Monday, June 27, 2011

The Book and The Beautiful Girl

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

Photobucket

Gelisah.
Ciri-ciri orang yang menanti.
Memainkan telepon genggam.
Kirim-baca sms. Bertelepon-ria.
Membunuh waktu.

Siang itu saya dianugerahi panorama berbeda. Kamera Nikon saya yang invalid itu bahkan tidak berani berdusta.

Beautiful girl, I'll search on for you/'Til all of your loveliness in my arms come true/You've made me love again, after a long, long while/In love again…

[Jose Mari Chan, “Beautiful Girl”].


Wonogiri, 28/6/2011

The Age of Muslim Wars di Indonesia ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Picasso.
Andy Warhol.
Wassily Kandinsky.
Juga Jackson “action painting” Pollock.

Jangan bayangkan museum atau galeri yang memiliki koleksi lukisan karya para maestro di atas itu berada di New York, London, Paris atau Bilbao. Karya-karya master piece para maestro itu justru disimpan di ruang bawah tanah sebuah galeri di Teheran, Iran.

Aneh juga. Negara para mullah yang berseteru secara sengit dengan Israel, juga dengan negara-negara Barat itu, justru tetap melestarikan karya-karya lukisan orang-orang Barat itu.

Saya juga ikut-ikutan menceritakan hal unik terkait negeri Iran. Dalam buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010) yang sekuelnya bisa terbit bulan Oktober 2011, saya kutipkan cerita tentang lawakan komedian perempuan, Tissa Hami, yang berasal dari Iran tetapi kini menetap di Amerika Serikat.

Tissa Hami itu bergelar Master Kajian Internasional. Ia kini bekerja di John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard. Ketika tanggal 29 September 2009 saat SBY berpidato di sini, tentu ia ikut menjadi seksi repot. Tambahan info, anak sulung SBY, Kapten Agus Harimurti, juga berkuliah di sini.

Saya tidak tahu apa Tissa Hami saat itu juga tergelitik membuat lawakan tentang SBY yang berpidato di Harvard itu. Tetapi SBY-nya sendiri sering dikabarkan bangga dengan isi pidatonya saat itu. Bahkan oleh seorang pelatih pidato terkenal, Richard Greene, pidato SBY itu disisipkan dalam bukunya sebagai salah satu pidato abad ke-21 yang mengguncang dunia. [Di kepala saya muncul bunyi 'klik' : “Saya memperoleh ilham baru lagi untuk menulis humor tentangnya, di buku saya kemudian :-)”].

Kembali ke Tissa Hami. Latar belakang asalnya yang dari Iran dan referensi buruk hubungan di tahun 1970-an antara negeri kelahirannya dengan negerinya kini, justru sering menjadi materi lawakannya. Katanya : “Kalau tidak ada penonton yang tertawa mendengar lawakan saya, Anda semua akan saya jadikan sandera !”

Itulah humor orang Iran. Kalau saja lukisan-lukisan karya para “bule” itu berada di Afghanistan, sambil merujuk nasib patung-patung Buddha raksasa yang dihancurkan kaum Taliban, pasti karya seni bernilai jutaan dollar itu boleh jadi sudah lama menjadi abu.

Nasib patung Buddha raksasa itu pernah menjadi rujukan komedian intelek Steve Martin ketika memandu acara Oscar tahun 2001. Ia sambil merujuk patung-patung raksasa Oscar di sekitar panggung, lalu menyeletuk : “Kalau di Afghanistan, semua Oscar-Oscar itu pasti sudah dihancurkan oleh Taliban !”

Iran yang unik. Cerita itu saya ikuti ketika menonton tayangan kisah perjalanan menarik dari Diego Bunuel. Orang Perancis yang ramah ini keliling dunia untuk mengunjungi dan menceritakan hal-hal menarik yang ia temui. Acaranya itu bertajuk “Don’t Tell My Mother,” di kanal National Geographic Channel.

Sebelum bercerita tentang koleksi lukisan, Diego menemui komunitas orang Yahudi di Iran. Bayangkan, hubungan Iran dengan Israel ibarat anjing lawan kucing, tetapi komunitas Yahudi itu aman dan damai menjalankan ibadah.

Bahkan komunitas Yahudinya terbesar kedua setelah negeri Israel. Mereka hidup aman dan damai. Sinagognya tak pernah diusik orang Iran, karena menurut tokoh Yahudi di Iran itu, “warga negara Iran tahu membedakan mana urusan agama dan mana urusan politik.”

