Sunday, December 27, 2009

The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Magnet uang. “Apakah kita membaca buku yang sama ?”

Pertanyaan itu melintas ketika sebuah truk menyalip bis yang saya tumpangi. Hari itu Rabu pagi, 2 Desember 2009. Saya dalam perjalanan Wonogiri-Solo-Jogja. Di bak truk bersangkutan tertulis slogan menawan : I’m a money magnet. Saya bisa memotretnya.

Pertanyaan di atas tentu tak bisa saya ajukan kepada sopir truk bersangkutan. Kita sama-sama melaju di jalan raya. Tetapi slogan di bak truk itu mengingatkan akan isi sebuah buku karya Peter Spann, The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth (2003).

money magnet,money,magnit

Buku ini hadiah dari teman online saya, Lasma Siregar, yang tinggal di Melbourne, Australia. Buku ini saya terima tanggal 18 Maret 2005. Buku mini ini menghimpun 100 butir motivasi, ditulis pendek-pendek dan bernas.

Misalnya di halaman satu : “Kaya” adalah bila Anda memiliki banyak uang. “Sukses” adalah bila Anda mengerjakan apa yang Anda cintai dan mencintai apa yang Anda kerjakan, ketika Anda dikelilingi oleh mereka yang Anda cintai dan Anda memperoleh imbalan yang sesuai dengan diri Anda.

Terkait dengan slogan di truk tadi, pada halaman 30 Spann menulis : “Tahukah Anda bahwa uang itu selalu menempel ibarat magnet kepada seseorang yang tertentu ? Orang-orang tersebut mengetahui Tiga Rahasia Magnetisme Uang.”

Rahasia Pertama Magnetisme Uang (hal. 31) : “Keunikan. Temukan bakat, keterampilan atau produk yang benar-benar unik, sesuatu yang dibutuhkan orang, di mana mereka bersedia membayar dan hanya Anda satu-satunya yang mampu menyediakannya, dan itulah tiket Anda menuju kaya raya.”

Belum kaya raya. Terima kasih, Peter Spann. Saya setuju dengan formula Anda itu. Selain rada heran mengapa buku ini sering melintas di kepala saat saya melakukan perjalanan, termasuk ketika memperoleh MURI yang kedua (2005), saya berbangga diri karena telah menemukan keunikan pada diri saya sendiri. Sebagai seorang epistoholik, pemabuk penulisan surat-surat pembaca.

Apakah saya telah merasa sukses dengan keunikan itu ? Jawabnya : Yes !, sambil tetap menyadari bahwa keunikan itu bukan sesuatu yang eksklusif. Toh sebelum saya bergiat dalam aktivitas menulis surat pembaca, sudah banyak pendahulu yang melakukannya. Salah satu tokohnya adalah yang akan saya kenang nanti ketika saya menginjak Yogya kembali.

Tetapi jawabnya jelas No ! bila menulis surat pembaca, sekampiun apa pun dan bahkan tercatat di MURI pun, akan mampu membuat diri saya sebagai orang yang kaya raya.

Ah, apakah ini sikap yang pesimistis ? Atau realistis ? Begini sajalah : “kaya raya” ilmu, boleh jadi. Toh Internet telah menyediakannya. Yang juga terbuka bagi Anda semua. Tetapi kaya raya uang, tidak. Atau belum ? :-(

Saya ke Yogya untuk “menjual” keunikan saya. Sebagai penulis naskah pidato sekaligus untuk mengisi buku panduan dari kegiatan Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta dengan tema “Batik Jogja untuk Indonesia.” Lokasinya : Griya UMKM Jl. Taman Siswa No. 39 Yogyakarta. Tanggal 4-6 Desember 2009.

Jadi, wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi bagian dari materi buku pengantar acara itu.


Rapor merah-merah. Begitulah, isi hati ini campur aduk. Antara rada merasa lucu, sekaligus senang, karena bisa menginjakkan kaki lagi di Yogya. Tentang lucu, hal itu bisa muncul bila membuka-buka album kenangan saat bersekolah di kota ini.

Selepas lulus di SMP Negeri 1 Wonogiri, saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta Tahun 1970 sampai tahun 1972. Jurusan Mesin. Menengoki dokumen rapor saya, walau sudah dilaminasi plastik oleh ayah saya Kastanto Hendrowiharso toh bagian tengahnya sudah dimakan rayap. Di dokumen itu tercatat banyak sekali angka-angka merah saat saya bersekolah yang terletak di Jetis itu.

Saat duduk di kelas 1 Mesin C, pada semester satu, untuk pelajaran Mesin Uap saya mendapat nilai 4. Mohon maaf kepada James Watt, bapak penemu mesin uap. Mohon maaf pula kepada Bapak Sumarto, guru saya. Yang saya ingat dari beliau, selain sosok kurus dan berkacamata, adalah keusilannya untuk mau mengomentari judul lagu yang saya cantumkan di bagian bawah kertas ulangan.

Saat itu saya menggemari duo Simon & Garfunkel. Pada bagian akhir kertas ulangan mesin uap itu saya tulis judul lagunya, “The Only Living Boy in New York.” Ketika kertas ulangan dikembalikan, ada tulisan tambahan dari Pak Sumarto : “But, why do you live in Yogya ?”

Pelajaran Motor Bakar juga mendapat nilai 4. Saat itu, seingat saya, saya lebih mudah mengingat nama-nama “indah” para pembalap F-1 saat itu, seperti Clay Reggazoni atau Emerson Fittipaldi, daripada menghafal rumus-rumus pelajaran dari Pak Sardjiman itu.

Nilai 4 juga saya sandang untuk Ilmu Ukur Ruang & Proyeksi. Turbin Uap, 5. Peraturan Keselamatan Kerja, 5. Praktek Bengkel, 5. Aljabar dan Ilmu Ukur Analyt, 5. Di semester satu itu ada 7 angka merah. Syukurlah hanya ada dua merah di semester kedua : Motor Bakar dapat 5 dan Ilmu Gaya, yang sebelumnya dapat 6 kini merosot jadi 4.

Pelajaran favorit saya di sekolah itu justru Bahasa Indonesia yang diampu Ibu Mujimah (“yang seksi,” bisik-bisik teman saat itu), dan Bahasa Inggris dengan guru yang agak nyentrik, Pak Sukartolo.

Saat itu saya tinggal di Dagen, kebetulan ayah saya menjadi komandan Koramil Gedongtengen. Kalau berangkat sekolah bersepeda merek Fongres buatan Belanda, saya sering menyeberang ke timur, melewati Malioboro, lalu menerabasi kampung Sosrokusuman. Fokus perhatian : rumah di sisi timur laut, persis utaranya lapangan tenis.

Pamrihnya, siapa tahu, sambil deg-degan, dari rumah itu bisa saya pergoki siswi SMA Stella Duce yang cantik (sekali). Kalau tak salah ingat, namanya Dini, putri perwira AURI. Ia punya mata yang tajam, sekaligus kelam, seperti mata perempuan dalam lukisannya Jeihan.

Di Yogya ini saya meneruskan dalam memupuk kegemaran sebagai humoris. Dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek ke majalah Aktuil dan Varianada. Sekaligus bisa gratisan, tak perlu membeli majalah, untuk bisa mengikuti cerita Denny Sabri, wartawan topnya yang ia tulis dari Jerman.

Tentang kiprah terbaru Ian “Child in Time” Paice, Ritchie “Highway Star” Blackmore dan kawan-kawan dari Deep Purple, Ozzy Osborne dari Black “Paranoid” Sabbath atau pun Robert “Black Dog” Plant sampai Jimmy “You shook me” Page dari Led Zeppelin.

Petugas tata usaha sekolah saya mungkin menjadi heran karena saya, mungkin sebagai satu-satunya siswa, yang menerima kiriman weselpos yang bukan dari orang tua. Tetapi prestasi siswa STM yang mampu menulis lelucon hingga menembus majalah Bandung dan Jakarta itu sama sekali tidak terendus di kalangan guru-guru saya.

Pay it forward. Di Yogya pula, mungkin benih sebagai seorang epistoholik juga mulai bersemi pada diri saya. Ketika mengikuti koran Kedaulatan Rakyat saat itu, sering saya temui nama Ir. RM Pradiko Reksopranoto, dengan alamat Jalan Sultan Agung 65.

Suatu keajaiban sejarah terjadi pada tahun 2000. Atau sekitar 30 tahun kemudian. Di arena Festival Aeng-Aeng II Manahan Solo, saya bisa bertemu dengan tokoh unik dengan beragam minat yang kadang nampak esoterik ini. Dalam email yang beliau kirimkan tanggal 17 Oktober 2003, antara lain beliau pernah mengusulkan ide precision penalties dalam sepakbola, yaitu sebanyak 2 x 22 tendangan ke arah gawang yang dilakukan tanpa pemain kiper yang menjaganya !

Fast forward : 2009. Yogya dan surat pembaca kembali mengusik saya ketika menemukan harian Kedaulatan Rakyat (1/12/2009) memuat surat pembaca dengan judul “Trah Arung Binang.” Penulisnya adalah Drs. Tulus Widodo dari Suryowijayan (081328830681).

Beliau, yang saya baru tahu kemudian nampaknya juga seorang epistoholik, mengomentari surat pembaca sebelumnya, juga di KR (17/10/2009) yang ditulis Ir. Avianto Kabul Prayitno, MT (08122732549) yang tinggal di Sapen, Gondokusuman.

Inti isi surat pembaca mereka adalah, karena merasa sama-sama sebagai warga keturunan Trah Arung Binang (Djoko Sangkrib), yang dirunut ke hulu hingga ke Pangeran Puger Kartasura Hadiningrat, Pak Tulus dan Pak Avi itu berniat ingin mengumpulkan balung pisah, menghimpun tali silaturahmi antar sesama warga trahnya.

