Sunday, December 27, 2009

The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Magnet uang. “Apakah kita membaca buku yang sama ?”

Pertanyaan itu melintas ketika sebuah truk menyalip bis yang saya tumpangi. Hari itu Rabu pagi, 2 Desember 2009. Saya dalam perjalanan Wonogiri-Solo-Jogja. Di bak truk bersangkutan tertulis slogan menawan : I’m a money magnet. Saya bisa memotretnya.

Pertanyaan di atas tentu tak bisa saya ajukan kepada sopir truk bersangkutan. Kita sama-sama melaju di jalan raya. Tetapi slogan di bak truk itu mengingatkan akan isi sebuah buku karya Peter Spann, The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth (2003).

money magnet,money,magnit

Buku ini hadiah dari teman online saya, Lasma Siregar, yang tinggal di Melbourne, Australia. Buku ini saya terima tanggal 18 Maret 2005. Buku mini ini menghimpun 100 butir motivasi, ditulis pendek-pendek dan bernas.

Misalnya di halaman satu : “Kaya” adalah bila Anda memiliki banyak uang. “Sukses” adalah bila Anda mengerjakan apa yang Anda cintai dan mencintai apa yang Anda kerjakan, ketika Anda dikelilingi oleh mereka yang Anda cintai dan Anda memperoleh imbalan yang sesuai dengan diri Anda.

Terkait dengan slogan di truk tadi, pada halaman 30 Spann menulis : “Tahukah Anda bahwa uang itu selalu menempel ibarat magnet kepada seseorang yang tertentu ? Orang-orang tersebut mengetahui Tiga Rahasia Magnetisme Uang.”

Rahasia Pertama Magnetisme Uang (hal. 31) : “Keunikan. Temukan bakat, keterampilan atau produk yang benar-benar unik, sesuatu yang dibutuhkan orang, di mana mereka bersedia membayar dan hanya Anda satu-satunya yang mampu menyediakannya, dan itulah tiket Anda menuju kaya raya.”

Belum kaya raya. Terima kasih, Peter Spann. Saya setuju dengan formula Anda itu. Selain rada heran mengapa buku ini sering melintas di kepala saat saya melakukan perjalanan, termasuk ketika memperoleh MURI yang kedua (2005), saya berbangga diri karena telah menemukan keunikan pada diri saya sendiri. Sebagai seorang epistoholik, pemabuk penulisan surat-surat pembaca.

Apakah saya telah merasa sukses dengan keunikan itu ? Jawabnya : Yes !, sambil tetap menyadari bahwa keunikan itu bukan sesuatu yang eksklusif. Toh sebelum saya bergiat dalam aktivitas menulis surat pembaca, sudah banyak pendahulu yang melakukannya. Salah satu tokohnya adalah yang akan saya kenang nanti ketika saya menginjak Yogya kembali.

Tetapi jawabnya jelas No ! bila menulis surat pembaca, sekampiun apa pun dan bahkan tercatat di MURI pun, akan mampu membuat diri saya sebagai orang yang kaya raya.

Ah, apakah ini sikap yang pesimistis ? Atau realistis ? Begini sajalah : “kaya raya” ilmu, boleh jadi. Toh Internet telah menyediakannya. Yang juga terbuka bagi Anda semua. Tetapi kaya raya uang, tidak. Atau belum ? :-(

Saya ke Yogya untuk “menjual” keunikan saya. Sebagai penulis naskah pidato sekaligus untuk mengisi buku panduan dari kegiatan Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta dengan tema “Batik Jogja untuk Indonesia.” Lokasinya : Griya UMKM Jl. Taman Siswa No. 39 Yogyakarta. Tanggal 4-6 Desember 2009.

Jadi, wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi bagian dari materi buku pengantar acara itu.


Rapor merah-merah. Begitulah, isi hati ini campur aduk. Antara rada merasa lucu, sekaligus senang, karena bisa menginjakkan kaki lagi di Yogya. Tentang lucu, hal itu bisa muncul bila membuka-buka album kenangan saat bersekolah di kota ini.

Selepas lulus di SMP Negeri 1 Wonogiri, saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta Tahun 1970 sampai tahun 1972. Jurusan Mesin. Menengoki dokumen rapor saya, walau sudah dilaminasi plastik oleh ayah saya Kastanto Hendrowiharso toh bagian tengahnya sudah dimakan rayap. Di dokumen itu tercatat banyak sekali angka-angka merah saat saya bersekolah yang terletak di Jetis itu.