Cerita Diego Bunuel itu mengingatkan saya akan isi artikel yang ditulis Francis Fukuyama di majalah Newsweek, edisi dobel, Desember 2001-Februari 2002. Topik utamanya adalah Era Perang Kaum Muslim. The Age of Muslim Wars. Tentang era centang-perenang ketika kaum muslim berperang melawan muslim, dan juga peperangan muslim melawan Barat.

Majalah edisi ini bernilai sentimental sekaligus monumental. Juga buku The Comedy Bible-nya Judy Carter (foto). Karena keduanya saya beli untuk meredakan gejolak hati setelah memperoleh surat vonis PHK dari sebuah perusahaan Internet di Jakarta.

Dalam artikelnya di Newsweek yang berjudul “Today’s New Fascist, Their Target : The Modern World,” Fukuyama justru menyimpulkan bila “ada negara yang mampu memimpin dunia Islam untuk keluar dari jaman sulit dewasa ini, maka negara tersebut adalah Iran.”

Menurutnya, generasi Iran kini yang rentang usianya di bawah 30 tahun rata-rata tidak lagi menaruh simpati terhadap faham-faham fundamentalis “Dan bila Iran mampu menghadirkan sosok Islam yang lebih modern dan toleran, negeri tersebut akan menjadi model yang kuat bagi seluruh sisa negeri-negeri muslim di dunia,” pungkas Francis Fukuyama.

Bagaimana dengan Indonesia ? Republik Indonesia bukan negara agama. Tetapi tiap kali, antara lain mendengar pidato pembelaan Abu Bakar Baasyir di persidangan, juga heboh cerita tentang Panji Gumilang dan KW 9 (jadi isi laporan utama majalah Tempo terbaru) muncul teka-teki : apakah “The Age of Muslim Wars” justru telah “berpindah” ke Indonesia kini ?

Bagaimana pendapat Anda ?
Ayo jawab.

Tak usah menunggu orang Perancis ganteng itu, Diego Bunuel, melaporkannya dalam seri “Don’t Tell My Mother : Indonesia” di tayangannya mendatang.

Wonogiri, 19 Juni 2011

Anak Anda, Korban Perang Saudagar Penjual Kematian ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Elvis Presley, Anda kenal ? Raja rock’n roll asal Memphis dan punya lagu hit “Blue Suede Shoes” itu pernah saya jadikan sebagai bahan olok-olok. Yaitu dengan mempersonifikasikan gaya dan seragam pasukan “sepatu beludru biru”-nya Partai Demokrat dalam show kampanye SBY di Pilpres 2009 yang lalu.

SBY dan putranya berpakaian dan bernyanyi a la Elvis. Rambut berjambul, kerah tegak a la kaos Erik Cantona atau baju Drakula, disusul adegan hot goyang pinggul. Penari latarnya semua bersepatu biru buatan pabriknya Hartati Murdaya (pendukung fanatik SBY), dan koreografi tarinya ditata oleh Angelina Sondakh.

Bagi Anda yang sudah membaca buku Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), semoga masih mengingat cerita di halaman 105-111 itu.

Pilpres 2009 tersebut ternyata memang bermasalah. Asap kehebohannya yang masih mengepulkan jelaga sampai kini (isi sms “Nazaruddin” tentang pemalsuan 18 juta suara sampai kasus Andi Nurpati) mudah mengingatkan seorang diktator Afrika yang pernah bilang, “Anda boleh memenangkan pencoblosannya, tetapi kami akan menang dalam penghitungannya.” Itulah pula yang terjadi di KPU saat Pilpres 2009 yang lalu ?

Semua tokoh merokok. Kembali ke Elvis Presley. Anda pernah menonton film 3000 Miles to Graceland ? Film ini berkisah tentang sekawanan perampok kasino yang berdandan a la penyanyi legendaris yang meninggal di WC karena overdosis obat bius, ya Elvis Presley itu pula. Stasiun teve RCTI pernah menayangkan sedikitnya dua kali (7/5/2003 dan 28/4/2004) film tersebut.

Adegan sangat mencolok dalam film itu adalah banyaknya tokoh yang tak henti-hentinya merokok. Ada tokoh Murphy, sementara tokoh lainnya, Michael, juga merokok dan malah tampak permisif mengajari anak di bawah umur untuk merokok. Belum lagi detektifnya juga tak kalah dalam hal seringnya merokok.

Karena terusik, sebagai seorang epistoholik, saya telah menulis surat pembaca di koran (almarhum) Kompas Yogyakarta. Isinya gugatan : Apakah tukang pilih film di RCTI tidak terusik oleh adegan-adegan merokok yang sangat mencolok itu ?

