Wednesday, January 27, 2010

Australia Terbuka 2010, The Biology of Belief dan Anda

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Swiss.
Negeri yang bersih.

Kritikus dan novelis Perancis AndrĂ© Gide (1869–1951) melukiskan betapa di sana “Anda tak akan berani membuang puntung rokok ke danaunya dan sama sekali tak ada corat-coret grafiti di WC umumnya.”

Tetapi Swiss juga tak luput menjadi bulan-bulanan. Dalam film The Third Man (1949) seorang Orson Welles (1915–1985) telah menambahkan ejekan itu dalam skenario karya penulis Inggris, Graham Greene (1904–1991) :

“Di Itali, ketika rejim Borgia berkuasa selama tiga puluh tahun berlangsung teroe, perang, pembunuhan dan banjir darah, tetapi juga menghasilkan Michelangelo, Leonardo da Vinci dan the Renaissans.

Di Swiss, mereka tenteram membina persaudaraan, demokrasinya berjalan sepanjang lima ratus tahun secara damai, tetapi apa yang bisa mereka hasilkan ? Jam ku-kuk !”

Dan kini, juga menghasilkan seorang Roger Federer.

Very Swiss !

Demikian tandas Vijay Amritaj, komentator tenis yang terkenal di televisi Star Sports. Ia berkomentar ketika penyandang 15 gelar Grand Slam itu dalam proses menekuk Lleyton Hewitt, “kangguru” terakhir yang mampu bertarung di Melbourne Park.

Vijay benar. Roger Federer adalah presisi. Seperti jam Swiss dibuat. Di lapangan setiap bola yang ia tembakkan dengan raket Wilson KFactor KSix-One Tour 90 (kini ganti dengan raket Wilson BLX SixOneTour-90. Info ini dikirimkan sobat Pedhet Wijaya langsung dari Melbourne. Thanks, buddy !) itu ibarat perjalanan detik-detik jarum jam yang berputar.

Dengan konsistensi.
Dengan ketepatan.

“Di masa-masa awal karir saya, problem utama saya adalah konsistensi.” Demikian tutur petenis kelahiran Basel 8 Agustus 1981 itu. Akibat dari sifat umum sebagai anak muda, yang temperamental. Tetapi kini, lanjut Federer : “Saya belajar untuk bisa lebih sabar.”

Terkait kesabaran itu wartawan Paul Weaver dari koran The Guardian merujuk bahwa ketahanan mental Roger Federer merupakan hasil dari latihan, produk rekayasa. Sementara Nadal lebih alamiah. Tetapi kita menjadi saksi bagaimana jam Swiss itu berdetak secara menakjubkan. Santun tetapi kejam dalam menelan satu demi satu, semua musuh-musuhnya.

Perjalanan karier tenis Roger Federer mungkin sudah tertakdir sebagai perjuangan untuk meraih kesempurnaan. The Roger Federer Story : Quest for Perfection. Itulah judul buku yang ditulis Rene Stauffer, konon salah satu jurnalis ternama tenis dunia, yang terbit pada tahun 2007.

Kesempurnaan itu pula yang barangkali membuatnya pantas didaulat sebagai atlet papan atas dunia yang terpilih sebagai salah satu dari 100 Orang Berpengaruh Di Dunia oleh Majalah TIME edisi 14 Mei 2007 (“ini hadiah Niz dari London.”). Fisiknya yang bugar membuatnya tidak pernah mengundurkan diri ketika terjun dalam pertandingan utama. Tidak seperti nasib malang seteru “abadinya”, juga petenis hebat asal Mallorca, Spanyol : Rafael Nadal.

Pride and ego. “Saya sangat menyesal,” demikian kata penghiburan dari Andy Murray saat menyalami Nadal yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Dalam pertandingan merebut kursi semi final Australia Terbuka 2010 itu, posisi angka Nadal telah tertinggal, 3-6, 6-7 (2-7) dan 0-3. Ketika cedera lututnya yang kronis sudah tak tertahankan lagi, ia pun melemparkan handuk.

Dunia tenis kuatir berat. Seorang Kevin Mitchell, juga wartawan dari surat kabar The Guardian menulis, cedera tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang karir gilang-gemilang Rafael Nadal di masa-masa mendatang.

Cedera lutut yang sama membuat Nadal absen mempertahankan gelarnya di Wimbledon tahun lalu. Di final, petenis Amerika Serikat yang paling sering ketemu, Andy Roddick, gagal mengadang Roger Federer dalam meraih trofi Grand Slam ke-15. Akibatnya Federer melebihi prestasi si tukang servis geledek dari AS, Pete Sampras.