Pada tanggal 3 Desember 2009 pagi, saya segera mengirim SMS kepada Pak Tulus dan Pak Avi. Saya berjanji akan menghubungkan mereka dengan warga trahnya di Jakarta, yang kebetulan saya kenal. Yaitu Bambang Aroengbinang, asal Mersi, Purwokerto. Ia mengelola blog berbahasa Inggris yang menawan, The Aroengbinang Project [“aku sering kepikiran, ini blog tentang operasi pengeboran minyak lepas pantai”] dan suka dihiasi hasil pemotretan dirinya yang indah.

Melalui warnet Sorpokats, Jl. Taman Siswa, siangnya saya mengirimkan email tentang ide Pak Tulus dan Pak Avi itu ke Mas Bambang Aroengbinang. Beberapa hari kemudian, beliau membalas : “berharap bisa ingin segera mengontak Pak Tulus dan Pak Avi di Yogya itu.”

Salah satu “tugas” bonus sebagai seorang epistoholik, seorang blogger dan katalis, sekaligus “menteri komunikasi dan informasi” dari trah saya, Trah Martowirono, hari itu telah saya lakukan. Begitulah, di Yogya tersebut, selain bisa bernostalgia, ternyata saya juga bisa menyemaikan perkenalan dengan kerabat-kerabat baru pula.

Ketika tanggal 5 Desember 2009 saya meninggalkan Yogya, saya berharap truk yang bertuliskan mantra “I’m a money magnet” itu bisa melintas kembali. Baiklah, harapan itu sia-sia. Di bawah ini, untuk Anda semua, saya ingin melengkapi hukum kedua dan ketiga dari Peter Spann tentang rahasia seseorang untuk menjadi magnet uang itu.

Hukum yang kedua : memberikan nilai tambah. “Bila Anda menemukan cara yang mampu menambah kekayaan, kesehatan, kebahagiaan, cinta atau waktu bagi kehidupan orang lain, Anda akan memperoleh imbalannya.”

Hukum ketiganya adalah, leverage. Maksimalisasi. “Apabila Anda mampu memaksimalkan kualitas sesuatu produk atau jasa, yang meningkatkan hasil, maka imbalan juga akan melimpahi diri Anda.”

Terima kasih, Peter Spann. Beberapa hari di Yogya saya mencoba merealisasikan hukum-hukum itu. Sebisanya. Sepulangnya, pada jiwa ini, syukurlah, saya merasa sebagai orang yang kaya raya.


Wonogiri, 18-23 Desember 2009

ee

Tuesday, December 22, 2009

Flashbacks of a Fool

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Penulis lirik. Lagu “Penny Lane” ikut teronggok di pojokan. Lokasi : sisi barat daya (?) toko buku QB, Jalan Sunda, Jakarta.

Di dekatnya terdapat rak buku-buku hukum, berhimpun dengan buku-buku tip memelihara anjing. Bukunya Jay Sankey, Zen and the Art of Stand-Up Comedy (1988), juga berada di sana.

Kluster yang menggelitik : hukum, komedi dan anjing campur aduk jadi satu.

Lagu ciptaan Paul McCartney dari The Beatles tentang sebuah lorong kecil kota Liverpool itu pernah memicu kontroversi.

Sobat saya Ardiyani, yang tinggal di Liverpool, pernah mengirimkan berita dari The Sunday Times (16/7/2007) bahwa nama itu hendak dihapus.

Karena terkait nama James Penny, juragan budak belian masa kolonial. Ah, Inggris, rupanya juga ketularan budaya munafik, karena ingin mengubur masa lalunya yang kelam.

Lagu “Penny Lane” itu terhimpun dalam buku kumpulan lirik-lirik lagu. Sebelum Internet marak, buku kumpulan lirik lagu-lagu merupakan salah satu buku yang menarik untuk ditengok ketika jalan-jalan ke toko buku.

Saya tidak tahu persis apa daya tariknya. Saya toh tidak mampu memainkan alat musik satu pun. Tetapi selalu saja terlintas, juga selalu naik dan turun, niatan ingin menjadi penulis lirik lagu.

Niatan itu sempat naik tensinya ketika menonton film The Rocker (2008) dan menikmati lagu ciptaan anak muda Curtis (Teddy Geiger) yang liriknya mengiris. Mengikuti lagu “Tomorrow Never Comes” yang muncul di film itu, benar-benar bikin iri. Iri kagum, bukan iri dengki.

Pada film tentang kesempatan kedua bagi Robert 'Fish' Fishman (Rainn Wilson), si penabuh drum bugil (yang mendunia karena disiarkan di YouTube) dalam meraih karier, sungguh mengagumkan mendapati anak muda yang mampu menulis lagu yang memiliki daya magis sedemikian kuat mencengkam tersebut.

Lagu-lagu semacam itu, merujuk pengakuan anak muda jenius lainnya yang juga penyanyi dan pencipta lagu terkenal, Taylor Swift, tidak lain merupakan “musical diaries to record her feelings.”


The Butterfly Effect. Lagu menarik lainnya adalah “If There Is Something” dari Roxy Music dalam film Flashbacks of a Fool (2008). Daniel Craig, sang James Bond terbaru itu, menjadi bintang sekaligus produser film ini.

Film drama Inggris ini, disutradarai Baillie Walsh, berkisah tentang bintang film Hollywood yang berefleksi mengenai hidupnya setelah memperoleh kabar kematian sahabat karibnya di masa kecil.

Film ini antara lain menebar hikmah, bahwa kita pada umumnya tidak mau berubah kecuali bila dalam perjalanan hidup itu menabrak sesuatu yang keras, sesuatu yang mau tak mau harus membuat kita berubah. Pesan lainnya mungkin lajim dikenal dalam teori khaos dikenal sebagai efek kupu-kupu.

Adagiumnya yang terkenal, yang juga muncul dalam film The Jurassic Park (1997), bahwa “kepak sayap kupu-kupu di pelabuhan Sydney akan membuahkan badai di daratan China.” Merujuk fenomena itu, di era Internet ini, seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, menulis bahwa “kecil sekarang adalah besar yang baru.”

Buktinya di Indonesia ada di depan mata kita semua. Gerakan menghimpun koin untuk mendukung Prita membuat lembaga pengadilan dan RS Omni Internasional yang menghukum Prita menjadi tidak ada artinya. Mereka kini berbalik status menjadi paria.

Gerakan sejuta Facebookers mendukung Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah juga telah membuat institusi hukum kita, termasuk wibawa Presiden SBY sendiri, tergerus habis citranya. Mereka kini juga pantas hanya berstatus sebagai paria.


Menabrak masa lalu. Efek kupu-kupu itu juga tergambar, walau tipis, dalam film Flashbacks of Fool. Yaitu saat sang tokoh Joe Scot (Daniel Craig) setelah gagal bunuh diri karena kariernya di Hollywood habis, kembali ke kampung halaman di desa kecil berpantai di Inggris.

Untuk menengok kuburan teman karibnya. Tetapi dirinya harus juga memergoki parade kenangan masa lalu, sekaligus mendapati konsekuensi atas perbuatan yang ia lakukan di masa lalu. Termasuk mendengar kematian Evelyn. “Tertabrak kereta api, dan kepalanya tidak ditemukan. Konon digondol oleh sekawanan anjing,” demikian kabar yang Joe terima.

Evelyn adalah ibu muda binal, tetangganya, suka selingkuh dan gemar daun muda. Ia pula yang menggoda Joe muda dalam petualangan seksnya yang pertama. Kesalahan yang harus ia bayar, yaitu putus cinta dengan Ruth, kekasihnya.

Ketika keduanya dibakar nafsu birahi, anak gadis Evelyn seumuran TK itu diusir dari rumah. Agar bermain-main sendiri di pantai. Ia pun bermain-main, termasuk asyik berayun-ayun di atas sebuah ranjau laut. Ranjau itu kemudian meledak. Kejadian itu pula yang membuat Joe muda kabur dari kampung halamannya.

Saat Joe mudik, ia juga menemui Ruth, gadis tercinta yang ia khianati, yang dulu pula ia tinggalkan. Masa lalu keduanya terukir indah dalam kilas kalik ketika berduet menyanyikan lagu “If There Is Something” dari Roxy Music dalam sebuah pesta.

Dalam kilas balik lainnya, pada percakapan keluarga Joe saat muda, sempat mencuat topik obrolan tentang masa lalu dan masa kini. “Ketika mendapati seseorang tua, yang terbaring lemah di ranjang mendekati kematian, dapatkah kita membayangkan apa saja yang ia jalani ketika pada masa mudanya ?”


Wanita indah. Umpama pertanyaan itu diajukan kepada saya, pada tanggal 20 Desember 2005, di sisi Widhiana Laneza, saya tidak tahu mau bilang apa.

Anez saat itu, tentu saja, bukan wanita tua. Saya tentu agak pangling, rambutnya saat itu menjadi pendek. Saya beruntung pada tahun 1980-an dikaruniai kesempatan untuk melihat saat rambutnya panjang tergerai.

Melengkapi sosok ningratnya yang membuat saya jatuh cinta.

Juga untuk tahu dirinya dalam sepenggal kehidupannya : ketika Anez menjadi mahasiswi Diploma 3 Bahasa Perancis dan sekaligus mahasiswi Jurusan Arkeologi Fakultas Satra Universitas Indonesia.

Mosaik yang bisa saya ingat, antara lain, ketika berkunjung ke rumahnya, ia nampak antusias bercerita tentang anjing-anjingnya. Ada yang bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Pesona hubungan itu pula yang kemudian membuat saya bisa menulis buku (cinta) untuknya, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Dalam kesempatan lain, 1 Februari 1987, ia bercerita tentang fenomena ahli bengkok sendok dengan kekuatan paranormal, yaitu Uri Geller. Ahli psychic asal Israel ini lahir tanggal 20 Desember 1946.