Atau memang film ini sengaja dipilih (!) atas pesanan terselubung industriawan rokok yang maha kaya-kaya itu untuk mengiklankan kebiasaan merokok ? Sinetron Dara Manisku, juga di RCTI, mencolok adegannya yang mengumbar pelakunya seperti saling berlomba-lomba dalam merokok !

Glamorisasi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam upaya kampanye global anti-rokok telah mengimbau kalangan produser film di Hollywood dan Bollywood dan kalangan industri mode untuk menghentikan tayangan yang mengglamorisasikan aksi merokok.

Caranya dengan menghindari adegan film yang menayangkan aksi merokok yang nampak penuh gaya dan meminta industri fashion untuk tidak menggunakan rokok sebagai asesorinya.

Survei tentang Bollywood, ternyata 320 dari 400 film India menayangkan adegan merokok sebagai sesuatu hal yang cool untuk dilakukan. Rokok bisa mencitrakan kejantanan atau feminitas, canggih atau kasar, sexy atau sporty, semuanya karena kecerdikan strategi pemasaran.

Dua dari konteks yang mendukung citra tersebut adalah industri film dan mode. Disebutnya, kalangan film dan fashion memang tidak dapat dituding sebagai penyebab kanker, tetapi seharusnya mereka tidak mempromosikan produk-produk yang menyebabkan kanker.

Surga industri rokok. Anjuran WHO itu di Indonesia, nampak sebagai angin lalu. Artikel menohok dari Kak Seto di Kompas (28/7/2007) telah memotret agresifitas industri rokok dalam berkampanye mengajak anak-anak muda kita untuk merokok.

Dikota kecil saya saja, Wonogiri, setiap kali melakukan jalan kaki pagi saya selalu menemukan papan-papan iklan baru dan umbul-umbul yang mempromosikan produk rokok. Belum lagi tempelan poster iklan-iklan rokok yang menyerobot dan mengotori pemandangan, tertempel di tembok shelter dan lokasi publik lainnya.

Itulah cerminan betapa kota kita dan anak-anak muda kita menjadi korban ajang perang para teroris nikotin berskala global. Wartawan William Ecenbarger dalam artikel berjudul “America’s New Merchants of Death” (Saudagar-Saudagar Kematian Baru Amerika) di majalah Reader’s Digest (4/1993 : 17-24) menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru nampak semakin agresif memindahkan pasarnya ke manca negera.

Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok di AS semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas. Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan negara berkembang. Indonesia dengan penduduk 237 juta, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran utama bidikan mereka.

Parahnya lagi, birokrat kita kronis mengidap cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Pernah presiden Megawati ke Aceh mengunjungi tentara kita yang saat itu terlibat pertempuran melawan gerakan separatis GAM. Ia berpesan kepada para prajurit agar menjaga kesehatan. Tetapi pada saat yang sama seperti dilaporkan koran Solopos (20/8/2004 : 2), Megawati menyerahkan bantuan berkotak-kotak rokok.

Demikianlah, demi uang, para birokrat kita seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Mereka mengeruk uang pajak dari kalangan industri rokok dan membiarkan rakyatnya menanggung resikonya sendiri akibat dampak kampanye produk yang membahayakan kesehatan di masa mendatang tersebut.

Apalagi serbuan rokok-rokok impor itu segera disambut hangat, dengan bangkitnya pabrik-pabrik rokok baru di dalam negeri. Lihatlah, produk-produk atau merek-merek rokok baru buatan dalam negeri segera menjamur. Termasuk misalnya, pabrik rokok milik putri raja Yogyakarta.

Jalanan kita, acara-cara musik di kampus dan lapangan sepak bola, acara-acara budaya seperti yang dikreasi oleh Butet Kertarajasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto di TIM, gerakan cinta lingkungan, lomba karya tulis antarwartawan, sampai bagi-bagi beasiswa mahasiswa, cengkeraman pabrikan rokok bermain di dalamnya dan semakin menggurita dimana-mana.

Menurut laporan The Jakarta Post (11/1/2010), Indonesia termasuk sedikit negara yang belum menandatangani dan meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control /FCTC) yang disponsori Badan Kesehatan Dunia/WHO. Konvensi ini maha penting karena sepertiga dari 237 juta penduduk Indonesia adalah perokok.

Membongkar kebohongan. Jelas sekali, puluhan juta kaum perokok Indonesia merupakan tambang emas bagi industri rokok. Rejeki maha besar ini tentu akan mereka pertahankan mati-matian. Lobi-lobi tingkat tinggi sangat berperan di sini.