“Lutut,” kata Louise L. Hay dalam bukunya Heal Your Body : The Mental Cause For Physical Illness and The Metaphysical Way to Overcome Them (1985), “mewakili harga diri dan ego.”

Sementara itu, masalah terkait lutut, menurutnya, dipicu oleh “kebandelan ego dan rasa harga diri itu. Tidak mampu bersikap lentur. Dicekam rasa takut. Tidak fleksibel. Pantang menyerah.”

Dari paparan Louise L. Hay (“kajian yang masuk disiplin ilmu baru, the biology of believe ini, yang kepingin saya buatkan blog tersendiri tetapi belum kesampaian itu “) kita bisa menebak memang begitulah psyche seorang Rafael Nadal selama ini.

Ia seorang matador petarung, brave fighter, yang enerjinya tak pernah habis terkuras. Cedera kronis lututnya itu menjadi logis akibat dari rasa gerah dan geram karena terlalu lama menjadi bayang-bayang dari Federer. Selalu saja dirinya menjadi nomor dua. Sempat ia duduk di peringkat satu dunia. Tetapi Federer dengan konsisten, kemudian mampu menggusurnya lagi.

Lihatlah data pertarungan keduanya yang benar-benar sengit.

Keduanya sama-sama memenangkan Grand Slam pada tiga lapangan yang berbeda secara berurutan. Rafael Nadal menjadi raja di Perancis Terbuka 2008, Wimbledon 2008 dan Australia Terbuka 2009. Sementara Roger Federer tampil megah di Amerika Serikat Terbuka 2008, Perancis Terbuka 2009 dan Wimbledon 2009.

Meminjam kasus pemasaran klasik dari bukunya Al Ries dan Jack Trout, Positioning : The Battle For Your Mind (1986), perjuangan Nadal itu kiranya dapat diwakili oleh upaya perusahaan persewaan mobil di Amerika, Avis. Perusahaan itu juga merasa posisinya terpatok melulu di kursi nomor dua. Sementara posisi nomor satu ditenggeri oleh Hertz.

Kampanye iklan perjuangan Avis itu kemudian tercatat sebagai contoh klasik dalam sejarah pemasaran : bagaimana Avis menempatkan diri dalam posisi kuat untuk bertarung melawan sang jawara. Lihatlah tagline iklannya :

“Avis hanya nomor dua dalam bisnis persewaan mobil, tetapi mengapa Anda harus bersama kami ? Karena kami berusaha keras lebih baik dalam melayani.”

Dalam kasus Nadal, semboyan we try harder-nya Avis itu kiranya membuat lututnya berderak dan berteriak. Ia gagal menuju semi final. Nadal pun terpental.


Kini siapa kampiun di Rod Laver Arena 2010 ini ?

Apakah Andy Murray yang akan memenangkan juara Australia Terbuka ? Jangan lupa, ia punya senjata sekaliber peluncur roket untuk servis pertamanya. Ia telah mengalahkan Federer empat kali, Nadal dua kali, dan peringkat keempat Novak Djokovic sebanyak tiga kali.

Bila anak muda usia 22 tahun itu juara, ia merupakan orang Inggris pertama tampil dengan mahkota Grand Slam sejak Fred Perry menjuarai kandangnya sendiri, Wimbledon, di tahun 1936.

Itu waktu yang sudah lama sekali. Sama dengan mimpi tim sepakbola Indonesia untuk bisa masuk final Piala Dunia. Apalagi ketika terjun di Paris 1938, negara kita masih sebagai negara jajahan Belanda !

Siapakah jago Anda di hari Minggu mendatang ?
Siapa jago teman saya Pedhet Wijaya yang kini sedang pula ada di Melbourne ?


Wonogiri, 27 Januari 2010.

P.S. : Ditulis dengan menguping nomornya Mozart, Simfoni No. 40, di hari ulang tahunnya yang ke 254.

Kebetulan tanggal tersebut 5 tahun lalu di Pesta MURI Semarang (2005) saya mendeklarasikan komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, Epistoholik Indonesia (EI). Juga menyatakan tanggal 27 Januari sebagai Hari Epistoholik Nasional, dan saat itu saya meraih Rekor MURI yang kedua.

Pesta hebat akan dirayakan, Insya Allah, di surat kabar Koran Tempo, edisi Jumat, 29 Januari 2010. Oleh Mas M. Ravik, wartawannya, kiprah EI akan dibeberkan di sana. Semoga dapat menjadi inspirasi, bahwa dengan menulis itu membuat kita mampu berkontribusi bagi sesama.

Sunday, January 24, 2010

A Whack On The Side Of The Head

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Pertandingan tenis bintang lima !”