Tanggal yang sama pada tahun 2005, adalah tanggal saat Anez meninggal dunia. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Jeruk Purut, dekat rumah orang tuanya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Lahir di Brussel, Belgia dan meninggal dunia di Denpasar. Tiga hari setelah hari pernikahannya.

Saya diberitahu berita pedih itu oleh kakaknya, Verdi Amaranto, 22 Desember 2005. Setelah ia melakukan googling di Internet. Ia juga memberi beberapa foto, termasuk foto Anez kecil (foto di bawah) dengan boneka anjingnya saat dijepret di Hanoi, 1969.


Kembalikan ke masa mudamu. Pada bagian akhir film Flashbacks of a Fool nampak Joe Scot memutar kembali piringan hitam lagu “If There Is Something.”

Lalu ia menuliskan sebagian liriknya dalam sebuah surat. Untuk Ruth.

“Shake your hair girl with your ponytail,
Takes me right back (when you were young)”

Ruth, gadis tercintanya masa dulu itu dan janda sahabat karibnya yang meninggal itu, nampak meledak dalam tangis.

Tayangan keduanya saat berduet di masa muda menutup film pedih sekaligus indah itu. Lirik “If There Is Something” menggema, dan saya berharap Anez juga mendengarnya :

Goyangkan rambutmu dengan ekor kudamu
Kembalikan diriku (ketika kau muda dulu)

Lemparkan hadiah-hadiah indahmu ke udara
Saksikan ia berjatuhan di bumi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika bukit-bukit semakin meninggi (ketika kita muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika pepohonan semakin menjulang tinggi (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Ketika rerumputan semakin menghijau (ketika kau muda dulu)

Angkat kakimu dan hentakkan ke bumi
Di tempat biasa kau tapaki (ketika kau muda dulu)



Wonogiri, 20-22 Desember 2009

Monday, November 09, 2009

Terantuk Pintu Rumah Kayu : Interaksi Penulis, Blog dan Buku

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Perang blogger. Anda mengenal B.L. Ochman, Warren Kinsella dan Jay Rosen? Dua nama pertama itu berbeda pendapat dengan nama ketiga mengenai ngeblog. Utamanya menyangkut masalah : tulisan di blog itu sebaiknya pendek atau panjang ?

B.L. Ochman, seorang corporate blog strategist dalam artikelnya yang berjudul menarik dan provokatif, How to Write Killer Blog Posts and More Compelling Comments menyarankan agar tulisan di blog itu pendek-pendek saja. Setiap posting sekitar 250 kata, paragrafnya pendek, dan jangan matikan selera humor Anda.

Sementara itu Jay Rosen, profesor jurnalistik Universitas New York dan pengelola blog PressThink.org berpendapat sebaliknya. Ketika tampil dalam konferensi Exploring the Fusion Power of Public and Participatory Journalism (2004), seperti dilaporkan Leonard Witt, pelopor gerakan representative journalism dengan judul Blogging Advice from Jay Rosen: Be Complex ia berpendapat, bahwa gaya ngeblognya komplek, panjang, dalam dan kaya nuansa.

David Akin, moderator konferensi itu, sebelumnya memberikan info menarik : gaya blog Jay Rosen yang panjang itu dikatakan menular. Karena para pembacanya kemudian menulis komentar yang juga panjang-panjang.

“Kunjungi blog dia dan dalam waktu satu setengah jam kemudian Anda masih saja terus membaca, dan berpikir, sehingga tidak salah bila Jay Rosen memberi nama blognya sebagai PressThink,” lanjut David Akin. Bahkan Jay Rosen berpendapat, ia menganggap para pembaca blognya menginginkan sesuatu yang dapat mengebor batok kepala mereka.

Saya, salah satunya. Isi kepala ini yang dibor oleh pemikiran-pemikiran Rosen mengenai kedahsyatan media-media baru, utamanya blog, sungguh mencerahkan. Memabukkan. Dalam artikel yang dimuat di situs organisasi Wartawan Tanpa Tapal Batas berjudul Now I can write what I think ia katakan bahwa anjuran menulis blog itu harus pendek-pendek karena orang tidak punya waktu, sebagai tidak beralasan.

“Saya tidak mempercayainya,” tegasnya. “Alasan dan nasehat itu semata-mata menghambat kebebasan saya untuk menulis segala apa yang saya pikirkan. Karena ide dasar meluncurkan blog PressThink saya adalah pembebasan. Wow, sekarang saya memiliki majalah saya sendiri. Saya mampu menulis segala apa saja yang saya fikirkan !,” seru Jay Rosen.

Tipikal postingan blog dia adalah esai yang panjangnya antara 1.500 sampai 2.500 kata. Kalau B.L. Ochman punya nasehat bagi para blogger agar dalam setiap posting menyertakan banyak sekali tautan, link like crazy, formula itu juga berlaku bagi Jay Rosen. Terdapat sekitar 20-30 hyperlink dalam tiap esainya.

Main sekop di kuburan. Obrolan tentang gaya ngeblog di atas menggoda saya untuk mengungkapnya kembali. Gara-garanya, saya terpicu saat membalik-balik buku berjudul Senandung Cinta dari Rumah Kayu : Catatan Inspiratif Tentang Keluarga, Persahabatan dan Cinta (Daun Ilalang, 2009). Penulisnya adalah Dee, seorang blogger dan Kuti, wartawan yang merangkap sebagai blogger.

Isi buku setebal 229 halaman ini pernah dimuat sebagai tulisan dalam blog rumahkayu.blogdetik.com. Karena sebagian isi buku tersebut mengacu kepada sumber dari blog lain, saya bayangkan formula link like crazy itu juga sudah diterapkan di blog itu pula. Sehingga buku ini mampu berfungsi bolak-balik secara optimal.

Pertama : mampu mem-bumi-kan, alias meng-kertas-kan isi blog mereka yang dari dunia digital. Kedua, juga berfungsi sebagai pintu gerbang bagi mereka yang membaca buku, tetapi belum mengenal blog bersangkutan, untuk kemudian tergoda melakukan petualangan di medan digital, di blog. Untuk membangun interaksi lebih lanjut dengan penulisnya.

Merujuk nasehat David Weinberger dan kawan-kawan bahwa pemasaran adalah percakapan, maka penerbitan isi apa pun sebenarnya bukan terminal akhir suatu perjalanan informasi bersangkutan. Tetapi justru suatu awal. Awal suatu percakapan, dialog.

Tetapi nampaknya, kesan saya, pemahaman konteks untuk membangun sinergi antara media atom yang berbasis kertas dengan media digital yang berbasis bit itu, belum muncul secara kuat dari penerbitan buku ini. Yang terjadi baru semata-mata, dugaan awal saya, adalah niatan polos : pengin punya buku. Salut untuk Dee dan Kuti untuk keberhasilannya untuk yang satu ini.

Tetapi keberhasilannya itu, saya kuatirkan, tidak mampu berlari lebih jauh. Jangan kecil hati, karena implementasi strategi serupa juga sering dilakukan media massa utama, mainstream media, ketika mereka berurusan dengan media digital. Pendekatan dengan trik shovelware ini mereka nilai sebagai hal nalar di mata kaum pengelola media berbasis atom, media kertas. Yaitu ketika isi yang semula terpajang di media cetak “disekop” kembali dari liang kuburnya itu untuk dipajang di media digitalnya.

Walau memang Dee dan Kuti melakukan hal yang sebaliknya. Mula-mula ia memajangnya di media digital, lalu ia pindah ke media kertas, tetapi trik shovelware itu tidak serta merta langsung menjadikan sajian karya bersangkutan selalu tampil serasi dalam media apa pun. Karena media-media itu memiliki karakter masing-masing yang tidak sama. Bahkan bertolak belakang.

Nabi media Marshall McLuhan punya adagium medium is the message, alias menyatakan bahwa bukan isi yang terpenting sebagai pesan, sehingga isi-isi tersebut mula-mula harus dieksekusi sesuai dengan karakter media yang memuatnya. Intinya, menulislah sebebas-bebasnya di blog.

Tetapi bila isi blog itu hendak dijadikan sebagai buku, pelajarilah seluk-beluk dunia penerbitan buku dari A sampai Z dulu. Saya yakin, Dee dan Kuti akan memperhatikan hal ini di masa datang. Tetapi, hemat saya, pelajari seluk-beluk dalam menulis blog dulu. Ini merupakan nasehat, meniru khatib dalam berkhotbah, utamanya dan pertama kali memang ditujukan untuk diri sendiri.

Jerangkong yang menari. Anda pernah menonton acara pamer cakapnya Oprah Winfrey ? Setiap tamunya yang hadir senantiasa membawa jerangkongnya sendiri. Mereka rela dan berani mengeluarkannya dari dalam peti atau almarinya pribadi, kemudian mereka ajak jerangkongnya itu untuk menari atau berdansa di muka dunia.

Tawa yang hadir dari sana, atau linangan air mata kita, semata membuat diri kita merasa sebagai manusia. Bukan sebagai robot atau useful idiot yang patuh terhadap komando untuk tertawa-tawa riuh, tetapi kosong dan hampa seperti dalam acara komedi atau talkshow dengan host orang-orang yang sok lucu di pelbagai televisi kita.

Metafora tentang jerangkong itu saya peroleh dari Susan Shaughnessy dalam Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993). Edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).

Ia mengutip ucapan ucapan Carolyn MacKenzie yang berkata, bila Anda sebagai penulis dan kalau Anda punya jerangkong di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya. Jerangkong tersebut adalah hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan atau diceritakan, seperti rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut.

Tetapi pada akhirnya hal itu akan muncul juga dalam tulisan Anda. Mengapa ? Karena di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu akan mengalir dalam tulisan dan membuatnya hidup.

