Friday, December 30, 2011

Beyond a Joke, Komedian Wanita Islam dan Natal

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Shazia Mirza.
Anda pernah mendengar namanya ?

Dalam buku Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), sosoknya saya ceritakan ketika membahas mengenai warisan penting almarhum Gus Dur bagi dunia komedi Indonesia.

Sekadar Anda tahu, wafatnya Gus Dur dan Dono, sama-sama 30 Desember, saya usulkan sejak tahun lalu sebagai Hari Humor Nasional.

Shazia Mirza adalah pelawak Inggris yang tidak lajim. Ia perempuan, lulusan biokimia Universitas Manchester dan keturunan Pakistan. Menceritakan isi kelasnya, ia bercerita bahwa mahasiswa muslim pria lebih banyak yang lebih pintar menguasai ilmu kimia dibanding dirinya. “Pantas saja, mereka tekun belajar karena ingin mampu membuat bom,” cetusnya.

Shazia Mirza itu kini datang ke Indonesia. Sahabat saya, pencinta komedi beraliran garis keras asal Jakarta yang ditunjukkan dengan kepemilikan ratusan buku-buku koleksinya (“semua buku bertopik humor, komedi sampai kartun yang dijual di Amazon.com sepertinya telah pindah ke lemari dia”), Danny, beberapa hari yang lalu memberitahukan kedatangan Shazia Mirza itu.

Bagi saya, kedatangannya itu seperti keajaiban. Ketika tanggal 20/10 sd 17/11/2011 saat saya memperoleh fasilitas dan kemewahan langka di Hilton Humor di Kramat Jaya Baru, saya sudah mengincar buku yang membahas dirinya.

Sekadar info, Hilton Humor itu adalah rumahnya Danny tadi, yang tidak berpenghuni, selain terisi dua almari yang berisi koleksi buku-buku di atas tadi. Hampir sebulan saya mendapat bea siswa dari Danny untuk mengeram di sana, bersama buku-buku tadi.

Buku incaran saya itu berjudul Beyond a Joke : The Limits of Humour (2009). Buku susunan Sharon Lokyer, dosen sosiologi dan komunikasi Universitas Brunel (Inggris) dan Michael Pickering, professor media dan analisis kebudayaan, Universitas Laoghborough (Inggris), bersampulkan wajah Shazia Mirza.

Tidak berjilbab. Shazia Mirza akan tampil bersama Ward Anderson (AS), Kamis, 8 Desember 2011, atas undangan The American Club Jakarta, Hotel Mandarin, Jakarta. Lebih menarik lagi, acara pemanggungan dua komedian tunggal itu bertajuk Jakarta Comedy Club Christmas Party.

Dalam wawancara di buku tersebut (hal.119-120) tersaji dialog menarik :

MP (Michael Pickering) : Apakah Anda masih mengenakan jilbab ketika tampil ?

SM (Shazia Mirza) : Tidak. Ketika tampil pertama kali saya tidak mengenakan jilbab, lalu mengenakan, dan sekarang tidak dan saya berpikir tidak akan mengenakannya lagi.

SL (Sharon Lockyer) : Mengapa ?

MP : Apakah itu kesadaran untuk melepaskan dari masa lalu ?

SM : Sebab saya tidak ingin dilihat sebagai komedian muslim, saya tidak ingin dilihat dari pandangan satu dimensi dan semua hal bisa saya bicarakan dan hal itu pula eksistensi dari hidup saya.

Juga tidaklah sangat luwes ketika orang-orang menjadi berpandangan sempit, ketika mereka melihat Anda berpakaian seperti itu dan mereka lalu berpendapat, “Oh, dia tidak boleh ini, tidak boleh itu, sehingga mereka berpendapat tentang Anda dalam tafsir yang tunggal.

Ketika saya berpikir seperti itu, ini gambaran hanya satu dimensi, dan saya bukanlah pribadi yang hanya satu dimensi.

Humor seksi di Tanah Suci. Itulah sepotong profil Shazia Mirza. Ia lebih lanjut mengaku, “Saya merasa lebih jujur sekarang ini. Ketika saya di awal menginjakkan kaki di dunia komedi adalah menfokuskan bagaimana agar orang-orang menjadi tertawa dan ketika Anda mampu mengerjakannya, Anda akan tertantang untuk melakukan hal lain yang lebih menantang, seperti berbagi cerita-cerita yang lebih menarik.”

Barangkali yang ia sebut menarik itu antara lain tersaji di halaman lain (hal.11) yang menceritakan Shazia Mirza ketika mengunjungi Tanah Suci :

“Tahun lalu, saya pergi ke Mekkah untuk membersihkan dosa-dosa saya, di mana saat itu saya berada di sekeliling Ka’bah. Semua perempuan mengenakan pakaian hitam-hitam, yang menyisakan lubang untuk mata mereka. Kemudian saya merasakan ada yang mencowel pantat saya.

Saya cuekkan saja.
Saya berpikir : ‘Saya sekarang berada di Mekkah, dan apakah yang mencowel saya tadi itu tangan Tuhan.’

Kemudian cowelan itu terjadi kembali. Saya tidak mengeluhkan hal itu lagi. Saya menjadi yakin, bahwa semua doa-doa saya telah terjawab."

Apakah lelucon yang sama akan ia tampilkan lagi, di Jakarta ini ?



Wonogiri, 7/12/2011

Sunday, December 18, 2011

Komunikasi Lelaki dan Nasehat mBak Tannen

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Berebut unggul.
Mencari kompromi.
Itulah perbedaan pola komunikasi, genderlect, antara pria-pria versus perempuan-perempuan.

Kaum pria ketika berbicara dengan sesama pria, mereka berusaha berebut unggul atas lawan bicara.Sekaligus menghindari sebagai fihak yang berposisi di bawah.Kaum lelaki senantiasa berada dalam atmosfir bersaing dengan sesamanya.

Sementara pola komunikasi antarperempuan adalah berusaha mencari kesepakatan atau kompromi.

Itulah tesis menarik dari buku karya linguis Deborah Tannen, You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation (1990).

Pesan dalam buku laris itu, yang saya pinjam dari perpustakaan America Cultural Center (ACC) di Wisma Metropolitan 2 pada tahun 90-an, kembali muncul. Yaitu ketika menaiki kendaraan umum antara Bogor-Parung-Serpong-Bumi Serpong Damai-Pamulang-Ciputat-Depok-Bogor, beberapa hari yang lalu.

Saya tiba di Bogor, di rumah adik saya Broto Happy Wondomisnowo,9 Desember 2011.Karyanya berupa buku Baktiku Untuk Indonesia : 60 Tahun Tiada Henti Mencetak Juara, 9 Juara Dunia + 4 Peraih Medali Olimpiade baru saja diluncurkan.

Siangnya, memenuhi niatan lama. Yaitu keinginan untuk berziarah ke makam dosen saya dan juga mantan Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, Ibu Lily Koeshartini Somadikarta. Beliau wafat tahun 2009, dimakamkan di TPU Blender, Kebon Pedes, Bogor.

Hari Sabtunya, 10 Desember 2011,ke Jakarta. Untuk sowan ke rumah Bapak Taufik Rachman Soedarbo, di Cilandak.

Saya pertama kali ke rumah ini tahun 1986, saat ingin menemui putrinya yang cantik, artistik dan karismatik, Widhiana Laneza (foto). Anez yang kelahiran Brussels di tahun 1963 itu sudah tak bisa lagi saya temui. Alumnus Arkeologi FSUI itu meninggal dunia di Denpasar, Bali, 20 Desember 2005.