Saat duduk di kelas 1 Mesin C, pada semester satu, untuk pelajaran Mesin Uap saya mendapat nilai 4. Mohon maaf kepada James Watt, bapak penemu mesin uap. Mohon maaf pula kepada Bapak Sumarto, guru saya. Yang saya ingat dari beliau, selain sosok kurus dan berkacamata, adalah keusilannya untuk mau mengomentari judul lagu yang saya cantumkan di bagian bawah kertas ulangan.

Saat itu saya menggemari duo Simon & Garfunkel. Pada bagian akhir kertas ulangan mesin uap itu saya tulis judul lagunya, “The Only Living Boy in New York.” Ketika kertas ulangan dikembalikan, ada tulisan tambahan dari Pak Sumarto : “But, why do you live in Yogya ?”

Pelajaran Motor Bakar juga mendapat nilai 4. Saat itu, seingat saya, saya lebih mudah mengingat nama-nama “indah” para pembalap F-1 saat itu, seperti Clay Reggazoni atau Emerson Fittipaldi, daripada menghafal rumus-rumus pelajaran dari Pak Sardjiman itu.

Nilai 4 juga saya sandang untuk Ilmu Ukur Ruang & Proyeksi. Turbin Uap, 5. Peraturan Keselamatan Kerja, 5. Praktek Bengkel, 5. Aljabar dan Ilmu Ukur Analyt, 5. Di semester satu itu ada 7 angka merah. Syukurlah hanya ada dua merah di semester kedua : Motor Bakar dapat 5 dan Ilmu Gaya, yang sebelumnya dapat 6 kini merosot jadi 4.

Pelajaran favorit saya di sekolah itu justru Bahasa Indonesia yang diampu Ibu Mujimah (“yang seksi,” bisik-bisik teman saat itu), dan Bahasa Inggris dengan guru yang agak nyentrik, Pak Sukartolo.

Saat itu saya tinggal di Dagen, kebetulan ayah saya menjadi komandan Koramil Gedongtengen. Kalau berangkat sekolah bersepeda merek Fongres buatan Belanda, saya sering menyeberang ke timur, melewati Malioboro, lalu menerabasi kampung Sosrokusuman. Fokus perhatian : rumah di sisi timur laut, persis utaranya lapangan tenis.

Pamrihnya, siapa tahu, sambil deg-degan, dari rumah itu bisa saya pergoki siswi SMA Stella Duce yang cantik (sekali). Kalau tak salah ingat, namanya Dini, putri perwira AURI. Ia punya mata yang tajam, sekaligus kelam, seperti mata perempuan dalam lukisannya Jeihan.

Di Yogya ini saya meneruskan dalam memupuk kegemaran sebagai humoris. Dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek ke majalah Aktuil dan Varianada. Sekaligus bisa gratisan, tak perlu membeli majalah, untuk bisa mengikuti cerita Denny Sabri, wartawan topnya yang ia tulis dari Jerman.

Tentang kiprah terbaru Ian “Child in Time” Paice, Ritchie “Highway Star” Blackmore dan kawan-kawan dari Deep Purple, Ozzy Osborne dari Black “Paranoid” Sabbath atau pun Robert “Black Dog” Plant sampai Jimmy “You shook me” Page dari Led Zeppelin.

Petugas tata usaha sekolah saya mungkin menjadi heran karena saya, mungkin sebagai satu-satunya siswa, yang menerima kiriman weselpos yang bukan dari orang tua. Tetapi prestasi siswa STM yang mampu menulis lelucon hingga menembus majalah Bandung dan Jakarta itu sama sekali tidak terendus di kalangan guru-guru saya.

Pay it forward. Di Yogya pula, mungkin benih sebagai seorang epistoholik juga mulai bersemi pada diri saya. Ketika mengikuti koran Kedaulatan Rakyat saat itu, sering saya temui nama Ir. RM Pradiko Reksopranoto, dengan alamat Jalan Sultan Agung 65.