Louise L Hay, pengarang dan motivator, sekadar contoh. Dalam buklet Heal Your Body: The Mental Causes for Physical Illness and the Metaphysical Way to Overcome Them (1984), ia menceritakan saat terkena kanker vagina.

Sebagai anak yang pernah diperkosa saat berumur 5 tahun dan sebagai battered child, ia merasa tak aneh bila penyakit yang muncul menyerang vaginanya. Dalam statusnya sebagai guru pengobatan alternatif, ia akhirnya memutuskan untuk berjuang berlandaskan keyakinan metafisika untuk memperoleh kesembuhan. Ia berhasil.

Sosok lain yang menari bersama jerangkong adalah blogger dan content maven, Meryl K. Evans. Dalam tulisannya It’s a Big, Blog World Out There Five Quick Tips to Building a Better Blog (2006), ia mengisahkan salah satu blognya yang lahir ketika ia mengandung anak ketiganya. Blognya berfokus pada masalah kehamilan, tetapi lalu terhenti ketika anaknya lahir karena ia tidak berminat untuk menulis blog seputar topik pengasuhan anak.

Blognya yang lain hadir di dunia ketika ia mempersiapkan diri menerima pencangkokan cochlear implant, untuk merestorasi telinganya yang tuli. Blog tersebut disebut Bionic Ear Blog. Isi blognya yang satu ini meliput tentang proses cochlear implant dan bagaimana menjalani kehidupan bersama alat tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya blog ini diperkaya dengan tulisan tentang kehidupan Meryl K. Evans sebagai penyandang tuli dan pengalamannya menemukan hal-hal baru sebagai orang tuli pada sepanjang 30 tahun menjalani kehidupan.


Orang asing. Di dalam Rumah Kayu-nya Dee dan Kuti nampaknya tarian jerangkong itu tidak pernah terlihat jelas berkelebat di dalamnya.

Barangkali karena semua tokoh yang hadir dalam buku itu hanya nampak sebagai sosok-sosok bayangan di balik kabut, walau dari sana terdengar cinta dan cinta itu disenandungkan oleh mereka. Sementara jerangkongnya sudah digedong, dibungkus rapat seperti mumi, dan disimpan dalam kotak besi yang tersembunyi.

Dalam dialektika dunia komedi, Dee dan Kuti rupanya lebih memilih sebagai orang-orang normal belaka Artinya, selera humor orang-orang normal semacam ini diwujudkan dengan cara menghafalkan lelucon milik orang lain dan lalu menceritakannya kepada orang lain.

Bukan suatu kebetulan, sekadar ilustrasi, bila ia tiba-tiba tergoda menceritakan lelucon mengenai jenis kelamin komputer pada bagian awal bukunya itu. Padahal itu lelucon milik orang lain dan bukan bersumber dari wisdom kehidupan yang mereka jalani.

Padahal menurut saya, Dee dan Kuti harus menjadi komedian yang sejati. Yang orisinal. Yang harus mentransformasikan seluruh hidupnya menjadi komedi itu sendiri. Salah satu caranya : membangunkan jerangkong-jerangkongnya sendiri yang selama ini tersimpan rapat di lemari, dan lalu menarikannya di muka dunia.

Sayang, jerangkong itu sulit saya temukan di buku Rumah Kayu itu. Baru ketika mengakses blognya, saya terantuk pada posting berbunyi : “Pada buku pertama ini (oh ya, kami memang berencana menerbitkan buku rumahkayu dalam beberapa seri) kami juga menulis soal si kecil, bagaimana sampai dia bisa menjadi anak Dee dan Kuti (yang belum setahun menikah namun sudah punya anak berusia sekitar enam tahun).”

Pikir saya, mengapa Dee dan Kuti tidak memfokuskan isi blog dan atau bukunya itu pada topik tentang adopsi anak saja ? Bukankah blognya berpeluang menjadi lebih berhasil bila menggarap suatu ceruk, niche, yang benar-benar khusus dan spesifik ?

Bukankah topik adopsi anak itu dapat direntang perbincangannya dari masalah ginekologi, psikologi, bahkan sampai cerita tentang sosok tukang adopsi anak kelas dunia semacam Madonna hingga (foto) Angelina Jolie ?


Guru yang kejam. Sebagai pengelola blog kajian tentang print on demand, yang memajang manifesto bahwa setiap orang berhak menerbitkan bukunya sendiri, maka penerbitan buku Rumah Kayu itu pantas memperoleh acungan jempol.

Keberanian Dee dan Kuti untuk menerbitkan isi blognya menjadi buku, jelas menjadi inspirasi bagi para blogger lainnya.

Pengalaman ini, di hari-hari mendatang, akan sangat berharga sebagai batu pijak mereka berdua dalam melangkah. Apalagi pengalaman dikenal sebagai guru yang paling kejam, ia memberi dulu kita ujian dan sesudahnya baru memberi kita pelajaran.

Ada satu hal yang menggelitik saya.

Apakah pengelolaan blog sampai penerbitan isinya menjadi sebuah buku itu sudah masuk dalam strategi besar bagi Dee dan Kuti ke depan ? Karena terdapat sebagian orang yang berkeyakinan bahwa dengan menulis atau menerbitkan buku dengan mengira bahwa di luar sana terdapat pasar yang menantikannya. Pendapat itu jelas keliru.

Penerbitan buku tidak sesederhana, dengan pendekatan navel gazing semacam itu. Apalagi ketika setiap orang mampu mengelola blog, juga menerbitkan buku, persaingan menjadi riuh, seringkali membuat nilai ekonomi tidak melulu atau tidak lagi berada dalam ranah keduanya.

Tren yang ada di depan ini, buku-buku itu cenderung digunakan tak ubahnya sebagai bentuk canggih dari kartu nama. Diberikan secara gratis, guna mendongkrak reputasi penulisnya.

Informasi dalam blog dan buku disebarkan secara gratisan, free dengan tujuan membangun reputasi dan kepercayaan publik terhadap penulisnya guna meraih nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi. Alias freemium (terima kasih Chris Anderson atas istilah ini dalam bukunya berjudul Free), misalnya dengan tampil sebagai nara sumber media, konsultan dan pembicara.

Sebagai blogger, hal itu pula yang beberapa kali terjadi pada diri saya. Termasuk memperoleh hal yang surprise, yaitu ketika memperoleh kiriman buku dari Dee dan Kuti ini yang secara pribadi belum saya kenal, dan kemudian dipercaya untuk memberikan pendapat tentang buku tersebut.

Sebagai bacaan, kalau saja kita sudah mempercayai penulisnya sebagai orang yang kompeten untuk subjek yang ditulisnya, buku ini cukup menghibur. Tetapi saya agak terganggu membaca di halaman sampul belakang yang berbunyi, “sebuah buku yang berisi pesan-pesan cinta, persahabatan dan kehangatan sebuah keluarga.”

Saya pengin, kata “pesan-pesan” itu diganti menjadi “cerita-cerita.” Kata pesan berkonotasi menggurui, berada di atas, tetapi kata cerita nampak lebih egaliter.

Merujuk hal itu, seperti bunyi judul tulisan ini, saya merasa terantuk di “Pintu” alias pada bab pertama buku Rumah Kayu ini. Saya kejedot. Karena tulisan pertama, “Ada Apa Dengan Cinta ?,” yang menurut saya seharusnya ditulis sebagai cerita dan bukan paparan diskursif yang mirip materi diskusi yang kering itu.

Pada lembar sebelumnya saya berharap memperoleh data nama sebenarnya dari Dee dan Kuti, agar mudah ditemukan oleh mesin pencari. Saya tidak puas dengan biodata yang nampak justru banyak “menyembunyikan” dirinya di buku itu. Meminjam teknik penulisan buku drama, pada halaman awal sebaiknya dicantumkan data para pelaku cerita. Siapa Kuti, siapa Dee, Pradipta, sampai kakak berambut poni.

Kembali ke pemilihan judul artikel pertama itu, “Ada Apa Dengan Cinta ?” itu. Sayang, dalam isinya hanya merujuk keterangan singkat mengenai film yang berjudul sama itu sebatas sebagai tempelan. Saya mengharap sebetulnya, ada cerita bagaimana cinta dalam filmnya Dian Sastro (“saya merekam ucapan almarhum ayah Dian saat ia diwisuda 1985 sebagai sarjana sastra UI”-BH) itu hadir dan menari. Lalu misalnya merujuk cinta yang terjadi dalam film lain, Love Story misalnya, kemudian diramu sebagai jalinan cerita untuk mengupas topik pembuka itu.

Usulan saya : dengan menyebutkan pada tulisannya, misalnya judul, alur cerita, nama tokoh, penggambaran karaker sampai ucapan yang memorable dari sesuatu tokoh dalam novel terkenal atau film, Dee dan Kuti seolah mampu merengkuh pembacanya untuk hadir bersama tokoh-tokoh yang sama-sama kita kenal sebelumnya.

Tontonlah film Sleepless in Seattle (1993). Ada adegan mengharukan saat para pria bareng-bareng menangis ketika mengenang adegan dramatis dalam film perang The Dirty Dozen. Atau dalam film seri (kawak) Remington Steele, di mana aktornya Pierce Brosnan, selalu saja mengaitkan adegan yang ia alami sambil menyebut judul-judul film yang relevan.

Dee dan Kuti memang telah berusaha merangkul kita. Tetapi dengan Sun Tzu. John Gray. Sampai Viskram Seth. Terima kasih untuk ikhtiarnya itu.

Akhirnya, meminjam bahasa Jepang, untuk buku perdananya itu saya hanya bisa bilang tentang tulisan saya ini kepada Dee dan Kuti :

Isoku mung iki.
Mugi murakabi.


Wonogiri, 6-17/11/2009

Tuesday, September 29, 2009

Blink, SBY dan Perseteruan Cicak Melawan Buaya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Polisi yang brutal. Polisi kulit putih dan profesor Harvard berkulit hitam hampir saja memicu berkobarnya sentimen rasial di Amerika Serikat.

