telah diperlemah selama tiga puluh tahun oleh hukum dari penguasa yang otoriter. Apa yang kita butuhkan, demikian keyakinan Gus Dur, adalah pendekatan demokratisasi bottom-up, bawah-atas, yang isinya diperdebatkan secara terbuka.

Bila nilai-nilai demokrasi itu hadir, ia percaya, perubahan politik secara gradual pun akan terjadi seiring terserapnya pandangan terhadap demokrasi yang meluas dan difahami. Pendekatan top-down, atas-bawah, melalui sesuatu kelompok tertentu dengan melimpahinya legitimasi dan pengaruh, sebagaimana Gus Dur melihat apa yang dilakukan Soeharto dengan menganakemaskan keberadaan ICMI, menurutnya hal itu justru berlawanan dengan asas-asas demokrasi yang sejati.

“Bagi Soeharto, ICMI merupakan bulan madu yang pendek. Ia berfikir bahwa dirinya mampu mengontrol (kaum modernis di ICMI) bila mereka bertindak terlalu jauh. Saya kuatir strategi ini akan gagal…Muslim moderat akan menang apabila sistemnya bebas tetapi problemnya Soeharto justru membantu muslim militan…Kita butuh waktu untuk mengembangkan toleransi beragama yang penuh berdasarkan kebebasan berkeyakinan. Sebaliknya Soeharto justru memberikan peluang kepada sekelompok muslim, terutama kelompok militan yang menganut faham bahwa Islam merupakan solusi untuk seluruh problem dalam modernisasi.”

Demikian tutur Gus Dur dalam wawancara 29 April 1992 dan 9 Juli 1992.

Adam Schwarz lalu meneruskan, bahwa dalam wawancaranya dengan Gus Dur di bulan Maret 1992 ia sempat menanyakan mengapa pandangannya itu tidak akan digubris oleh Soeharto.

“Ada dua hal,” sahut Gus Dur.

Lanjutannya akan saya kutip dalam bahasa aslinya buku ini seperti tertera di halaman 188 : “Stupidity, and because Soeharto doesn’t want to see anyone he doesn’t control grow strong.”

Kini keduanya sedang ramai menjadi wacana yang ramai di masyarakat saat diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.


Wonogiri, 13 Januari 2010


tmw