Sekitar 2-3 jam saya mengobrol dengan Bapak Taufik. Berdua. Saya sempat membaca-baca buku yang memuat sejarah hidup dan sepak terjang beliau sebagai diplomat. Juga mengobrol di ruang baca, tempat buku-buku koleksi pribadi Anez masih tertata rapi di rak.

Kepada beliau saya serahkan fotokopi buku Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (1987). Sejak saya sowan tanggal 13 November 2011, beliau sempat menanyakan buku yang sudah out of print ini. Sebagai kilas balik, ilham penulisan buku ini adalah Grigri, Cakil, sampai Pancho. Siapa mereka ? Ini merupakan nama-nama anjing kesayangan dari Widhiana Laneza. Juga saya serahkan buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010).

Dari Cilandak, saya pamit, untuk menuju TPU Jeruk Purut. Walau diguyur hujan, saya menyempatkan diri berziarah di makam Ibu Bintari Tjokroamidjojo Taufik, Liana Rasanti (adiknya Anez, meninggal tahun 1965) dan juga makam Widhiana Laneza.Juga menyerahkan foto yang berpose dengan Pak Daman, petugas makam, saat saya berkunjung 15 November 2011.

Reuni Mandungan. Minggu tanggal 11/12/2011, dari Bogor saya menuju Parung naik bis mini. Disambung naik angkot jurusan Bumi Serpong Damai, untuk turun di Buaran Gardu, Serpong.

Acaranya : bertemu dengan rekan-rekan Workshop Seni Lukis Mandungan Muka Kraton Surakarta yang sudah lama tidak bertemu. Workshop itu terjadi tahun 1972.

Reuni itu berlangsung di rumah mentor workshop melukis itu, Mas Abdurrahman. Yang hadir, murid-murid beliau. Antara lain : Efix Mulyadi, Si Benk, Suryo Lelono, Sarwono, Mamok,Chosani, Budoyo Sumarsono, Musyafik, Harsoyo Rajiyowiryono dan Subandiyo.

Juga hadir pegawai PKJT saat itu, tetapi dekat dengan kami, Mas Sudarto. Yang tidak hadir tetapi menitipkan salam adalah mBak Tantin Sasonomulyo dan Nanik Gunarni.

Saya sendiri, aktif di Mandungan tahun 1977-1980. Sebenarnya bukan murid Mas Rahman, tetapi bersahabat kental dengan murid-murid beliau. Saya bisa hijrah ke Jakarta untuk berkuliah di JIP-FSUI berkat bantuan informasi dari Bang Efix Mulyadi, yang saat itu (dan sampai pensiun) sebagai wartawan Kompas. Saat awal, juga satu kos dengan Chosani dan Sarwono, di Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur.

Peserta reuni di Buaran Gardu itu juga menanam pohon sawo kecik, yang mengandung pesan sarwo becik (serba baik), yang atas prakarsa Harsoyo dapat memperoleh pohon itu dari lingkungan Kraton Surakarta. Kebetulan di depan Sanggar Mandungan juga tumbuh pohon serupa.

Kami juga menuliskan kesan di kanvas kenangan, yang rata-rata berpendapat bahwa fase-fase di sanggar itu memunculkan nilai-nilai penuh makna bagi hidup masing-masing hingga saat ini.

Pamulang-Depok : Nostalgia. Usai dari lokasi reuni, saya pindah "kos" ke rumah teman sesama kuliah di JIP-FSUI. Yaitu Bakhuri Jamaluddin, kini verifikator Jamkesmas Pusat, di Pamulang. Sebelum ke Pamulang, saya harus menemui teman istimewa yang akan pamit untuk kembali ke Inggris (14/12/2011). Ketemuannya di mal Teras Kota, Bumi Serpong Damai.

Sesudah menginap dua malam di Pamulang, saya tur ke Depok. Ke rumah Sarwono, di Jl. Ciliwung, lalu main ke rumah Suryo Lelono di Cimanggis. Kemudian ke Pondok Duta, menemui Mas Sudiyono dan mBak Erna di warung soto mie miliknya. Juga sowan ke rumah mBah Roto putri, di Pondok Duta juga.

Mas Sudi, mBak Erna, mBah Roto, Sarwono dan saya di tahun 80-95 adalah warga satu komplek di Jl. Belimbing, Rawamangun.Komplek itu dijadikan ruko, warganya "bubar" kemana-mana. Setelah belasan tahun terpisah, baru bisa ketemuan lagi di hari kemarin itu.

Tanda kelemahan. Selain diantar Sarwono, saya naik angkutan umum. Sebagai pengalaman pertama menjelajah kawasan itu, saya sudah membuang rasa gengsi atau sungkan yang menghalangi niat untuk bertanya-tanya.

Tentu saja bertanya tentang rute atau pun nomor kendaraan yang akan saya naiki. Ada catatan, yang belum tentu valid,yang kemudian saya peroleh dalam pelbagai momen bertanya kesana-kemari itu.

Bahwa ketika saya bertanya kepada supir angkot atau kondektur bis,mereka kemudian rata-rata sepertinya meminta bayaran ongkos yang lebih tinggi. Pertanyaan saya kepada mereka rupanya merupakan sinyal sebagai tanda "kelemahan" saya dan hal itu mereka manfaatkan dengan menaikkan ongkos. Saya senyum-senyum saja mendapat perlakuan seperti ini.

Berbeda halnya bila saya bertanya kepada seorang perempuan, yang kebetulan sama-sama menaiki angkutan umum yang sama. Pertanyaan saya tentang rute, mungkin saja justru dianggap sebagai sebuah "penghormatan" bagi mereka.

Karena mereka rata-rata nampak antusias dalam memberikan jawaban, petunjuk, bahkan sangat detil. Juga tak jarang ceritanya malah melenceng dan keluar dari konteks semula.

Seperti saat saya kembali dari Bogor menuju Solo, menaiki bus Raya, disamping saya ada seorang ibu. Saya bertanya, "turun mana,ibu ?" ternyata pertanyaan itu memancing cerita ibu tersebut jadi berlanjut. Ibu itu, orang Jawa asal Semarang, berjilbab, sosoknya masih nampak muda.

Kita mudah tidak percaya kalau beliau sudah memiliki cucu.Ia nampak independen, dengan berani bepergian seorang diri. Selama perjalanan juga tidak melakukan percakapan telepon dengan anak, atau kerabatnya.

Ketika rasa kantuk belum tiba, berkali-kali terdengar suara dering ritmis dari HP ditangannya. Saya baru ngeh kemudian, ternyata ibu tadi asyik bermain game. Sebelumnya, beliau asyik bercerita tentang anak-anaknya.

Termasuk yang baru saja diantarnya untuk berangkat ke Kanada menyertai suaminya yang bule.Pasangan ini dikaruniai satu anak, dimana si bule itu duda dengan dua anak dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia.

Ibu itu bahkan cerita tentang pesan khusus kepada putrinya. Bahwa dirinya tidak hanya diminta mencintai si bule itu, saja tetapi juga harus mencintai kedua anak dari istrinya yang terdahulu.

Terima kasih,mBak Deborah Tannen.

Kini saya tahu. Bahwa saya kalau tersesat di suatu tempat, atau saat ingin menaiki kendaraan umum di tempat asing, saya sekarang tahu kepada siapa sebaiknya saya harus bertanya.Apalagi, sok GR, saya juga merasa memiliki telinga yang berfungsi masih baik adanya.