Demikian ungkapan plastis komentator tenis Star Sports, Vijay Amritaj, sore kemarin (24/1). Ia mengomentari babak akhir pertandingan menegangkan antarsesama petenis Belgia, Justine Henin melawan yuniornya Yanina Wickmeyer.

Saya pun ikut tegang saat Henin ketinggalan angka.

Tetapi menurut Vijay, bekal “pengetahuan dan pengalaman” dari pemegang 7 gelar juara Grand Slam dan atlet kebanggaan negeri kecil yang merdeka tahun 1830 (di Indonesia saat itu meletus Perang Diponegoro) yang membuatnya lolos dari lubang jarum.

Vijay juga mengatakan bahwa pertandingan itu telah mencuatkan sinyal bahaya bagi petenis putri dunia lainnya.

Bunyi sinyal itu demikian tegas : di masa mendatang, waspadailah Yanina Wickmeyer !

Juga, Fernando Gonzalez. Itu bisik saya.

Tentu saja untuk kalangan petenis pria. Pendapat saya ini merupakan wujud sebagai makmum atas prediksi Vijay ketika petenis Chile itu, unggulan 11, menjelang bertarung melawan petenis unggulan 7 asal AS, Andy Roddick.

Malam itu hampir saja mengirim SMS ke sobat saya, seorang tennis buff asal Solo, Pedhet Wijaya. Tokoh inovatif yang malang melintang di bisnis radio Bandung dan Solo ini, juga pernah mengentak dunia dengan menyelenggarakan festival keroncong internasional di Solo, Desember 2008, saat ini sedang menonton langsung hajat tenis akbar di Melbourne tersebut. Saya ingin tahu, Pedhet Wijaya ini menjagoi siapa : Roddick atau Gonzalez ?


Kurva presisi. Bagi saya, petenis kelahiran Santiago 27 tahun lalu itu, anggun bermain seperti ular. Kalau Roddick tampil meledak-ledak dengan gedoran servis as, bertubi-tubi, Gonzalez menggelesar kanan-kiri, dengan pengembalian bola yang sepertinya tidak bertenaga.

Tetapi ketika Roddick berada pada posisi bolong, ular Chile itu segera mematuk dengan bisanya. Meneroboskan bola secara halus pada ruang yang sempit. Mengiris ruang sehingga bola jatuh down the line dengan presisi tinggi. Atau secara cerdik melambungkan bola sebagai garis dengan kurva terukur sehingga jatuh di balik punggung petenis asal negeri Paman Sam itu.

Dazzling and glorious shoot !
Demikian seru Vijay Amritaj memuji.
Berkali-kali.

Tetapi tarian ular asal negeri yang pernah diperintah kubu Marxis Demokrat dengan presidennya Salvador Allende, tidak berlanjut paripurna. Sekadar info, nama Allende dipakai sebagai nama salah satu anak pejuang HAM kita, almarhum Munir yang kasusnya pembunuhannya digantung pemerintahan SBY sampai saat ini. Salvador Allende pada tahun 1973 dijatuhkan oleh junta militer yang represif pimpinan jenderal Augusto Pinochet.


Kembali ke Fernando Gonzalez. Diterpa beruntun kesalahan sendiri di saat kritis, terlibat berbantahan dengan wasit, menendang botol minum, sampai membanting raketnya hingga penyok, menandakan ia dibelit rasa frustrasi berat. Pertandingan, dengan meminjam judul lagunya John Lennon sebagai mind game itu, menjadi semakin berat bagi Fernando.

Karena dirinya pertama-tama harus bertarung melawan diri sendiri dulu. Konsentrasinya buyar. Akhirnya ia harus mengakui kemenangan Andy Roddick, 3-2.

Selamat tinggal, Fernando !
Semoga lain kali kita ketemu lagi, sehingga saya bisa menyanyikan lagunya ABBA yang terkenal ini untukmu :

Can you hear the drums Fernando?
I remember long ago another starry night like this

There was something in the air that night
The stars were bright, Fernando

They were shining there for you and me
For liberty, Fernando


Menantang resiko. Saya memilih Fernando Gonzalez karena saya cenderung suka menjagoi para underdog. Justine Henin juga underdog dalam turnamen Australia Terbuka 2010 ini. Ia bisa ikut dengan fasilitas wild card, bukan ?

Pilihan semacam itu tentu mengundang resiko yang lebih besar. Kebetulan isu terkait resiko ini, dengan judul “Dipimpin Oleh Resiko,” pada malam yang sama menjadi topik acara Golden Ways-nya Mario Teguh di MetroTV.