Peristiwa itu bermula ketika Henry Louis Gates, profesor dari Universitas Harvard dibekuk oleh seorang polisi berkulit putih, Sersan James Crowley, ketika sang guru besar itu mau masuk ke rumahnya sendiri.

Aneh tapi nyata. Mengingatkan kasus yang menjadi contoh dalam bukunya Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005) : tentang seorang pemuda 20 tahunan, Amadou Diallo, keturunan Guinea tewas setelah digerebeg oleh empat polisi kulit putih di New York, 3 Februari 1999.

Apa kesalahan Diallo ? Tak ada. Ia hanya mencari angin segar malam itu di luar rumahnya. Malam yang membawa sial baginya, gara-gara keempat polisi yang sebenarnya tidak tergolong rasis, melakukan serial terkaan, critical misjudgment yang fatal, sehingga ia kehilangan nyawanya.

Peristiwa ini memicu demo warga kulit hitam, termasuk akhirnya berhasil mengganti nama jalan lokasi kejadian itu. Semula adalah Wheeler Avenue dan digantikan menjadi Amadou Diallo Place. Peristiwa itu mengilhami penyanyi rock AS, Bruce Springsteen menciptakan lagu berjudul “41 Shots” yang dalam refrennya tergurat lirik : “You can get killed just for living in your American skin.

Bir perdamaian. Kembali ke masalah Gates versus Crowley. Kasusnya semakin memanas ketika Presiden Obama ikut berkomentar atas kejadian itu. Ia mengecam tindakan polisi yang gegabah. Langsung saja, komedian AS pun lalu ramai mengomentari peristiwa yang substansinya masih peka dalam sanubari rakyat Amerika.

Misalnya Bill Maher. “Maling macam apa yang hendak membobol rumah sambil membawa bagasi ? Itulah hal yang saya ingin tahu,” katanya. “Dan petugas polisi itu, Sersan Crowley bilang, bahwa Henry Louis Gate mengancam. Dan mengancam itu, yang ia maksud adalah : seorang berkulit hitam yang berpendidikan.”

Isu rasial lalu agak mereda ketika Presiden Obama mengambil prakarsa lanjutan, dengan mempertemukan keduanya, untuk mengobrol sambil minum bir di Gedung Putih. Para komedian ribut lagi.

Komedian Conan O'Brien berkata bahwa dalam pertemuan perdamaian itu Obama menyuguhkan bir buatan Budweiser. Ledeknya kemudian : “Untuk mendorong semangat harmoni ras, pabrik bir Budweiser telah merubah julukannya. Dari semula King of Beers menjadi Martin Luther King of Beers.”

Lelucon tentang bir itu lalu menyikut sana-sini. Kali ini menyodok ingatan rakyat AS terkait peristiwa ketika George W. Bush yang pernah tersedak saat makan kue pretzel, seperti diungkap lagi oleh Conan O’Brien :

“Sungguh mengesankan, Presiden Obama menyuguhi Profesor Gates dan Sersan Crowley minuman bir dan pretzel. Pretzel. Ya, inilah saat kali pertama pretzel disuguhkan di Gedung Putih sejak kue itu menyerang Presiden Bush. Anda masih ingat, bukan ?.”

David Letterman menimpali : “Presiden Obama bukan satu-satunya presiden yang menikmati bir sesekali waktu. Bill Clinton juga. Menurut cerita, Bill Clinton masuk bar dan memesan segelas bir dingin. Lalu apa jawab sang pelayan ? ‘Oh, pulanglah, dan temui Hillary saja.’”

Andy Borowitz di kolomnya edisi 28/7/2009, ikut bergunjing bahwa hari minum-minum bir itu sebaiknya didaulat sebagai hari libur baru : Hari Minum Bir Bersama Seseorang Yang Anda Tangkap.

Untuk menjelaskan momen itu, Obama seperti direka-reka secara jenaka oleh Andy Borowitz, konon telah berkata kepada para wartawan : “Ketika kemarahan sedikit memuncak, maka akan selalu ada penolong agar seseorang mampu berpikir lebih rasional : bir.”

Presiden Obama berharap bahwa proklamasinya itu akan menggiring terselenggaranya pesta di seantero negeri yang melibatkan polisi dan orang-orang tidak bersalah yang baru saja mereka tangkap.

Lain di AS, lain di Indonesia. Pesta bir perdamaian di Gedung Putih itu mungkin sama sekali tidak pernah terdengar oleh telinga Presiden SBY. Bila saja ia mendengar, siapa tahu, Presiden SBY akan meneladani sikap Obama itu. Apalagi SBY yang temperamen budaya Jawanya masih kental dalam menjaga harmoni, sehingga mengesankan sebagai peragu, diharapkan mampu berlaku bijak dengan mengundang para petinggi Polisi dan KPK untuk bertemu dan minum-minum bersama.

Untuk mendamaikan konflik cicak melawan buaya.

Tetapi yang terpenting adalah menunjukkan ketegasan SBY di momen krusial ini. Dan bukan seolah tutup mata dan tutup telinga terhadap berubah-ubahnya sangkaan yang terkesan artifisial, seperti yang diajukan oleh polisi terhadap kedua pimpinan KPK yang mereka seret ke ranah hukum itu selama ini.

Ketegasan SBY kini disorot oleh nurani hukum bangsa ini. Saatnya ia menentukan secara jernih fihak mana yang menjadi biang kerok pengganjal angin perubahan aksi pemberantasan korupsi di negeri sarang para koruptor ini. Lalu dengan kuasanya, melakukan kebijakan untuk menghukum mereka yang sebenarnya bertindak korup. Tanpa pandang bulu !


Data buku rujukan :

Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking. London : Penguin, 2005.277 halaman.

Wonogiri, 28/9/2009

kbk

Wednesday, September 16, 2009

Print is Dead, Surat Pembaca dan Promosi Buku

Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 16 September 2009


Salam episto ergo sum,
saya menulis surat pembaca karena saya ada,



Lebaran kunang-kunang. Semoga Anda sehat-sehat adanya. Bagaimana suasana kota Anda, mendekati hari Lebaran ? Di jalanan kota saya, Wonogiri, rasanya semakin sesak oleh orang. Pasar penuh orang. Antrean ATM penuh orang. Toko penuh orang.

Sementara Perpustakaan Wonogiri, yang mudah ditemui, tetap saja wajah-wajah yang sama. Familiar strangers.

Wajah-wajah yang lalu lalang di luar perpustakaan, adalah wajah-wajah asing. Perfect strangers. Juga kendaraan mereka yang bernomor bukan aseli Wonogiri. “Selamat pulang kampung sobat, saudara-saudara saya yang di hari-hari normal berkiprah, berkarya dan berkrida di luar Wonogiri.”

Adakah acara khusus bagi Anda, apabila Anda ikut merayakan Hari Kemenangan, di hari Fitri nanti ? Tahun ini saya akan merayakannya bersama kunang-kunang.

Ceritanya, ada seorang nenek yang mendongeng kepada cucu-cucunya. Tentang serpih-serpih tulang rawan hasil guntingan kuku-kuku jari dan kaki. Ia katakan, sebaiknya serpihan itu dipendam di pojok rumah. Bila malam, serpihan itu akan berubah menjadi kunang-kunang.

Cucu-cucu itu, walau takjub atas dongengan itu, tetap saja memendam rasa tidak percaya. Tetapi mereka tetap saja mengingatnya, bahkan setelah berpuluh tahun kemudian. Ada orang bilang, ucapan guru atau orang tua itu melesat dalam kecepatan cahaya untuk sampai ke telinga anak didik atau seseorang anak.

Tetapi makna dari ucapan itu sampai ke hati atau pemahaman, akan berjalan dengan kecepatan suara. Jauh lebih lambat dibanding kecepatan cahaya. Tetapi pesan itu tetap akan sampai. Entah beberapa bulan, beberapa puluh tahun kemudian, atau bahkan ketika sang anak, si penerima pesan itu, sudah berada di tepi kematian.

Dongeng tentang kunang-kunang itu, yang secara ilmu biologi atau fisika sebagai tak mungkin, mungkin dirancang sebagai sebuah metafora. Kiasan. Saya memaknainya kini, betapa bagian sekecil apa pun dari diri kita bila ditanam akan menumbuhkan cahaya, kebaikan, keindahan. Apalagi dalam kegelapan.

Kebetulan ketika saya mengetikkan kata firefly, kunang-kunang, dalam peranti lunak The Oxford Dictionary of Quotations (2002), muncul lema/entri menarik :

Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan :

What is life? It is a flash of a firefly in the night.
Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.

Nenek yang mendongeng tentang kunang-kunang itu berasal dari Kedunggudel, Sukoharjo. Namanya Jiah Martowirono. Ia nenek saya dan dongeng tentang kunang-kunang itu menjadi salah satu tema Reuni Trah Martowirono XXIII/2009, yang akan dilangsungkan 23 September 2009.

Lokasi : Museum Benteng Vredeburg, Djokdjakarta. Anak cucu-cicit Trah Martowirono, dari seantero Nusantara, bersiap melakukan Serangan Oemoem guna mendoedoeki selama Enam Djam di Djokdja. Cerita terkait dapat Anda klik di : http://trah.blogspot.com.

Surat-surat pembaca yang kita tulis, saya ibaratkan juga sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tetapi bagi orang tertentu, bila terjadi “klik,” surat pembaca itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tetapi ketukan yang mampu menyapa hati. Bagi saya, agar mampu menulis surat pembaca yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya yang tertentu. Utamanya : buku.