Suatu keajaiban sejarah terjadi pada tahun 2000. Atau sekitar 30 tahun kemudian. Di arena Festival Aeng-Aeng II Manahan Solo, saya bisa bertemu dengan tokoh unik dengan beragam minat yang kadang nampak esoterik ini. Dalam email yang beliau kirimkan tanggal 17 Oktober 2003, antara lain beliau pernah mengusulkan ide precision penalties dalam sepakbola, yaitu sebanyak 2 x 22 tendangan ke arah gawang yang dilakukan tanpa pemain kiper yang menjaganya !

Fast forward : 2009. Yogya dan surat pembaca kembali mengusik saya ketika menemukan harian Kedaulatan Rakyat (1/12/2009) memuat surat pembaca dengan judul “Trah Arung Binang.” Penulisnya adalah Drs. Tulus Widodo dari Suryowijayan (081328830681).

Beliau, yang saya baru tahu kemudian nampaknya juga seorang epistoholik, mengomentari surat pembaca sebelumnya, juga di KR (17/10/2009) yang ditulis Ir. Avianto Kabul Prayitno, MT (08122732549) yang tinggal di Sapen, Gondokusuman.

Inti isi surat pembaca mereka adalah, karena merasa sama-sama sebagai warga keturunan Trah Arung Binang (Djoko Sangkrib), yang dirunut ke hulu hingga ke Pangeran Puger Kartasura Hadiningrat, Pak Tulus dan Pak Avi itu berniat ingin mengumpulkan balung pisah, menghimpun tali silaturahmi antar sesama warga trahnya.

Pada tanggal 3 Desember 2009 pagi, saya segera mengirim SMS kepada Pak Tulus dan Pak Avi. Saya berjanji akan menghubungkan mereka dengan warga trahnya di Jakarta, yang kebetulan saya kenal. Yaitu Bambang Aroengbinang, asal Mersi, Purwokerto. Ia mengelola blog berbahasa Inggris yang menawan, The Aroengbinang Project [“aku sering kepikiran, ini blog tentang operasi pengeboran minyak lepas pantai”] dan suka dihiasi hasil pemotretan dirinya yang indah.

Melalui warnet Sorpokats, Jl. Taman Siswa, siangnya saya mengirimkan email tentang ide Pak Tulus dan Pak Avi itu ke Mas Bambang Aroengbinang. Beberapa hari kemudian, beliau membalas : “berharap bisa ingin segera mengontak Pak Tulus dan Pak Avi di Yogya itu.”

Salah satu “tugas” bonus sebagai seorang epistoholik, seorang blogger dan katalis, sekaligus “menteri komunikasi dan informasi” dari trah saya, Trah Martowirono, hari itu telah saya lakukan. Begitulah, di Yogya tersebut, selain bisa bernostalgia, ternyata saya juga bisa menyemaikan perkenalan dengan kerabat-kerabat baru pula.

Ketika tanggal 5 Desember 2009 saya meninggalkan Yogya, saya berharap truk yang bertuliskan mantra “I’m a money magnet” itu bisa melintas kembali. Baiklah, harapan itu sia-sia. Di bawah ini, untuk Anda semua, saya ingin melengkapi hukum kedua dan ketiga dari Peter Spann tentang rahasia seseorang untuk menjadi magnet uang itu.

Hukum yang kedua : memberikan nilai tambah. “Bila Anda menemukan cara yang mampu menambah kekayaan, kesehatan, kebahagiaan, cinta atau waktu bagi kehidupan orang lain, Anda akan memperoleh imbalannya.”

Hukum ketiganya adalah, leverage. Maksimalisasi. “Apabila Anda mampu memaksimalkan kualitas sesuatu produk atau jasa, yang meningkatkan hasil, maka imbalan juga akan melimpahi diri Anda.”

Terima kasih, Peter Spann. Beberapa hari di Yogya saya mencoba merealisasikan hukum-hukum itu. Sebisanya. Sepulangnya, pada jiwa ini, syukurlah, saya merasa sebagai orang yang kaya raya.


Wonogiri, 18-23 Desember 2009

ee

Tuesday, December 22, 2009

Flashbacks of a Fool

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Penulis lirik. Lagu “Penny Lane” ikut teronggok di pojokan. Lokasi : sisi barat daya (?) toko buku QB, Jalan Sunda, Jakarta.

Di dekatnya terdapat rak buku-buku hukum, berhimpun dengan buku-buku tip memelihara anjing. Bukunya Jay Sankey, Zen and the Art of Stand-Up Comedy (1988), juga berada di sana.