Wonogiri,19/12/2011

Sunday, December 04, 2011

Buku "Komedikus Erektus" Dikoleksi Perpustakaan Universitas Ohio Amerika Serikat

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


The SBY Effect.
The Manmohan Singh Effect.
Dan The Komedikus Erektus Effect.

Nama pertama, SBY, adalah singkatan nama untuk presiden kita. Manmohan Singh adalah nama perdana menteri India. Komedikus Erektus, adalah judul buku humor politik saya.

Ketiganya bisa dimirip-miripkan memiliki kesamaan. Yaitu, ketiganya tidak begitu memperoleh apresiasi secara optimal di dalam negeri walau dihargai di manca negara.

Mungkin analogi itu berlebihan.

Tetapi untuk nasib buku Komedikus Erektus, semoga efek di atas itu menjadi kabar yang cukup bagus bagi para pencinta buku humor di Indonesia. Juga komunitas komedi di Indonesia.

Pasalnya, buku humor politik tersebut yang lengkapnya berjudul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania,2010), rupanya kini telah terbang jauh. Bahkan menyeberangi samudera, untuk sampai ke kota Ohio, di Amerika Serikat.

Nampak dalam foto momen saat peluncuran buku itu dalam acara reuni trah saya, Trah Martowirono XXVI di Polokarto, Sukoharjo, bulan September 2011 yang lalu.

Di bawah label subjek "Indonesian wit and humor," "Indonesia -- Social conditions -- Humor" dan "Indonesia -- Politics and government -- Humor", syukurlah buku bersampul warna biru telah ikut bisa mengisi rak Perpustakaan Universitas Ohio, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat.

Di antara ratusan atau ribuan buku berbahasa Indonesia yang mereka akuisisi, sungguh suatu kehormatan pula bahwa gambar sampul, data buku dan salinan resensi yang ditulis Badhui A. Suban, Sarjana Sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran Bandung, telah ikut ditampilkan di blog perpustakaan tersebut.

Informasi tentang buku tersebut detilnya bisa Anda klik disini. Sementara informasi mengenai lokasi penempatannya di Perpustakaan Vernon R. Alden Library, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat, bisa Anda klik disini.

Sebelumnya, juga diketahui bahwa buku yang sama telah pula menjadi koleksi perpustakaan terbesar di dunia, Library of Congress di Amerika Serikat dan Perpustakaan Nasional Australia di Melbourne.

Itulah secuplik cerita tentang upaya menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan dari dari alumnus JIP-FSUI untuk dunia. Siapa menyusul ?



Wonogiri, 5/12/2011

Friday, October 28, 2011

Komedikus Erektus, Cerita Dari Dua Toko Buku di Jakarta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Diminati maling. Buku-buku humor tampil “menyedihkan” di pelbagai toko buku. Di Solo, di sebuah toko buku terkenal, di dekat rak buku-buku humor itu terpasang tulisan peringatan bila ada yang tertangkap mencuri buku akan diproses menurut hukum.

Apakah buku-buku humor memang menjadi sasaran “cerdas” bagi para pencinta humor yang tak punya uang ? Boleh jadi. Tetapi dalam kunjungan terakhir, rak-rak buku humor menjadi lebih menjauh dari tempat pengumuman itu.

Jadi buku-buku humor kiranya tak lagi menjadi sasaran pencurian ? Menyedihkan. Mungkin ini cerminan perekonomian yang buruk, di mana pedagang yang sering ngemplang pun tidak lagi memesan barang bersangkutan.

Dalam kesempatan dolan-dolan di dua toko buku di Jakarta, posisi rak untuk buku-buku humor tidaklah eye catching. Bahasa Jawanya, njlepit, alias sulit terakses oleh lalu lalang pengunjung.

Di Toko Buku Gunung Agung, Kwitang (22/10/2011), saya mencoba mencari tahu nasib buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010). Sebelumnya saya membeli majalah Bloomberg Businews Week edisi 20-26 Oktober 2011. Edisi yang menyentuh hati saya, karena semua tulisannya tentang kenangan terhadap Steve Jobs (1955-2011).

Mengetikkan judul buku saya di komputer toko buku warisan Mas` Agung itu, memang muncul lemanya. Tetapi persediaan yang ada : 0. Nol. Apakah ini pertanda betapa stok buku saya itu habis, laris manis ? Atau sebaliknya, sehingga toko buku bersangkutan “tidak sudi” memajangnya lagi ?

Sehari sebelumnya (21/10/2011), di Toko Buku Gramedia, Matraman Raya (“toko buku favorit saya sejak 1980 ketika saya belajar di Kampus UI Rawamangun”), muncul fenomena berbeda. Sebelum utak-utik komputer di toko buku besar itu, saat keliling-keliling saya memergoki bukunya Thomas L. Friedman,Hot, Flat and Crowded : Why We Need Green Revolution (2009). Diiringi lagunya Spice Girls, “2 Become 1” saya memutuskan membeli buku setebal 500 halaman lebih itu.

Kini saatnya menguber posisi buku saya. Ketika mengetikkan lema judul buku saya, tersaji info bahwa di toko buku itu terdapat stok sejumlah 27 eksemplar. Tetapi juga tersaji keterangan aneh dan memicu penasaran. Karena tidak ada data lokasi buku bersangkutan.

Ketika pun menelisik ke rak buku-buku humor, dan harus bertanya kepada petugas dua kali karena njlepit letaknya, saya tidak berhasil memotret bagaimana buku saya itu terpajang pada sebuah toko buku besar ini.

Saya hanya bisa memotret tampilan data di komputernya.
Dan terus terbelit oleh tanda tanya, bagaimana semua itu bisa terjadi.


Kramat Jaya Baru, Jakarta, 29/10/2011
Selamat ulang tahun untuk Anissa Astrid Alifta

Thursday, September 15, 2011

Toko Buku Borders Dalam Kenangan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

Dudu sanak dudu kadang. Yen mati melu kelangan.”

Bukan kerabat, bukan saudara. Bila meninggal, ikut merasa kehilangan.

Jaringan toko buku Borders di Wheelock Place, pojok perempatan Orchard Road dan Patterson Road, Singapura, telah tutup untuk selamanya pada tanggal 3 September 2011 yang lalu.

Ada sepotong hati ini yang ikut hilang.


Wonogiri, 15/9/2011

Wednesday, July 13, 2011

Gadis Cantik, Rahasia Google, Nostalgia Jogja

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Gadis cantik di seberang itu memakai jaket biru. Bertuliskan, “Economics UGM.” Ia berkali-kali menghindari adu pandang.

Ia lebih tersedot perhatiannya kepada telepon genggamnya. Hampir sepanjang perjalanan Solo-Yogya.

Di sebelahku, anak muda laki. Berkali-kali mencek telepon genggam dari tasnya. Sebelahnya lagi, seorang bapak muda. Sejak naik, headset nampak terus menempel di telinganya.

Di seberang jauh, ada yang membaca koran. Sisa penumpang di gerbong kereta api Prameks yang saya tumpangi pagi itu (12/7/2011), tenggelam dalam lamunan masing-masing.

Saya terbenam sendirian dalam pengembaraan yang dipandu John Battelle. Ia adalah editor pendiri majalah gaya hidup digital, Wired, yang di Indonesia pada tahun 2001 dijual seharga 125 ribu rupiah. Sementara majalah lain yang juga saya sukai, Harvard Business Review dijual sampai 250 ribu rupiah.