Maaf, sebagai pembaca surat-surat pembaca, saya kadang merasa kurang nyaman bila memergoki surat pembaca atau artikel yang merujuk kepada sumber tertentu tetapi ditulis dengan data bibliografi yang pincang. Misalnya data judul buku rujukan tidak ditulis, nama pengarang dikaburkan, dan tahun terbit disepelekan karena tidak dicantumkan.

Maaf lagi, iritasi ringan ini memang dipicu cara berpikir model digital. Semua ilmu pengetahuan itu harus tersambung, connected, sehingga dapat dicek dan di-ricek oleh orang lain, untuk sama-sama diuji kebenaran atau validitasnya. Jalan pikiran ini pula yang mendasari raksasa internet, Google, meluncurkan proyek gigantik : berusaha mendigitalkan semua buku-buku di dunia, sehingga bisa diakses oleh sesama umat manusia.

Syukurlah, ketidaknyamanan saya tentang data bibliografi itu masih kelas ringan kok. Karena dalam surat-surat pembaca, yang sering isinya menyangkut isu-isu aktual dan kurang dituntut adanya pendalaman, sehingga tidak terlalu menuntut hadirnya parade atau obral kutipan dari buku-buku (baru ?) tertentu.

Tetapi realitas semacam ini juga bisa sebagai tabir, untuk menutupi hal yang bisa (bila mau) diperdebatkan : apakah seorang penulis surat pembaca juga seorang maniak, pembaca buku, atau justru tidak menyukai buku ? Mungkin ini penilaian subyektif : bagi saya, rasanya selama ini, tidak mudah menemukan obrolan tentang sesuatu buku dalam surat-surat pembaca.

Akibatnya, salah satu cita-cita saya sebagai pendiri komunitas EI/Epistoholik Indonesia, sepertinya masih di awan. Gerakan menjadikan surat pembaca sebagai salah satu media untuk mem-buzzing info dan isi buku-buku (baru ?), kiranya masih belum memancarkan daya tarik optimal untuk memantik minat sesama warga komunitas EI ini.

Minimal untuk semakin meminati, mencintai buku. Sehingga sumber info, asupan bagi gelegak kawah intelektual kita, bukan kliping-kliping koran semata. Anda punya pendapat ? Saya tunggu.

Untuk menggelorakan cinta buku itu, walau seorang Jeff Gomez menerbitkan buku Print Is Dead : Books in Our Digital Age (2007, http://printisdeadblog.com), saya kini mencoba menghidupkan lagi blog buku saya yang lama terbengkalai.

Sekian dulu, obrolan dari Wonogiri. Setelah hiruk-pikuk Lebaran usai, saya punya PR. Menyiapkan makalah guna merayu mahasiswa baru agar memiliki wawasan baru betapa keterampilan menulis (surat pembaca, blog, artikel, surat cinta, sd surat lamaran) adalah senjata survival mereka dalam percaturan dunia datar yang mengglobal ini.

Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer Sinar Nusantara, Solo, tanggal 30 September 2009, memberi saya podium untuk berbagi wawasan dengan mereka. Terima kasih untuk Sadrah Sumariyarso dari PasarSolo yang telah memberi saya kepercayaan yang mulia ini.

Bocoran : di depan mahasiswa itu saya akan bercerita tentang kisah sukses non-linear dari pacarnya Sherina, yang menulis buku berjudul Babi Ngesot : Datang Tak Diundang, Pulang Tanpa Kutang.

Hal lain : saya memimpikan bisa membaca buku baru, terbitan Harvard (2009), karya John Mullins dan Randy Komisar, Getting The Plan B : Breaking Through to a Better Business Model.

Isinya membahas rahasia dibalik sukses iPod-nya Apple, Skype sampai Paypal. Siapa tahu, dengan ditulis akan membuat impian ini lebih mudah direalisasikan.

Terakhir : Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Sejahtera bagi Anda semua dan keluarga.

Wassalam,


Bambang Haryanto

Sunday, September 06, 2009

Menulis Untuk Mencerdaskan

Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah
Senin, 31 Agustus 2009 : D

Esensi pendidikan adalah mempersiapkan anak didik agar mereka terus mampu belajar, sepanjang hayat. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan dan keterampilan tiap individu juga cepat sekali usang, walau sering tidak kita sadari.

Salah satu cara belajar yang terbaik adalah menulis, karena menulis mempersyaratkan pelakunya harus juga membaca. Pembaca tidak selalu penulis, tetapi penulis pastilah seorang pembaca.

Merujuk hal penting di atas, saya menaruh salut atas kreasi guru dan murid SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat Solo. Mereka mengadakan lomba menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jumat (21/8). Ratusan surat-surat mereka itu ditempel pada spanduk putih dan surat yang terbaik akan dikirimkan kepada Presiden SBY.

Sebagai penggerak komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya usulkan agar semua surat mereka itu didokumentasikan dalam bentuk CD atau buku dan disimpan di perpustakaan sekolah. Sehingga dokumen berharga itu tidak hanya berumur sehari.

Sekadar info, tanggal 14 Agustus 2009, saya diminta untuk memberikan motivasi kepada ratusan anak-anak pelajar, SD sd SLTA, Desa Pakisbaru, Nawangan, Pacitan. Mereka telah mendokumentasi surat-surat mereka yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam bentuk buku yang menarik sebagai bacaan.*

Kreasi mereka pantas ditiru dan Epistoholik Indonesia senantiasa menyebarkan virus kegemaran menulis ini, yang dimulai dari menulis surat, untuk menggembleng generasi Indonesia agar cinta kegiatan menulis dan membaca demi terus mengasah kecerdasan diri mereka. [Surat pembaca yang dimuat telah dilakukan penyuntingan].


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia


Catatan : *Buku yang berjudul Kepada Yth. Ibu Negara di Istana Merdeka : 151 Suara Hati dari Anak Puncak Brengos Pacitan itu diterbitkan secara print on demand oleh Indonesia Buku.



kkb

Friday, September 04, 2009

Gus Dur, The Comedy Bible dan Politikus Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Pengelola blog Komedikus Erektus !
Penulis Dua Buku Kumpulan Humor
Tinggal di Wonogiri



Orang waras langka. Ucapan Gus Dur ibarat teka-teki. Ia saya pergoki di Toko Buku Gramedia Blok M, Jakarta Selatan, 25 Oktober 1986. Dua puluh tahun yang lalu.

Saat itu, ketika melihat sosoknya memasuki toko, mendorong saya memberanikan diri untuk memperlihatkan buku yang baru saya beli, karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions (1980), kepadanya.

Melihat kesamaan sebagai penikmat humor, setelah saling bertukar koleksi lelucon, Gus Dur mengeluarkan pernyataan yang saat itu berupa misteri. “Hanya kita saja yang masih waras,” cetusnya.

Belasan tahun kemudian teka-teki Gus Dur itu bisa saya mengerti. Hal itu terjadi di akhir 2001 ketika saya kena PHK pada sebuah perusahaan Internet di Jakarta. Untuk pengobat gundah, saya memutuskan membeli buku-buku panduan menjadi komedian. Isi buku-buku itu malah tidak menghibur. Justru membuat saya makin dirundung hati yang hancur.

Terutama oleh bukunya Judy Carter, The Comedy Bible (2001). Asumsi dan bahkan paradigma saya tentang komedi yang sudah saya anggap benar selama ini, bahkan karatan, berurat dan berakar, harus diruntuhkan. Harus dihancurkan.

Pemahaman bahwa menjadi komedian itu sekadar tampil di panggung menceritakan lelucon tentang orang lain atau karya orang lain, ternyata menurut Judy Carter hal itu merupakan kekeliruan yang sangat fundamental. Karena menurutnya, setiap komedian wajib dituntut orisinalitasnya. Di panggung dirinya harus berani dan jujur dalam membeberkan otobiografi mereka masing-masing.

We funny people are not normal”, tegasnya. Orang normal mengekspresikan selera humornya dengan menghafalkan lelucon, sementara jenakawan sejati mentransformasikan pengalaman hidupnya.menjadi lelucon. Ia menulis lelucon tentang hidupnya sendiri pula.

Tambah Judy Carter, kalau sebagian besar orang cenderung menyembunyikan cacat dan cela dirinya, para jenakawan justru mempertontonkannya semua itu kepada dunia. “Comedy...be afraid, be very afraid !”, tandas lanjutnya.

Keterusterangan, kejujuran, memang menakutkan. Tetapi semakin dalam menyelami riwayat hidup para komedian, sedari George Burns, Richard Pryor, Rodney Dangerfield, Joan Rivers sampai Jon Stewart yang baru saja memandu acara Oscar 2006, semakin saya menaruh hormat atas kejujuran mereka sebagai manusia. Para jenakawan sejati senantiasa mampu menemukan humor dalam momen yang serius, juga tragedi hidupnya, dan bahkan pada momen yang paling pribadi sekali pun.

Sekadar contoh adalah Christopher Titus. Ia komedian solo dan membintangi cerita seri televisi yang mentransformasikan problem kehidupannya dalam keluarga yang tidak normal menjadi bahan leluconnya. “Saya melucukan ibu saya yang menembak mati pacarnya. Saya juga melucukan ibu saya yang melakukan bunuh diri. Semua itu mampu membuat penonton tertawa.”

Chris Titus melawak dengan bahan yang benar-benar orisinal, segenap sisi hidupnya sendiri. Yang paling gelap sekali pun. Memanglah, komedian sejati memiliki totalitas ketika menerjuni dunianya.

Bersekutu dengan setan. Mungkin dapat diibaratkan sebagai seseorang yang berupaya memperoleh kekayaan hingga dirinya berani bersekutu dan membuat “perjanjian dengan setan.” Karena komedian sejati harus ikhlas menggadaikan sebagian nyawa atau kehidupannya dalam perjanjian itu.

Komedian harus berani merelakan semua kekurangannya sebagai manusia untuk dibedah, ditonjolkan dan dijajakan semuanya untuk menjadi bahan tertawaan.