Sebagai gambaran, kalau Anda pernah membaca salah satu buku tetraloginya wartawan Kompas, Wisnu Nugroho, yang bercerita tentang SBY, Anda akan menemui cerita menarik. Yaitu ketika sebagai wartawan yang sehari-harinya meliput kegiatan SBY di Istana, memergoki mobil mewah di halaman Istana. Mobil itu mereknya Rolls-Royce, dengan nomor polisi : 234.

Kemudian kalau Anda membaca buku yang pernah bikin geger, yaitu Membongkar Gurita Cikeas : Di Balik Skandal Bank Century (2010)-nya George Junus Aditjondro, juga tersaji cerita menarik di halaman 21-26. Antara lain tentang kiprah industrialis rokok raksasa Indonesia : “Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque, 2009).

Kita sebagai warga negara, nampaknya harus skeptis dan bahkan mengendorkan harapan kepada pemerintah tentang kampanye bahaya rokok tersebut. Tetapi jangan menyerah. Di era media sosial yang memberi setiap warga kekuatan untuk bersuara, sudah saatnya kita manfaatkan secara maksimal. Tulisan ini juga berada pada arus yang sama.

“Merokok itu tidak cool, keren. Yang nampak cool adalah perokoknya”, simpul Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point (2002) yang mengkampanyekan strategi radikal dalam kampanye anti-merokok yang selaras dengan langkah WHO di atas.

Apalagi, menurutnya, “merokok itu terkait erat dengan masalah emosi….Semua hal yang dapat membuat seseorang rentan terhadap efek menular merokok, misalnya rasa harga diri rendah, suasana tidak sehat atau tidak bahagia di rumah, sama dengan semua hal yang dapat membuat seseorang mengalami depresi.”

Jadi tembakau itu merupakan obat murah bagi mereka dalam berikhtiar mengobati depresi mereka sendiri. Jadi, perokok adalah orang-orang yang tidak “berbahagia.” Dan kalau masalah depresi ini bisa diatasi, begitu Gladwell menyimpulkan, maka kecenderungan mereka untuk merokok berpeluang untuk diturunkan.

Dalam versi yang mungkin lebih canggih, coba perhatikan bunyi peringatan yang terdapat pada setiap bungkus rokok atau iklan-iklan rokok. Kata-kata peringatan itu, menurut Chip Heath dan Dan Heath, kuranglah bertaji. Sebagaimana ia tulis dalam buku larisnya yang wajib dibaca para komunikator kreatif, berjudul Made To Stick : Strategi Agar Gagasan Kita Melekat di Benak Orang Lain (2007, 432 halaman. Bila berminat terhadap buku ini, seperti rekan saya Bakhuri Jamaluddin di Pamulang, Tangerang dan Widiaji di Yogyakarta, silakan segera kontak saya), menurutnya, peringatan itu kurang emosional.

Oleh kedua penulis itu (Chip Heath adalah profesor di Sekolah Bisnis Universitas Stanford dan Dan Heath adalah konsultan di Duke Corporate Education) telah mereka tandaskan :

“Sulit untuk membuat para remaja berhenti merokok dengan menanamkan rasa takut terhadap konsekuensinya, tetapi lebih mudah untuk membuat mereka berhenti merokok dengan memanfaatkan kebencian mereka terhadap kebohongan yang sengaja dilakukan oleh perusahaan rokok raksasa.” (Hal. 24).

Tulisan ini merupakan ajakan bagi Anda untuk melangkah bersama. Untuk ikut serta membongkar beragam kebohongan-kebohongan itu. Dengan tujuan, siapa tahu ikut menyelamatkan generasi muda kita sebagai korban cipoa , tipu muslihat julig kaum industrialis rokok, yang tak lain merupakan saudagar-saudagar kematian yang kini semakin merajalela.

Memang tak mudah. Mungkin di sini repot kita akan bertambah. Pasalnya, kalau presiden SBY saja telah dituding secara berjamaah oleh para pemuka agama sebagai berbohong, apakah pabrik rokok, politisi, aparat penegak hukum, para birokrat, institusi kesehatan, cendikiawan, wartawan sampai pebisnis, tidak boleh ikut-ikutan berbohong ?

Mungkin itu pula kesialan kita selama ini.

Kita tertakdir hidup di negara yang segalanya semakin jelas, sebagai bohong-bohongan belaka.


Wonogiri, 27 Juni 2011