John Battelle itu telah menulis seluk-beluk sejarah dan pengaruh keberadaan mesin pencari Google. Judul asli bukunya itu, The Search: How Google and Its Rivals Rewrote the Rules of Business and Transformed Our Culture (2005).

SBY, staf dan kroninya yang bertugas dalam politik pencitraannya, seyogyanya membaca buku ini. Siapa tahu, mereka akan menjadi maklum mengapa di bulan Februari 2011 lalu ketika seseorang mengetikkan lema “kebaikan sby” langsung disambut Google dengan pertanyaan balik yang sangat menohok : “Mungkin maksud Anda adalah keburukan SBY?

Pustakawan ("nama Dewey juga muncul di buku ini"), bahkan juga Anda yang ingin tahu posisi diri di tengah perubahan kosmos ilmu pengetahuan dan budaya masa kini, sebaiknya juga membaca. Ini bukan buku tentang teknologi, atau sejarah bisnis perusahaan. Tetapi sebuah ulasan dalm dan menggairahkan tentang antropologi budaya suatu pencarian dan menganalisis mesin pencarian tersebut dalam perannya sebagai database of our intentions, pangkalan data penuh arti, karena di dalamnya terhimpun rasa ingin tahu kemanusiaan, eksplorasi dan gairah-gairah yang terekspresikan.

Google mencatat dan mendokumentasikan secara terinci lalu lalang pikiran umat manusia dalam lebih dari 150.000 pangkalan data. Ia tahu persis, misalnya berapa juta kata “seks” atau “pornografi” yang diketik oleh orang Indonesia atau bangsa lainnya dalam kurun waktu tertentu.

Lalu muncul pikiran usil, kalau misalnya “x” itu kini menjadi minat sesuatu bangsa, bagaimana kalau kita jualan produk-produk yang terkait “x” kepada bangsa bersangkutan ? Kalau dalam sesuatu jajak pendapat seseorang tokoh dikabarkan populer dalam pangkalan data Google, tetapi bagaimana kalau yang dibocorkan ke media justru tokoh lainnya ? Google tahu kedahsyatan dirinya. Maka mereka pun pagi-pagi sudah memasang slogan Don’t be evil. Janganlah menjadi jahat.

The Dirty Thousands. Dalam perjalanan di atas Prameks itu saya baru membaca sampai halaman 41. Buku saya masukkan ke dalam tas punggung, dan gantian saya kembali membaca kartu berisi butir-butir topik terkait dengan misi perjalanan ke Yogya ini. Yaitu ingin ikut audisi Stand-Up Comedy Indonesia yang diadakan oleh KompasTV. Di Liquid Café, Jl. Magelang.

Saya tiba di stasiun Tugu, jam 8 pagi. Kereta api (walau sudah tak menggunakan api) ini ketika di tahun 70-an bernama Kuda Putih, telah memicu saya membuat cerita pendek. Judulnya, “Cintaku Antara Balapan dan Tugu.”

Kalau tidak salah tahunnya, yaitu 1978, dimuat di majalah Gadis. Itu cerpen kedua saya dan yang terakhir di majalah yang salah satu redaksinya, mBak Threes Emir, merupakan kakak kelas di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI.

Keluar dari Stasiun Tugu, jalan kearah timur, langsung menatap bangunan yang dulu di tahun 1970-an dipakai sebagai markas Kodim 0734. Kantor ayah saya, almarhum Kapten Kastanto Hendrowiharso. Saat itu saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, di Jetis.

Kalau pas pelajaran dibatalkan, saya mengajak teman yang punya uang. Hanya dengan uang Rp. 50,00 dirinya saya ajak menemui Bapak saya. Di sana ada jatah bagi tentara untuk membeli karcis bioskop tayangan siang hari, matinee. Uang Rp. 50,00 bisa untuk menonton bagi dua orang.

Film saat itu yang jadi perbincangan antara lain kisah percintaan mahasiswa Harvard, yaitu Love Story-nya Ali McGraw dan Ryan O’Neal. Juga filmnya Lee Marvin dkk, The Dirty Dozen, cerita tentang pasukan komando terdiri dari 12 tahanan yang menyusup dan menghancurkan markas tentara Nazi Jerman.

Ketika baru-baru ini otoritas perfilman Indonesia bilang bahwa negeri kita akan menjadi tempat syuting 7 film manca negara, saya bergumam : “Sebaiknya ada film yang menceritakan SBY dan kemelut skandal korupsi di Partai Demokrat. Dan The Dirty Thousands kiranya merupakan judul yang tepat untuk film bersangkutan.”

Menjejaki Malioboro, saya kemudian menunggu bis TransJogja di terminal yang persis di seberang kantor Perpustakaan Daerah Yogyakarta. Ada papan namanya berbunyi, Jogja Library Center (JLC).

Seingat saya, sepanjang tahun 1970-1972, saya hanya sekali mengunjungi ruang bacanya. Terasa gelap, seperti suasana filmnya Harry Potter. Sejak itu tak berkunjung lagi, padahal tempat tinggal saya di Dagen, hanya sekitar 800 m dari perpustakaan ini.

Toh masih ada kenangan manis tersisa. Tahun 1977 ketika saya beraktivitas di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya pernah meminjam belasan koleksi majalah dinding perpustakaan ini. Saat itu saya dibantu petugasnya yang ramah : Mas Heri Santoso.

Majalah-majalah dinding yang hasil karya SLTA Yogyakarta itu lalu saya pamerkan di Solo. Dua kali. Kemudian kami pajang bersama karya-karya murid SLTA Surakarta. Karya anak-anak Jogja jauh lebih gaya.

Selain papan nama JLC, terdapat spanduk berisi informasi lomba menulis surat untuk ibu yang diadakan oleh perpustakaan tersebut. Terbuka untuk murid SD dan SMP. Topiknya, “Ibuku, Perpustakaanku.”

Sedikit berefleksi, menulis surat adalah salah satu pintu gerbang diri saya untuk menyukai kebiasaan menulis. Dan tentu saja, membaca. Sebagai anak yang pemalu, ketika SD (saya tinggal di Wonogiri, tetapi ayah saya bekerja di Yogya) saya menyatakan keinginan dengan menulis surat.

Juga ketika ingin dibelikan buku. Hari Minggu siang, ketika ayah saya akan kembali ke Yogya, bila menginginkan buku saya akan tulis judul dan nama pengarang di secarik kertas. Diam-diam, kertas itu saya masukkan ke saku baju seragam ayah saya.

Sabtu minggu depan, sekitar jam 3 sore, ketika ayah saya datang dan tidak usah saling ngomong, saya segera menggeledah isi tas kerja beliau. Selain buku-buku pelajaran, buku bacaan favorit adalah kisah Mahesa Djenar dalam karya SH Mintardja, Nogososro-Sabukinten., yang akan saya temukan. Bau tintanya masih terpateri hingga kini. Lalu meringkuk di kamar tidur, membacanya. Menjelang Maghrib, buku itu pun selesai.

Kembali ke perpustakaan Jogja. Di bagian lain spanduknya itu nampak terpajang logo beberapa lembaga negara, televisi dan perusahaan, sebagai sponsor perlombaan. Kalau saja saya bekerja di perpustakaan, saya akan senang hati belajar lagi dari perpustakaan Jogja ini dalam mengadakan aktivitas yang kreatif dan inspiratif tersebut.