Seorang Gus Dur, seperti diungkap Moh. Mahfud M.D. dalam artikelnya “Politik Humor Gus Dur” (JawaPos,15/3/2006), memiliki kepiawaian tinggi menghumori dirinya sendiri. Alkisah, ketika berceramah di depan kerumunan massa, Gus Dur mengajak massa untuk membaca salawat bersama-sama dengan suara keras.

Setelah itu, dia mengatakan, selain mencari pahala, ajakan membaca salawat tersebut adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang hadir. “Dengan lantunan salawat tadi, saya jadi tahu berapa banyak yang hadir di sini. Habis, saya tak bisa melihat. Jadi, untuk tahu besarnya yang hadir, ya dari suara salawat saja,” jelasnya.

Keikhlasan Gus Dur mengolok kekurangan diri sendiri, self-deprecating, merupakan ujud kewarasan dirinya sebagai pribadi. Menu serupa juga jadi andalan komedian muslim di Amerika Serikat dan Inggris yang sedang berjuang menegakkan citra Islam sebagai agama yang cinta damai pasca serangan teroris 11 September 2001.

Sebagai contoh adalah Shazia Mirza, pelawak Inggris yang tidak lajim. Ia perempuan, lulusan biokimia Universitas Manchester dan keturunan Pakistan. Menceritakan isi kelasnya, ia bercerita bahwa mahasiswa muslim pria lebih banyak yang lebih pintar menguasai ilmu kimia dibanding dirinya. “Pantas saja, mereka tekun belajar karena ingin mampu membuat bom,” cetusnya.

tisa hammi,komedian

Tissa Hami (foto) adalah komedian perempuan lain, tetapi di Amerika Serikat. Ia bergelar Master Kajian Internasional dan bekerja di John F. Kennedy School of Government., Universitas Harvard. Dengan melawak, “saya ingin menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah teroris, tidak semuanya fanatik. Juga tidak semua wanita muslim tertindas dan terbungkam,” katanya.

Latar belakang asalnya dari Iran dan referensi buruk hubungan antara negeri kelahirannya dengan negerinya kini (AS), sering jadi lawakan. Katanya, “kalau tidak ada penonton yang tertawa mendengar lawakan saya, Anda semua akan saya jadikan sandera!”

Mencela orang lain. Bagaimana lanskap lawakan di Indonesia selama ini ? Kiranya kita dapat bercermin dari pengalaman pelawak Basuki Srimulat. Seperti tertuang di JawaPos (3/3/2006), ia baru pulang dari naik haji.

Ia satu pesawat dengan KH Zainuddin MZ, Ustadz Iskandar dan satu lagi pria yang disebut Basuki sebagai Ketua Dewan Syuro. Pria yang terakhir ini bertanya kepada Basuki : “Apa akan terus melawak meski sudah menyandang predikat haji ?”

Basuki balik bertanya : “Lho, memangnya kenapa ?” Beliau menjawab : “Melawak itu kan identik dengan mencela orang lain ?” Mendengar hal itu Basuki tidak bisa langsung menjawab.

Miftah Faridl dari ITB dalam bukunya Pokok-Pokok Ajaran Islam (2004) telah menderetkan daftar dosa atau hal-hal yang tidak baik terkait afatul lisan, bahaya lidah.

Bahaya lidah termasuk mencaci maki, membuka kesalahan orang lain, memanggil nama jelek terhadap orang lain, sampai menghina dan mencemooh. Kalau saja perbuatan negatif tersebut selama ini justru merupakan modus lawakan yang lajim sekaligus berpotensi mengandung dosa, lalu apa solusinya ?

Pernyataan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi (Suara Merdeka, 4/2/2006) mungkin dapat dipakai sebagai panduan. Ia mensinyalir rentetan bencana yang melanda Indonesia akhir-akhir ini tidak lepas dari perilaku spiritual manusia Indonesia.

Menurutnya, kebanyakan bangsa Indonesia dewasa ini lebih sibuk mengurusi cacat orang lain sehingga kerap lupa pada cacat sendiri. Padahal, dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda, berbahagialah orang yang repot mengurusi cacatnya sendiri hingga lupa dan tidak sempat menghitung cacat orang lain.

Rentetan bencana yang terjadi di Tanah Air pasti bukan akibat dosa komedian kita semata. Tetapi sinyal menuju sajian komedi yang lebih baik telah ditorehkan. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana tayangan televisi kita identik pesta tayangan komedi, kiranya bulan suci ini bisa dijadikan sebagai momen bagi komunitas komedi kita untuk introspeksi.

Agar mampu menemukan (kembali) jalan lurus dan bersih dari “dosa” dalam berkarya, dimana keteladanan pribadi Gus Dur sampai nasehat KH Hazim Musyadi diharapkan sebagai pencerahan. Bagi dunia komedi dan juga bagi bangsa kita di masa depan.

Ketika terlalu banyak pemimpin dan pejabat negeri ini semakin sulit ditemui memiliki kewarasan, dalam arti berani jujur mengakui dan berani menertawai kekurangan dirinya sendiri, mungkin kita masih punya sandaran agar mampu bertahan. Yaitu sense of humor kita dan kejujuran para komedian !


[Artikel ini dengan judul “Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri” pernah dimuat di kolom Teroka-Humaniora, Harian Kompas, 27 Januari 2007. Dalam pemuatannya telah dilakukan penyuntingan].

Data buku rujukan :

Judy Carter, The Comedy Bible : From Stand-Up to Sitcom – The Comedy Writer’s Ultimate How-To Guide. New York : Fireside, 2001. 367 halaman. Buku ini saya pesan langsung dari AS melalui layanan Q Books di Jakarta. Buku ini yang justru membuat saya masih saja digeluti rasa ketakutan untuk menerjuni komedi tunggal, seni yang oleh Will Ferrer disebutnya keras, bengis dan sepi.

Miftah Faridl, Pokok-Pokok Ajaran Islam. Bandung : Penerbit Pustaka, 2004. 178 halaman.

Mildred Meiers dan Jack Knapp, 5600 Jokes For All Occasions . New York : Avenel, 1980. 605 halaman.


kbk

Blink, Koruptor dan Sepakbola Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000)
Tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI)


Kita dan Tiga Piala Dunia. “Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara.”

Itulah kenangan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998. Tetapi di mana kini Indonesia dalam percaturan sepakbola Asia Tenggara ? Apalagi di Asia, dan tingkat dunia.

Sepakbola kita hanya mampu memiliki masa lalu dan seorang Eduardo Galeano, penulis-novelis Uruguay dalam buku bunga rampai indah tentang sepakbola, Football In Sun And Shadow (2003), mencatat nama Indonesia terkait penyelenggaraan Piala Dunia, tahun 1998, 1966 dan 1938.

Piala Dunia 1998 di Perancis dicatat Galeano berbarengan suasana dunia berkabung meninggalnya penyanyi Frank Sinatra. Dibayangi aksi mogok pekerja maskapai Air France, 32 tim tiba di stadion elegan Saint Denis untuk mengikuti piala dunia terakhir abad 20.

Perancis jadi juara dengan meremukkan tim favorit lainnya, Brasil, 3-0. Indonesia menjadi cerita latar belakang Piala Dunia 1998 bukan mengenai sepakbolanya. Tetapi tentang runtuhnya kediktatoran Soeharto yang digulung gerakan mahasiswa di bulan Mei 1998.

Indonesia disebut Eduardo Galeano lagi ketika Piala Dunia 1966 di Inggris. Peristiwa dunia terkait antara lain Che Guevara naik daun di Bolivia. The Beatles menguasai dunia. Enambelas tim ikut ambil bagian. Sepuluh tim Eropa, lima Amerika Latin, dan anehnya, Asia diwakili Korea Utara. Untuk pertama kali seluruh pertandingan disiarkan televisi, walau masih hitam-putih. Inggris meraih Piala Dunia setelah menaklukkan Jerman, 4-2. Portugal juara ketiga dan Uni Sovyet di tempat keempat.

Apa catatan tentang Indonesia ? Meletusnya peristiwa G 30 S/PKI. Terbunuhnya ratusan ribu warga Indonesia, sekaligus mengantar naiknya Soeharto sebagai penguasa Indonesia selama 32 tahun kemudian.

Piala Dunia 1938 oleh Galeano disebut sebagai kejuaraan Eropa. Hanya dua negara Amerika Latin ikut, dikeroyok sebelas negara Eropa. Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda hadir di Paris sebagai satu-satunya tim yang mewakili sisa negara di dunia lainnya.

Dalam pertandingan pertama di Reims, Indonesia ditekuk calon finalis Hungaria, 6-0. Itulah pengalaman pertama negara yang kini berpenduduk lebih dari 228 juta jiwa yang rata-rata gila sepakbola ini mencicipi terjun sebagai finalis dalam perhelatan akbar Piala Dunia.

Disekap budaya Jawa. Setelah hampir 70 tahun keterpurukan itu, mengapa sepakbola Indonesia tidak pernah mampu lagi berbicara di tingkat dunia ? Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, mengungkap analisisnya yang menarik.

Dalam artikel "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik untuk menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia sebagai akibat masih meruyaknya budaya kekerasan dan belum kokohnya budaya demokrasi di negeri ini.

Ditilik dari kajian budaya, Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.

Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh fihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.

Dengan landasan sikap interaksi tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepakbola menjadi problematis. Sebab sepakbola adalah konflik eksplisit, dimana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, membuat penghindaran jadi mustahil.

Apalagi ketegangan diperburuk fakta bahwa tindak penghinaan tersebut terjadi di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika dibawah tekanan semacam adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan.

Tesis itu dinilai parsial dan hipotetis. Karena argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan bagi kelompok etnis Indonesia lain, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepakbola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepakbola dengan budaya politik, sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.