Kluster yang menggelitik : hukum, komedi dan anjing campur aduk jadi satu.

Lagu ciptaan Paul McCartney dari The Beatles tentang sebuah lorong kecil kota Liverpool itu pernah memicu kontroversi.

Sobat saya Ardiyani, yang tinggal di Liverpool, pernah mengirimkan berita dari The Sunday Times (16/7/2007) bahwa nama itu hendak dihapus.

Karena terkait nama James Penny, juragan budak belian masa kolonial. Ah, Inggris, rupanya juga ketularan budaya munafik, karena ingin mengubur masa lalunya yang kelam.

Lagu “Penny Lane” itu terhimpun dalam buku kumpulan lirik-lirik lagu. Sebelum Internet marak, buku kumpulan lirik lagu-lagu merupakan salah satu buku yang menarik untuk ditengok ketika jalan-jalan ke toko buku.

Saya tidak tahu persis apa daya tariknya. Saya toh tidak mampu memainkan alat musik satu pun. Tetapi selalu saja terlintas, juga selalu naik dan turun, niatan ingin menjadi penulis lirik lagu.

Niatan itu sempat naik tensinya ketika menonton film The Rocker (2008) dan menikmati lagu ciptaan anak muda Curtis (Teddy Geiger) yang liriknya mengiris. Mengikuti lagu “Tomorrow Never Comes” yang muncul di film itu, benar-benar bikin iri. Iri kagum, bukan iri dengki.

Pada film tentang kesempatan kedua bagi Robert 'Fish' Fishman (Rainn Wilson), si penabuh drum bugil (yang mendunia karena disiarkan di YouTube) dalam meraih karier, sungguh mengagumkan mendapati anak muda yang mampu menulis lagu yang memiliki daya magis sedemikian kuat mencengkam tersebut.

Lagu-lagu semacam itu, merujuk pengakuan anak muda jenius lainnya yang juga penyanyi dan pencipta lagu terkenal, Taylor Swift, tidak lain merupakan “musical diaries to record her feelings.”


The Butterfly Effect. Lagu menarik lainnya adalah “If There Is Something” dari Roxy Music dalam film Flashbacks of a Fool (2008). Daniel Craig, sang James Bond terbaru itu, menjadi bintang sekaligus produser film ini.

Film drama Inggris ini, disutradarai Baillie Walsh, berkisah tentang bintang film Hollywood yang berefleksi mengenai hidupnya setelah memperoleh kabar kematian sahabat karibnya di masa kecil.

Film ini antara lain menebar hikmah, bahwa kita pada umumnya tidak mau berubah kecuali bila dalam perjalanan hidup itu menabrak sesuatu yang keras, sesuatu yang mau tak mau harus membuat kita berubah. Pesan lainnya mungkin lajim dikenal dalam teori khaos dikenal sebagai efek kupu-kupu.

Adagiumnya yang terkenal, yang juga muncul dalam film The Jurassic Park (1997), bahwa “kepak sayap kupu-kupu di pelabuhan Sydney akan membuahkan badai di daratan China.” Merujuk fenomena itu, di era Internet ini, seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, menulis bahwa “kecil sekarang adalah besar yang baru.”

Buktinya di Indonesia ada di depan mata kita semua. Gerakan menghimpun koin untuk mendukung Prita membuat lembaga pengadilan dan RS Omni Internasional yang menghukum Prita menjadi tidak ada artinya. Mereka kini berbalik status menjadi paria.

Gerakan sejuta Facebookers mendukung Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah juga telah membuat institusi hukum kita, termasuk wibawa Presiden SBY sendiri, tergerus habis citranya. Mereka kini juga pantas hanya berstatus sebagai paria.


Menabrak masa lalu. Efek kupu-kupu itu juga tergambar, walau tipis, dalam film Flashbacks of Fool. Yaitu saat sang tokoh Joe Scot (Daniel Craig) setelah gagal bunuh diri karena kariernya di Hollywood habis, kembali ke kampung halaman di desa kecil berpantai di Inggris.

Untuk menengok kuburan teman karibnya. Tetapi dirinya harus juga memergoki parade kenangan masa lalu, sekaligus mendapati konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan di masa lalu. Termasuk mendengar kematian Evelyn. “Tertabrak kereta api, dan kepalanya tidak ditemukan. Konon digondol oleh sekawanan anjing,” demikian kabar yang Joe terima.