Muncul sajalah. Ketika bis TransJogja 3A tiba, Malioboro segera saya tinggalkan. Di jalanan ini, dulu-dulu itu, saya suka nabrak-nabrak untuk menyapa turis asing. Sekadar melatih bahasa Inggris semampunya. Perjalanan bis nampak lamban, mungkin karena saat itu saya lagi tergesa-gesa.

Seharusnya saya belajar untuk mengendalikan perangai suka tergesa-gesa ini. Demikian pula ketika dalam mencoba berenang di lautan dunia komedi, yang ingin saya terjuni, dengan mengikuti audisi komedian tunggal oleh KompasTV ini.

Audisi saya gagal. Tetapi, syukurlah, dampaknya tidak fatal-fatal amat. Karena dari rumah sudah saya siapkan beberapa mata pancing. Beberapa opsi. Ada yang untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih banyak lagi mata-mata pancing untuk masa depan. Yang bahkan sinarnya pun baru mengintip di balik cakrawala.

Bagi para pencari kerja, saya ajak Anda menyimak nasehat Paul Arden ini. Ia eksekutif kreatif perusahaan periklanan kelas dunia Saatchi & Saatchi yang menulis buku berisi ajaran agar kita berani melawan arus. Karena emas ada di sana.

Dalam bukunya Whatever You Think, Think The Opposite (2006), ia menulis : “Jika Anda tidak mempunyai gelar atau biaya kuliah, muncul saja. Jika Anda ingin ada dalam pekerjaan di mana mereka tidak menerima Anda, muncul saja.

Pergilah menghadiri kuliah-kuliah, mondar-mandirlah mengerjakan segala sesuatu, buatlah diri Anda berguna. Buatlah orang-orang mengenal Anda. Pada akhirnya mereka akan menerima Anda, karena Anda adalah bagian dari komunitas mereka.

Mereka tidak hanya akan menghormati kegigihan Anda tetapi juga akan menyukai Anda karenanya. Ini mungkin akan makan waktu, katakan setahun, tetapi Anda akan diterima, bukan ditolak.”

Terima kasih, Paul. Ajaran Anda itu memberi saya perasaan dada lega ketika naik bus untuk meninggalkan Yogya. Saya sudah mengikuti nasehat Anda. Saya sudah muncul, dan hal magis itu kini kiranya sedang bekerja.

Tetapi tetap ada hal rada mengecewakan. Keinginan reuni dengan gadis cantik berjaket “Economics UGM” tadi hanya tinggal kenangan semata.

Tak apa-apa. Apalagi saya kini juga sudah tak mampu lagi menulis seperti “Cintaku Antara Balapan dan Tugu,” sebuah cerita pendek picisan yang saya tulis beberapa dekade lalu itu.


Wonogiri, 14/7/2011

Buku “Komedikus Erektus” Mau Mejeng Di KompasTV ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Pengarang buku, sebaiknya semi famous.

Maksudnya, agak-agak terkenal, kira-kira begitulah. Karena keterkenalan membawa berkah. Bagi penulis dan juga bagi buku karyanya.

Bagaimana caranya menjadi agak-agak terkenal itu ? Menurut Burke Allen, apabila Anda mampu membuat proposisi yang unik dan menarik sehingga mampu menyentuh emosi, orang-orang akan antri untuk berbicara kepada Anda ketika tampil di televisi, radio, Internet dan di media cetak.

Hal yang menarik, lanjut Burke Allen, semua hal itu seringkali tidak terkait dengan buku Anda karena media tertarik mewawancarai Anda, bukan hendak membahas buku Anda. Tetapi semua media itu akan mengijinkan Anda untuk memamerkan buku Anda, sehingga buku Anda tersebut berkesempatan tampil dalami liputan yang menguntungkan.

Hari Selasa (12/7/2011) saya mengalami persis hal di atas. Saat itu saya mengikuti audisi Stand-Up Comedy Indonesia yang diselenggarakan oleh KompasTV. Lokasi audisi di Liquid Café, Jl. Magelang, Yogyakarta. Dalam foto saya bersama Imot a.k.a. Sigit Hariyo Seno, anak muda Yogya yang sengaja mau jatuh-bangun merintis karier sebagai komedian tunggal, dan akhirnya sering mengisi pagelaran di Kafe Jendelo, Yogya. Ia lolos audisi di Yogya itu.

Dari rumah Wonogiri saya berangkat jam 5 pagi. Di dalam tas saya berisi buku biografi Warkop, Main-Main Menjadi Bukan Main (2010) dan enam buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010).

Buku pertama itu akan saya mintakan tanda tangan kepada penulisnya, pelawak Indro Warkop, yang menjadi juri audisi. Sedang buku saya, rencananya akan saya berikan kepada Indro Warkop, Butet Kertarajasa (juri kedua), artis Astrid Tiar, dan host acara itu, Panji Pragiwaksono dan Raditya Dika.

Hal tak terduga kemudian terjadi. Sebelum audisi berlangsung, saya diwawancarai mBak Dossy dari Kompas TV. Ia bertanya mengenai minat saya mengenai dunia komedi dan apa saja yang telah saya kerjakan selama ini. Singkat cerita, saya juga menunjukkan buku saya ini.

Sejurus kemudian ia melakukan koordinasi dengan sutradara lapangan dan kameraman. Selanjutnya meminta saya keluar ruangan untuk syuting pembuatan videoklip yang menggambarkan profil diri saya.

Begitulah kejadiannya, berkat bawa-bawa buku, saya hari itu rupanya telah menjadi semi terkenal. Sebagian peserta audisi lainnya, yang baru pertama kali bertemu, malah ada yang bertanya tentang buku saya berikutnya.

Di bawah todongan kameranya Mas Oman, disutradai mas Arif, saya diminta akting menyeberang jalan, lalu berhenti menatap papan nama kafe, disusul menceritakan niat ikut audisi, dan juga membuat sampul buku saya nampak di-close-up habis-habisan.

Audisi saya hari itu memang tidak berhasil. Tetapi rencana-rencana saya terkait buku, berhasil saya laksanakan.

Saya bisa meminta tanda tangan, sekaligus berkenalan secara akrab, dengan Indro Warkop dan Butet Kertarejasa, yang walau baru saja “membantai” saya sehingga tidak lolos audisi. Kepada mereka, saya berikan pula buku saya, dan gentian Indro Warkop yang meminta tanda tangan saya.

Keluar dari panggung audisi, kejutan lain menunggu. Saat itu saya langsung diajak mengobrol dengan mBak Argalaras, associate producer dari KompasTV. Kami saling bertukar kartu nama. Dalam keremangan kafe (walau siang hari), saya sebut namanya indah. Ia juga cantik sekali.

Kita kemudian bertukar visi mengenai apa yang bisa kami kerjakan kelak untuk menunjang keberhasilan audisi komedian tunggal ini. Kepada dirinya, juga saya berikan buku saya. Konon, klip itu akan ditayangkan pada bulan September 2011 mendatang.

Pengalaman yang unik.

Berkat buku, ketika sebuah pintu tertutup, ternyata masih ada jendela-jendela peluang lain yang kemudian terbuka. Apakah Anda pernah mengalami hal yang sama dengan buku-buku Anda ? Saya menantikan cerita Anda.


Wonogiri, 13/7/2011

Monday, June 27, 2011

The Book and The Beautiful Girl

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

Photobucket

Gelisah.
Ciri-ciri orang yang menanti.
Memainkan telepon genggam.
Kirim-baca sms. Bertelepon-ria.
Membunuh waktu.