Inti pesannya adalah, kalau Anda takut terhadap resiko atau menghindari resiko, Anda tidak akan pergi kemana-mana.

Pesan serupa juga muncul sebelumnya dalam artikel Rhenald Kasali di Kompas, terkait usrek pengusutan kasus Bank Century. Menurutnya, bangsa Indonesia kini cenderung bersikap fundamentalis (istilah dari saya), yang harus selalu benar seperti malaikat. Salah sedikit saja, dirinya harus memperoleh hukuman setimpal. Malah berlapis-lapis.

Pendekatan seperti ini, menurut saya, akan hanya menghasilkan kelompok insan-insan medioker, under taker dan juga care taker. Mereka itu bukan sebagai inventor atau inovator yang senantiasa berperangai sebagai risk taker.

Sayangnya, kualitas yang pertama itulah yang selama ini terjadi pada pendidikan kita.

Lembaga pendidikan kita senantiasa jauh lebih banyak melahirkan para bebek, yang suka status quo dan membebek, daripada melahirkan insan-insan yang mampu berpikir merdeka yang metaforanya selalu muncul dalam bagian akhir tulisan ilmuwan politik asal UGM, Riswandha Imawan almarhum : eagle flies alone.

Indonesia kita memiliki lambang garuda, tetapi justru bangsa ini sekarang banyak sekali melahirkan bebek-bebek yang suaranya riuh dan mengerubunginya. Lihat saja pemandangan dalam gedung DPR. Termasuk dalam rapat-rapat pansus kasus Bank Century. Utamanya kuak-kuak suara seekor bebek robot yang mengumpat sana-sini, ia semata berteriak untuk mengacaukan paparan lawan politiknya.

Jutaan calon bebek lainnya, kini sedang mengeram di kandang-kandang yang bernama lembaga pendidikan kita. Mereka tiap hari dilolohi doktrin, yang menurut konsultan kreativitas dari Lembah Silikon Roger von Oech dalam bukunya A Whack On The Side Of The Head : How To Unlock Your Mind For Innovation (1983), senantiasa berusaha mencari “satu jawaban yang benar.”


Pendekatan tunggal di atas boleh jadi tepat untuk situasi tertentu. Tetapi bahayanya, kebanyakan bertendensi menghentikan upaya untuk memperoleh jawaban alternatif benar lainnya, setelah jawaban pertama itu diperoleh.

Pendekatan seperti ini patut disayangkan. Karena seringkali jawaban benar yang kedua, ketiga atau yang kesepuluh, merupakan jawaban yang kita butuhkan untuk menyelesaikan masalah secara inovatif.

Terima kasih, Roger.

Buku merah itu saya beli tanggal 2 April 1997. Pas ada obralan di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta. Untuk sekadar tanda, saya tulis pada salah satu halaman depannya : “..buku ini sudah aku impikan untuk aku miliki, sekitar 5-10 tahun yang lalu…dibeli dari honor artikelku, Ambisi Microsoft di tahun 1997, di Media Indonesia, 23 Januari 1997.”

Konsultan kreatif untuk Apple, ARCO, Colgate-Palmolive, IBM, NASA sampai Xerox ini, dalam mengenalkan diri antara lain menulis, “Saya menulis disertasi tentang filsuf Jerman Abad 20, Ernst Cassirer, manusia serba bisa yang terakhir. Darinya, saya belajar bahwa menjadi seorang generalis merupakan hal yang baik, dengan melihat Gambar Besar mendorong kita mampu bersikap fleksibel.”

Sebagaimana penilaian komentator tenis favorit saya Vijay Amritaj yang penderita asma itu terhadap pertandingan Henin-Wickmeyer di Australia Terbuka 2010 di minggu malam itu, saya makmum sekali lagi dalam memberi komentar untuk pendapat Roger von Oech di atas :

“Itu pendapat bintang lima !”
Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 25 Januari 2010

Tuesday, January 12, 2010

Kontroversi Goblog Dalam Buku : Suharto versus Gus Dur

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Soeharto benar-benar gondok. Marah besar sama Gus Dur.

Karena menurutnya Gus Dur telah berbicara kepada wartawan asing, Adam Schwarz, yang menyatakan bahwa anak petani kelahiran Kemusuk, Godean, dan pernah tinggal di kota kelahiran ayah saya, Wuryantoro, serta bersekolahnya di kota saya Wonogiri, lalu menjadi diktator paling lama memerintah itu, disebut sebagai goblog.

Ungkitan cerita perseteruan dua mantan presiden kita itu saya baca dari artikel Siswono Yudo Husodo, berjudul “Gus Dur dan Pak Harto,” di Suara Merdeka, 4/1/2010 : 6. Saya membacanya di Perpustakaan Umum Wonogiri, 6/1/2010.