Evelyn adalah ibu muda binal, tetangganya, suka selingkuh dan gemar daun muda. Ia pula yang menggoda Joe muda dalam petualangan seksnya yang pertama. Kesalahan yang harus ia bayar, yaitu putus cinta dengan Ruth, kekasihnya.

Ketika keduanya dibakar nafsu birahi, anak gadis Evelyn seumuran TK itu diusir dari rumah. Agar bermain-main sendiri di pantai. Ia pun bermain-main, termasuk asyik berayun-ayun di atas sebuah ranjau laut. Ranjau itu kemudian meledak. Kejadian itu pula yang membuat Joe muda kabur dari kampung halamannya.

Saat Joe mudik, ia juga menemui Ruth, gadis tercinta yang ia khianati, yang dulu pula ia tinggalkan. Masa lalu keduanya terukir indah dalam kilas kalik ketika berduet menyanyikan lagu “If There Is Something” dari Roxy Music dalam sebuah pesta.

Dalam kilas balik lainnya, pada percakapan keluarga Joe saat muda, sempat mencuat topik obrolan tentang masa lalu dan masa kini. “Ketika mendapati seseorang tua, yang terbaring lemah di ranjang mendekati kematian, dapatkah kita membayangkan apa saja yang ia jalani ketika pada masa mudanya ?”


Wanita indah. Umpama pertanyaan itu diajukan kepada saya, pada tanggal 20 Desember 2005, di sisi Widhiana Laneza, saya tidak tahu mau bilang apa.

Anez saat itu, tentu saja, bukan wanita tua. Saya tentu agak pangling, rambutnya saat itu menjadi pendek. Saya beruntung pada tahun 1980-an dikaruniai kesempatan untuk melihat saat rambutnya panjang tergerai.

Melengkapi sosok ningratnya yang membuat saya jatuh cinta.

Juga untuk tahu dirinya dalam sepenggal kehidupannya : ketika Anez menjadi mahasiswi Diploma 3 Bahasa Perancis dan sekaligus mahasiswi Jurusan Arkeologi Fakultas Satra Universitas Indonesia.

Mosaik yang bisa saya ingat, antara lain, ketika berkunjung ke rumahnya, ia nampak antusias bercerita tentang anjing-anjingnya. Ada yang bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Pesona hubungan itu pula yang kemudian membuat saya bisa menulis buku (cinta) untuknya, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Dalam kesempatan lain, 1 Februari 1987, ia bercerita tentang fenomena ahli bengkok sendok dengan kekuatan paranormal, yaitu Uri Geller. Ahli psychic asal Israel ini lahir tanggal 20 Desember 1946.

Tanggal yang sama pada tahun 2005, adalah tanggal saat Anez meninggal dunia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Jeruk Purut, dekat rumah orang tuanya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Lahir di Brussel, Belgia dan meninggal dunia di Denpasar. Tiga hari setelah hari pernikahannya.

Saya diberitahu berita pedih itu oleh kakaknya, Verdi Amaranto, 22 Desember 2005. Setelah ia melakukan googling di Internet. Ia juga memberi beberapa foto, termasuk foto Anez kecil (foto di bawah) dengan boneka anjingnya saat dijepret di Hanoi, 1969.


Kembalikan ke masa mudamu. Pada bagian akhir film Flashbacks of a Fool nampak Joe Scot memutar kembali piringan hitam lagu “If There Is Something.”

Lalu ia menuliskan sebagian liriknya dalam sebuah surat. Untuk Ruth.

“Shake your hair girl with your ponytail,
Takes me right back (when you were young)”

Ruth, gadis tercintanya masa dulu itu dan janda sahabat karibnya yang meninggal itu, nampak meledak dalam tangis.

Tayangan keduanya saat berduet di masa muda menutup film pedih sekaligus indah itu. Lirik “If There Is Something” menggema, dan saya berharap Anez juga mendengarnya :

Goyangkan rambutmu dengan ekor kudamu
Kembalikan diriku (ketika kau muda dulu)

Lemparkan hadiah-hadiah indahmu ke udara
Saksikan ia berjatuhan di bumi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika bukit-bukit semakin meninggi (ketika kita muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika pepohonan semakin menjulang tinggi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika rerumputan semakin menghijau (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)



Wonogiri, 20-22 Desember 2009