Siang itu saya dianugerahi panorama berbeda. Kamera Nikon saya yang invalid itu bahkan tidak berani berdusta.

Beautiful girl, I'll search on for you/'Til all of your loveliness in my arms come true/You've made me love again, after a long, long while/In love again…

[Jose Mari Chan, “Beautiful Girl”].


Wonogiri, 28/6/2011

The Age of Muslim Wars di Indonesia ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Picasso.
Andy Warhol.
Wassily Kandinsky.
Juga Jackson “action painting” Pollock.

Jangan bayangkan museum atau galeri yang memiliki koleksi lukisan karya para maestro di atas itu berada di New York, London, Paris atau Bilbao. Karya-karya master piece para maestro itu justru disimpan di ruang bawah tanah sebuah galeri di Teheran, Iran.

Aneh juga. Negara para mullah yang berseteru secara sengit dengan Israel, juga dengan negara-negara Barat itu, justru tetap melestarikan karya-karya lukisan orang-orang Barat itu.

Saya juga ikut-ikutan menceritakan hal unik terkait negeri Iran. Dalam buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010) yang sekuelnya bisa terbit bulan Oktober 2011, saya kutipkan cerita tentang lawakan komedian perempuan, Tissa Hami, yang berasal dari Iran tetapi kini menetap di Amerika Serikat.

Tissa Hami itu bergelar Master Kajian Internasional. Ia kini bekerja di John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard. Ketika tanggal 29 September 2009 saat SBY berpidato di sini, tentu ia ikut menjadi seksi repot. Tambahan info, anak sulung SBY, Kapten Agus Harimurti, juga berkuliah di sini.

Saya tidak tahu apa Tissa Hami saat itu juga tergelitik membuat lawakan tentang SBY yang berpidato di Harvard itu. Tetapi SBY-nya sendiri sering dikabarkan bangga dengan isi pidatonya saat itu. Bahkan oleh seorang pelatih pidato terkenal, Richard Greene, pidato SBY itu disisipkan dalam bukunya sebagai salah satu pidato abad ke-21 yang mengguncang dunia. [Di kepala saya muncul bunyi 'klik' : “Saya memperoleh ilham baru lagi untuk menulis humor tentangnya, di buku saya kemudian :-)”].

Kembali ke Tissa Hami. Latar belakang asalnya yang dari Iran dan referensi buruk hubungan di tahun 1970-an antara negeri kelahirannya dengan negerinya kini, justru sering menjadi materi lawakannya. Katanya : “Kalau tidak ada penonton yang tertawa mendengar lawakan saya, Anda semua akan saya jadikan sandera !”

Itulah humor orang Iran. Kalau saja lukisan-lukisan karya para “bule” itu berada di Afghanistan, sambil merujuk nasib patung-patung Buddha raksasa yang dihancurkan kaum Taliban, pasti karya seni bernilai jutaan dollar itu boleh jadi sudah lama menjadi abu.

Nasib patung Buddha raksasa itu pernah menjadi rujukan komedian intelek Steve Martin ketika memandu acara Oscar tahun 2001. Ia sambil merujuk patung-patung raksasa Oscar di sekitar panggung, lalu menyeletuk : “Kalau di Afghanistan, semua Oscar-Oscar itu pasti sudah dihancurkan oleh Taliban !”

Iran yang unik. Cerita itu saya ikuti ketika menonton tayangan kisah perjalanan menarik dari Diego Bunuel. Orang Perancis yang ramah ini keliling dunia untuk mengunjungi dan menceritakan hal-hal menarik yang ia temui. Acaranya itu bertajuk “Don’t Tell My Mother,” di kanal National Geographic Channel.

Sebelum bercerita tentang koleksi lukisan, Diego menemui komunitas orang Yahudi di Iran. Bayangkan, hubungan Iran dengan Israel ibarat anjing lawan kucing, tetapi komunitas Yahudi itu aman dan damai menjalankan ibadah.

Bahkan komunitas Yahudinya terbesar kedua setelah negeri Israel. Mereka hidup aman dan damai. Sinagognya tak pernah diusik orang Iran, karena menurut tokoh Yahudi di Iran itu, “warga negara Iran tahu membedakan mana urusan agama dan mana urusan politik.”

Cerita Diego Bunuel itu mengingatkan saya akan isi artikel yang ditulis Francis Fukuyama di majalah Newsweek, edisi dobel, Desember 2001-Februari 2002. Topik utamanya adalah Era Perang Kaum Muslim. The Age of Muslim Wars. Tentang era centang-perenang ketika kaum muslim berperang melawan muslim, dan juga peperangan muslim melawan Barat.

Majalah edisi ini bernilai sentimental sekaligus monumental. Juga buku The Comedy Bible-nya Judy Carter (foto). Karena keduanya saya beli untuk meredakan gejolak hati setelah memperoleh surat vonis PHK dari sebuah perusahaan Internet di Jakarta.

Dalam artikelnya di Newsweek yang berjudul “Today’s New Fascist, Their Target : The Modern World,” Fukuyama justru menyimpulkan bila “ada negara yang mampu memimpin dunia Islam untuk keluar dari jaman sulit dewasa ini, maka negara tersebut adalah Iran.”

Menurutnya, generasi Iran kini yang rentang usianya di bawah 30 tahun rata-rata tidak lagi menaruh simpati terhadap faham-faham fundamentalis “Dan bila Iran mampu menghadirkan sosok Islam yang lebih modern dan toleran, negeri tersebut akan menjadi model yang kuat bagi seluruh sisa negeri-negeri muslim di dunia,” pungkas Francis Fukuyama.

Bagaimana dengan Indonesia ? Republik Indonesia bukan negara agama. Tetapi tiap kali, antara lain mendengar pidato pembelaan Abu Bakar Baasyir di persidangan, juga heboh cerita tentang Panji Gumilang dan KW 9 (jadi isi laporan utama majalah Tempo terbaru) muncul teka-teki : apakah “The Age of Muslim Wars” justru telah “berpindah” ke Indonesia kini ?

Bagaimana pendapat Anda ?
Ayo jawab.

Tak usah menunggu orang Perancis ganteng itu, Diego Bunuel, melaporkannya dalam seri “Don’t Tell My Mother : Indonesia” di tayangannya mendatang.

Wonogiri, 19 Juni 2011

Anak Anda, Korban Perang Saudagar Penjual Kematian ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Elvis Presley, Anda kenal ? Raja rock’n roll asal Memphis dan punya lagu hit “Blue Suede Shoes” itu pernah saya jadikan sebagai bahan olok-olok. Yaitu dengan mempersonifikasikan gaya dan seragam pasukan “sepatu beludru biru”-nya Partai Demokrat dalam show kampanye SBY di Pilpres 2009 yang lalu.

SBY dan putranya berpakaian dan bernyanyi a la Elvis. Rambut berjambul, kerah tegak a la kaos Erik Cantona atau baju Drakula, disusul adegan hot goyang pinggul. Penari latarnya semua bersepatu biru buatan pabriknya Hartati Murdaya (pendukung fanatik SBY), dan koreografi tarinya ditata oleh Angelina Sondakh.

Bagi Anda yang sudah membaca buku Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), semoga masih mengingat cerita di halaman 105-111 itu.