Menurut cerita Pak Siswono, suatu peristiwa Gus Dur titip pesan kepada beliau agar diteruskan kepada Pak Harto. Isinya, bahwa kyai petinggi NU ini ingin menghadap. Tetapi Pak Harto tak berkenan saat itu. Alasannya ?

Jenderal besar yang tinggal di jalan Cendana itu lalu merujuk kepada isi bukunya Adam Schwarz, A Nation In Waiting : Indonesia In The 1900s (1994).

Menurut paparan Pak Siswono, dalam buku karya wartawan majalah Far Eastern Economic Review yang berbasis di Hongkong itu tertulis kalimat, “That is the stupidity of Soeharto that he did not follow my advice.” Itulah kebodohan Soeharto yang tidak mengikuti nasehat saya.

Ketika kalimat ini dikonfirmasikan kepada Gus Dur, santri humoris ini berusaha menjelaskan bahwa sang pengarang bersangkutan salah kutip. Karena menurut Gus Dur, yang ia katakan selayaknya berbunyi : “That is my stupidity that I do not advice Soeharto.” Itulah kebodohan saya bahwa saya tidak memberi saran kepada Suharto.

Pak Siswono lalu mengutip kata Gus Dur saat itu, bahwa “Tentu saya mengerti kalau Pak Harto tersinggung berat atas kesalahan penulisan itu.”

Kedua mantan presiden kita itu telah berpulang.


Militan vs moderat. Tergerak isi artikel Pak Siswono itu, yang menulis judul bukunya Adam Schwarz itu dengan Nation In Waiting (tanpa “A”), saya mencoba membolak-balik buku hadiah dari Mas Bambang Setiawan, wong Wonogiri yang tinggal di Jakarta, yang ia berikan kepada saya 8 Januari 2006 itu.

Boleh jadi karena kegoblogan diri saya, saya hanya menemukan lema “stupid” yang relevan pada halaman 188. Lema itu termuat dalam konteks terjadinya perbenturan antara muslim militan yang disebut oleh Gus Dur diwakili oleh organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) versus muslim moderat termasuk dirinya.

Menurut Gus Dur, proses demokratisasi harus dimulai dengan penguatan nilai-nilai demokrasi pada tingkat akar rumput, di mana nilai-nilai ini telah diperlemah selama tiga puluh tahun oleh hukum dari penguasa yang otoriter. Apa yang kita butuhkan, demikian keyakinan Gus Dur, adalah pendekatan demokratisasi bottom-up, bawah-atas, yang isinya diperdebatkan secara terbuka.

Bila nilai-nilai demokrasi itu hadir, ia percaya, perubahan politik secara gradual pun akan terjadi seiring terserapnya pandangan terhadap demokrasi yang meluas dan difahami. Pendekatan top-down, atas-bawah, melalui sesuatu kelompok tertentu dengan melimpahinya legitimasi dan pengaruh, sebagaimana Gus Dur melihat apa yang dilakukan Soeharto dengan menganakemaskan keberadaan ICMI, menurutnya hal itu justru berlawanan dengan asas-asas demokrasi yang sejati.

“Bagi Soeharto, ICMI merupakan bulan madu yang pendek. Ia berfikir bahwa dirinya mampu mengontrol (kaum modernis di ICMI) bila mereka bertindak terlalu jauh. Saya kuatir strategi ini akan gagal…Muslim moderat akan menang apabila sistemnya bebas tetapi problemnya Soeharto justru membantu muslim militan…Kita butuh waktu untuk mengembangkan toleransi beragama yang penuh berdasarkan kebebasan berkeyakinan. Sebaliknya Soeharto justru memberikan peluang kepada sekelompok muslim, terutama kelompok militan yang menganut faham bahwa Islam merupakan solusi untuk seluruh problem dalam modernisasi.”

Demikian tutur Gus Dur dalam wawancara 29 April 1992 dan 9 Juli 1992.

Adam Schwarz lalu meneruskan, bahwa dalam wawancaranya dengan Gus Dur di bulan Maret 1992 ia sempat menanyakan mengapa pandangannya itu tidak akan digubris oleh Soeharto.

“Ada dua hal,” sahut Gus Dur.

Lanjutannya akan saya kutip dalam bahasa aslinya buku ini seperti tertera di halaman 188 : “Stupidity, and because Soeharto doesn’t want to see anyone he doesn’t control grow strong.”

Kini keduanya sedang ramai menjadi wacana yang ramai di masyarakat saat diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.


Wonogiri, 13 Januari 2010


tmw