Pilpres 2009 tersebut ternyata memang bermasalah. Asap kehebohannya yang masih mengepulkan jelaga sampai kini (isi sms “Nazaruddin” tentang pemalsuan 18 juta suara sampai kasus Andi Nurpati) mudah mengingatkan seorang diktator Afrika yang pernah bilang, “Anda boleh memenangkan pencoblosannya, tetapi kami akan menang dalam penghitungannya.” Itulah pula yang terjadi di KPU saat Pilpres 2009 yang lalu ?

Semua tokoh merokok. Kembali ke Elvis Presley. Anda pernah menonton film 3000 Miles to Graceland ? Film ini berkisah tentang sekawanan perampok kasino yang berdandan a la penyanyi legendaris yang meninggal di WC karena overdosis obat bius, ya Elvis Presley itu pula. Stasiun teve RCTI pernah menayangkan sedikitnya dua kali (7/5/2003 dan 28/4/2004) film tersebut.

Adegan sangat mencolok dalam film itu adalah banyaknya tokoh yang tak henti-hentinya merokok. Ada tokoh Murphy, sementara tokoh lainnya, Michael, juga merokok dan malah tampak permisif mengajari anak di bawah umur untuk merokok. Belum lagi detektifnya juga tak kalah dalam hal seringnya merokok.

Karena terusik, sebagai seorang epistoholik, saya telah menulis surat pembaca di koran (almarhum) Kompas Yogyakarta. Isinya gugatan : Apakah tukang pilih film di RCTI tidak terusik oleh adegan-adegan merokok yang sangat mencolok itu ?

Atau memang film ini sengaja dipilih (!) atas pesanan terselubung industriawan rokok yang maha kaya-kaya itu untuk mengiklankan kebiasaan merokok ? Sinetron Dara Manisku, juga di RCTI, mencolok adegannya yang mengumbar pelakunya seperti saling berlomba-lomba dalam merokok !

Glamorisasi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam upaya kampanye global anti-rokok telah mengimbau kalangan produser film di Hollywood dan Bollywood dan kalangan industri mode untuk menghentikan tayangan yang mengglamorisasikan aksi merokok.

Caranya dengan menghindari adegan film yang menayangkan aksi merokok yang nampak penuh gaya dan meminta industri fashion untuk tidak menggunakan rokok sebagai asesorinya.

Survei tentang Bollywood, ternyata 320 dari 400 film India menayangkan adegan merokok sebagai sesuatu hal yang cool untuk dilakukan. Rokok bisa mencitrakan kejantanan atau feminitas, canggih atau kasar, sexy atau sporty, semuanya karena kecerdikan strategi pemasaran.

Dua dari konteks yang mendukung citra tersebut adalah industri film dan mode. Disebutnya, kalangan film dan fashion memang tidak dapat dituding sebagai penyebab kanker, tetapi seharusnya mereka tidak mempromosikan produk-produk yang menyebabkan kanker.

Surga industri rokok. Anjuran WHO itu di Indonesia, nampak sebagai angin lalu. Artikel menohok dari Kak Seto di Kompas (28/7/2007) telah memotret agresifitas industri rokok dalam berkampanye mengajak anak-anak muda kita untuk merokok.

Dikota kecil saya saja, Wonogiri, setiap kali melakukan jalan kaki pagi saya selalu menemukan papan-papan iklan baru dan umbul-umbul yang mempromosikan produk rokok. Belum lagi tempelan poster iklan-iklan rokok yang menyerobot dan mengotori pemandangan, tertempel di tembok shelter dan lokasi publik lainnya.

Itulah cerminan betapa kota kita dan anak-anak muda kita menjadi korban ajang perang para teroris nikotin berskala global. Wartawan William Ecenbarger dalam artikel berjudul “America’s New Merchants of Death” (Saudagar-Saudagar Kematian Baru Amerika) di majalah Reader’s Digest (4/1993 : 17-24) menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru nampak semakin agresif memindahkan pasarnya ke manca negera.

Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok di AS semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas. Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan negara berkembang. Indonesia dengan penduduk 237 juta, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran utama bidikan mereka.

Parahnya lagi, birokrat kita kronis mengidap cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Pernah presiden Megawati ke Aceh mengunjungi tentara kita yang saat itu terlibat pertempuran melawan gerakan separatis GAM. Ia berpesan kepada para prajurit agar menjaga kesehatan. Tetapi pada saat yang sama seperti dilaporkan koran Solopos (20/8/2004 : 2), Megawati menyerahkan bantuan berkotak-kotak rokok.

Demikianlah, demi uang, para birokrat kita seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Mereka mengeruk uang pajak dari kalangan industri rokok dan membiarkan rakyatnya menanggung resikonya sendiri akibat dampak kampanye produk yang membahayakan kesehatan di masa mendatang tersebut.

Apalagi serbuan rokok-rokok impor itu segera disambut hangat, dengan bangkitnya pabrik-pabrik rokok baru di dalam negeri. Lihatlah, produk-produk atau merek-merek rokok baru buatan dalam negeri segera menjamur. Termasuk misalnya, pabrik rokok milik putri raja Yogyakarta.

Jalanan kita, acara-cara musik di kampus dan lapangan sepak bola, acara-acara budaya seperti yang dikreasi oleh Butet Kertarajasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto di TIM, gerakan cinta lingkungan, lomba karya tulis antarwartawan, sampai bagi-bagi beasiswa mahasiswa, cengkeraman pabrikan rokok bermain di dalamnya dan semakin menggurita dimana-mana.

Menurut laporan The Jakarta Post (11/1/2010), Indonesia termasuk sedikit negara yang belum menandatangani dan meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control /FCTC) yang disponsori Badan Kesehatan Dunia/WHO. Konvensi ini maha penting karena sepertiga dari 237 juta penduduk Indonesia adalah perokok.

Membongkar kebohongan. Jelas sekali, puluhan juta kaum perokok Indonesia merupakan tambang emas bagi industri rokok. Rejeki maha besar ini tentu akan mereka pertahankan mati-matian. Lobi-lobi tingkat tinggi sangat berperan di sini.

Sebagai gambaran, kalau Anda pernah membaca salah satu buku tetraloginya wartawan Kompas, Wisnu Nugroho, yang bercerita tentang SBY, Anda akan menemui cerita menarik. Yaitu ketika sebagai wartawan yang sehari-harinya meliput kegiatan SBY di Istana, memergoki mobil mewah di halaman Istana. Mobil itu mereknya Rolls-Royce, dengan nomor polisi : 234.

Kemudian kalau Anda membaca buku yang pernah bikin geger, yaitu Membongkar Gurita Cikeas : Di Balik Skandal Bank Century (2010)-nya George Junus Aditjondro, juga tersaji cerita menarik di halaman 21-26. Antara lain tentang kiprah industrialis rokok raksasa Indonesia : “Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque, 2009).

Kita sebagai warga negara, nampaknya harus skeptis dan bahkan mengendorkan harapan kepada pemerintah tentang kampanye bahaya rokok tersebut. Tetapi jangan menyerah. Di era media sosial yang memberi setiap warga kekuatan untuk bersuara, sudah saatnya kita manfaatkan secara maksimal. Tulisan ini juga berada pada arus yang sama.

“Merokok itu tidak cool, keren. Yang nampak cool adalah perokoknya”, simpul Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point (2002) yang mengkampanyekan strategi radikal dalam kampanye anti-merokok yang selaras dengan langkah WHO di atas.

Apalagi, menurutnya, “merokok itu terkait erat dengan masalah emosi….Semua hal yang dapat membuat seseorang rentan terhadap efek menular merokok, misalnya rasa harga diri rendah, suasana tidak sehat atau tidak bahagia di rumah, sama dengan semua hal yang dapat membuat seseorang mengalami depresi.”

Jadi tembakau itu merupakan obat murah bagi mereka dalam berikhtiar mengobati depresi mereka sendiri. Jadi, perokok adalah orang-orang yang tidak “berbahagia.” Dan kalau masalah depresi ini bisa diatasi, begitu Gladwell menyimpulkan, maka kecenderungan mereka untuk merokok berpeluang untuk diturunkan.

Dalam versi yang mungkin lebih canggih, coba perhatikan bunyi peringatan yang terdapat pada setiap bungkus rokok atau iklan-iklan rokok. Kata-kata peringatan itu, menurut Chip Heath dan Dan Heath, kuranglah bertaji. Sebagaimana ia tulis dalam buku larisnya yang wajib dibaca para komunikator kreatif, berjudul Made To Stick : Strategi Agar Gagasan Kita Melekat di Benak Orang Lain (2007, 432 halaman. Bila berminat terhadap buku ini, seperti rekan saya Bakhuri Jamaluddin di Pamulang, Tangerang dan Widiaji di Yogyakarta, silakan segera kontak saya), menurutnya, peringatan itu kurang emosional.

Oleh kedua penulis itu (Chip Heath adalah profesor di Sekolah Bisnis Universitas Stanford dan Dan Heath adalah konsultan di Duke Corporate Education) telah mereka tandaskan :

“Sulit untuk membuat para remaja berhenti merokok dengan menanamkan rasa takut terhadap konsekuensinya, tetapi lebih mudah untuk membuat mereka berhenti merokok dengan memanfaatkan kebencian mereka terhadap kebohongan yang sengaja dilakukan oleh perusahaan rokok raksasa.” (Hal. 24).

Tulisan ini merupakan ajakan bagi Anda untuk melangkah bersama. Untuk ikut serta membongkar beragam kebohongan-kebohongan itu. Dengan tujuan, siapa tahu ikut menyelamatkan generasi muda kita sebagai korban cipoa , tipu muslihat julig kaum industrialis rokok, yang tak lain merupakan saudagar-saudagar kematian yang kini semakin merajalela.

Memang tak mudah. Mungkin di sini repot kita akan bertambah. Pasalnya, kalau presiden SBY saja telah dituding secara berjamaah oleh para pemuka agama sebagai berbohong, apakah pabrik rokok, politisi, aparat penegak hukum, para birokrat, institusi kesehatan, cendikiawan, wartawan sampai pebisnis, tidak boleh ikut-ikutan berbohong ?

Mungkin itu pula kesialan kita selama ini.

Kita tertakdir hidup di negara yang segalanya semakin jelas, sebagai bohong-bohongan belaka.


Wonogiri, 27 Juni 2011

Monday, April 25, 2011

Buku Untuk Melawan Ideologi Para Pembuat Bom Buku

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


"Terinspirasi Literatur."
"”Dia belajar dari buku.”

Begitu penjelasan Kepala Bagian Penerangan Umum Kepolisian Negara RI (Polri) Komisaris Besar Boy Rafli tentang tersangka P yang diduga menjadi otak jaringan pelaku teror bom buku dan perencana peledakan bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang Selatan.

Sebagai warga yang cinta damai, kita jangan kalah dari mereka itu, sobat.

Jadikan buku sebagai sarana untuk memperkuat ketahanan diri.

Untuk tetap waras, sehingga mampu menjadi senjata bangsa Indonesia untuk melawan mereka !

Memang butuh energi dan dedikasi yang tidak ringan.

Karena seperti ujar Sutton Elbert Griggs, "Seringkali dibutuhkan keberanian lebih untuk membaca buku daripada keberanian yang dibutuhkan untuk maju dalam peperangan !"

Wonogiri, 26/4/2011

Sunday, April 03, 2011

Buku "Komedikus Erektus" di Library of Congress

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Anda kenal Perpustakaan Konggres, perpustakaan terbesar di dunia ?

Misi keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas konstitusional untuk mendorong kemajuan pengetahuan dan kreativitas bagi kemaslahatan bangsa Amerika.

Misi yang hebat dan mulia.

Ketika saya berselancar di situsnya,dan pada katalog onlinenya iseng-iseng saya ketikkan nama saya, Amerika pun membalas. Ternyata buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), telah menjadi koleksi mereka. Menggembirakan.

Ringkasan yang mereka buat untuk buku tersebut adalah : Aspek humor tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia
Klasifikasinya : LC Classification: MLCSE 2010/02873 (H)
Alamat data bibliografisnya di : http://lccn.loc.gov/2010441503
No kontrol : LC Control No.: 2010441503
Lokasi : Asian Reading Room (Jefferson, LJ150).

Di Perpustakaan Nasional Australia, rincian subjeknya lebih kaya :

Political satire, Indonesian,
Indonesian wit and humor,
Indonesia-Politics and government-Humor.

Nomor induk : Bib ID 5017471.
Lokasi : YY 2011-105 Main Reading Room (Overseas Monograph Collection).
URL : http://catalogue.nla.gov.au/Record/5017471.

Tergerak oleh penemuan ini, saya melakukan hal yang sama di situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasilnya silakan Anda klik disini. Kejutan ?

Dari Salemba, saya lanjutkan ke Depok, ke Perpustakaan Universitas Indonesia. Alma mater saya.

Ternyata ditemukan 45 bahan pustaka yang relevan dengan kata kunci "haryanto,"tetapi tak satu pun yang cocok dengan nama saya.

Silakan mengambil hikmah dan kesimpulan sendiri atas realitas ini.

Kalau Anda pernah menulis buku, silakan kunjungi situs Library of Congress dan The National Library of Australia itu.Siapa tahu katalog onlinenya memberikan kejutan kecil kepada Anda.

Menikmati impuls yang manusiawi ketika karya kita dihargai.
Dilestarikan.Diapresiasi.
Silakan mencobanya !


Wonogiri,4/4/2011

Sunday, March 13, 2011

Paul Arden,Churchill dan Pesan Untuk SBY

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


(1)

"Winston Churchill pernah mengatakan
bahwa ketika Anda berada di puncak,
Anda hanya perlu
memikirkan kebijakan.

Ketika Anda berada di nomor dua,
Anda harus memikirkan apa yang
dipikirkan bos Anda, dan apa yang dipikirkan musuh Anda,
sebelum Anda memikirkan kebijakan.

Dirikan perusahaan Anda sendiri,
sehingga Anda dapat mengendalikan
nasib Anda sendiri.

Ini membuat Anda menjadi yang nomor satu
sejak awal."


(2)

"Pak Beye,
membuat keputusan yang aman itu membosankan,
gampang diprediksi,
dan tidak akan membawa Anda ke mana pun.


Keputusan yang tidak aman
menyebabkan Anda berpikir dan merespons
dengan cara yang belum pernah
Anda pikirkan sebelumnya.

Dan pikiran itu akan memicu pikiran lain
yang akan membantu Anda mencapai
apa yang Anda inginkan.

Mulailah ambil keputusan yang keliru
dan hal ini akan membawa Anda ke tempat
yang hanya bisa diimpikan orang lain."


Sumber :
Paul Arden, Whatever You Think Think The Opposite (2006).
No klasifikasi : 155.2/Pau/w di Perpustakaan Umum Wonogiri.

Wonogiri, 13/3/2011