Dalam budaya demokrasi, kalah atau menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi atau pertandingan. Tetapi di pentas sepakbola Indonesia, kerusuhan suporter masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan.

Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani ide semua kompetisi selalu melibatkan konflik, belum berurat dan berakar. Bahkan tingkah laku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepakbola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.


Sepakbola gajah. Salah satu yang paling melegenda adalah babak perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam. Peristiwa hitam terjadi ketika tim yang bertanding, Thailand dan Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas. Kedua tim justru berusaha mati-matian agar mereka memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya, agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semi-final.

Saat skor 2-2 pada masa perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi sukses besar, menembak ke arah gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia saat itu juga tidak berusaha menepis. Tetapi justru banyak pemain Thailand yang berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.

Aib paling mutakhir yang mencoreng wajah persepakbolaan nasional adalah terkuaknya kasus suap klub Penajam Medan Jaya kepada petinggi PSSI, yang jelas semakin menunjukkan betapa semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia.

Atau dalam pandangan psikolog Jo Rumeser (Kompas, 9/6/2007), kasus hitam itu terjadi karena dalam tubuh PSSI diisi orang-orang yang tidak tahu esensi olahraga sehingga memungkinkan munculnya kasus-kasus pengingkaran sportivitas seperti suap dan kolusi pengaturan skor.

Di tengah ancaman meruyaknya tindak kekerasan suporter kita dan lilitan budaya korupsi dalam tubuh organisasinya, bulan Juli 2007 ini timnas Indonesia terjun dalam Piala Asia 2007. Kita dapat bercermin tentang prestasi tim kita di kancah Asia, walau dua tahun lalu saya pernah menemukan cermin buram wajah sepakbola Indonesia dari buku keduanya Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005).

Buku itu saya beli usai mendukung timnas di leg 2 Final Piala Tiger 2004 di Singapura. Gladwell punya tesis, untuk menilai sesuatu keadaan secara akurat kita dapat melakukannya hanya dengan sekejap mata, dengan mengambil thin slice, irisan kecilnya.

Rasa ingin tahu saya, “Mengapa Singapura mampu menjadi juara Piala Tiger 2004, berprestasi tinggi dan Indonesia harus keok dan terpuruk lagi ?” Dalam penerbangan pulang, dengan mengambil tesisnya Gladwell saya memberikan jawaban :

Ho Peng Kee, presiden FAS/Football Association of Singapore adalah seorang profesor. Nurdin Halid, Ketua PSSI kita, seorang koruptor.

[Artikel ini dengan judul “Sepakbola : Cermin Korup dan Ambivalensi Kita” pernah dimuat di kolom Teroka-Humaniora, Harian Kompas, Sabtu, 8 September 2007. Dalam pemuatannya telah dilakukan penyuntingan].

Data buku rujukan :

Eduardo Galeano, Football in Sun and Shadow. London : Fourth Estate, 2003. 241 halaman. Buku ini hadiah tak terduga dari Andibachtiar Yusuf, sineas, 29 Maret 2006.

Freek Colombijn, “View from the Periphery : Football in Indonesia” dalam Gary Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities. London : Macmillan Press, 1999. 251 halaman. Artikel ini saya fotokopi 21 Maret 2002 di Perpustakaan British Council, Jakarta. Satu bulan kemudian saya memenangkan Honda The Power of Dreams Contest 2002, mengusung impian merubah budaya suporter sepakbola yang destruktif menjadi kelompok penampil dalam konser suporter sepakbola yang kolosal dan atraktif.

Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking. London : Penguin, 2005.277 halaman. Buku ini dipajang secara masif di papan peraga toko buku Borders, Orchard Road, Singapura, 18/1/2005. Saya sudah ngebet berat, tetapi “nanti dulu, ah.” Sasaran utama saya saat itu adalah mencari buku mengenai KM, manajemen ilmu pengetahuan.

Di Borders, tak ada. Di Kinokuniya, masih di Orchard Road juga, ada rak untuk topik KM. Tetapi buku terbitan Harvard yang saya cari, tak ada. Ketika mau boarding, buku Blink ini kembali melambai saya lagi di toko buku TimesNewsLink di Changi itu.

Saya sempat tergoda buku kumpulan lelucon mengenai David Beckham [“Anda tahu ciri-ciri komputer yang baru saja dipakai oleh Beckham ? Di monitor banyak bekas Tipp-Exnya”], akhirnya buku Blink ini terbeli juga. Juga majalah Fortune Vol. 151, No. 1, 24 Januari 2005 yang memajang laporan utama “10 Tech Trends To Watch in 2005,” di mana tren nomor satunya mengenai blog dan blogger.

kbk

Tuesday, September 01, 2009

Buku, Being Digital Sampai Surat Cinta Berabjad Rusia : Wawancara

Wawancara tertulis Bambang Haryanto oleh Redaktur Indonesia Buku, Diana AV Sasa, 21 Agustus 2009


Catatan : Media digital adalah media limpah ruah. Anasirnya yang terbuat dari sinyal-sinyal elektronik, tidak terbatas keberadaan maupun stoknya untuk mampu dieksploitasi setinggi imajinasi yang dapat dijangkau oleh manusia.

Suatu karunia, saya sebagai seorang epistoholik, mendapat kehormatan untuk menjadi subjek wawancara Redaktur Indonesia Buku, Diana AV Sasa. Hasil akhirnya berupa tulisan berjudul Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah. Tulisan yang komprehensif.

Sesuai dengan fitrah media digital dan berniat mengunggah limbah atau cipratan-cipratan warna yang tersisa dari tulisan di atas, dalam blog ini saya sajikan jawaban saya secara penuh dalam wawancara melalui email tersebut. Semoga bisa melengkapi lanskap yang telah ada (BH).

Informasi terkait :

  • Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah
  • Inilah 5 Buku Favorit Presiden Epistoholik Indonesia
  • Kaum Epistoholik Punya 5 Blog Tongkrongan
  • Virus Obama Menyebar di Puncak Brengos
  • Surat dari Presiden Rakyat Epistoholik



  • Pertanyaan : Sejak kapan senang menulis ? Jawab : Sejak SMP, sekitar tahun 1968. Saya mengirimkan lelucon ke majalah Kartika Chandrakirana, majalahnya ibu saya (Sukarni) sebagai istri TNI-AD.

    Lelucon saya dimuat, mendapatkan honor. Rp. 200,00. Bonusnya : tak jarang ibu saya mengungkap kembali lelucon yang saya tulis itu dalam pertemuan keluarga. Saya malu mendengarnya, tapi ya, senang juga.

    Sebelum momen itu, menulis surat dan menulis reportase pertandingan sepakbola. Surat itu surat cinta (monyet), berbahasa Indonesia tetapi abjadnya Rusia. Kebetulan ayah saya saat itu dengar-dengar mau dikirim belajar ke Rusia, ia belajar otodidak, dan saya ikut membaca-baca buku pelajarannya.

    Sementara yang reportase, sesudah menguping radio tetangga saat siaran pertandingan sepakbola, saya tergerak untuk menuliskannya. Walau untuk dibaca-baca sendiri. Isi majalah Ibu saya itu juga memicu saya untuk menulis cerpen, kisah tentara gerilya dan kekasihnya. Tapi tak selesai. Di SMP Negeri 1 Wonogiri, ketika puisi saya dipajang oleh guru saya di papan majalah dinding, itu momen yang menggetarkan saya.

    Biasanya menulis apa ? Macam-macam, sampai saat ini. Waktu SMP dan STM Negeri 2 Yogyakarta, saya menulis lelucon untuk majalah Aktuil dan Varia Nada. Waktu kuliah di IKIP Surakarta (saat itu)/UNS Sebelas Maret, pernah menulis artikel sosial di majalahnya ITB, Scientiae. Pernah menjadi wartawan lepas, menulis tentang musik dan teater di Solo. Juga mengirim berita budaya ke Kompas sampai menulis cerpen ke Sinar Harapan dan majalah Gadis.

    Saat ini, saya pernah menulis di kolom Teroka-nya Kompas tiga kali : dua bertopik komedi dan satunya, sepakbola. Topik terakhir ini juga pernah saya tulis di Tabloid BOLA. Topik media sosial di Internet dan terorisme, baru saja muncul di harian Solopos, Solo. Dua buku kumpulan lelucon, terbit tahun 1987. Tentu saja, sejak 1973, terus saja menulis surat-surat pembaca.

    Apa fungsi/manfaat menulis buat Anda ? Dengan menulis, kita mengekpresikan gagasan dan jati diri. Episto ergo sum. Saya menulis (surat pembaca) karena saya ada. Manfaat menulis adalah membuat karunia Allah yang paling demokratis dan ada di antara kedua kuping kita itu berfungsi baik, syukur bila berfungsi sebaik-baiknya.

    Menulis juga bermanfaat bagi kesehatan. Dengan menulis, saat kita berderma pengetahuan, justru akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan bertambah banyak ketika kita membagikannya.

    Tahun 1999 ketika saya menjadi finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I)-nya Indosat di Jakarta, saya ingat wejangan mantan Hakim Agung Bismar Siregar. Beliau bilang, mengutip Al Quran, bahwa setetes tinta dari penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tercurah dari para syuhada. Sayang, sampai saat ini saya belum memperoleh rujukan dari ayat mana dari Al Quran yang meneguhkan pernyataan menggetarkan dari beliau itu.

    Mengapa memilih menulis surat pembaca ? Topiknya mutakhir. Bisa segera “diledakkan” dan bahkan segera pula melihat hasil atau dampaknya. Tahun 1973, ketika melihat sederetan pohon palem muda tak terurus, kering dan merana di Alun-Alun Utara Solo. Hal itu saya tulis di Suara Merdeka. Setelah dimuat, tanaman itu nampak disirami dan terawat. Momen ini yang menuntun diri saya menjadi seorang epistoholik, pencandu penulisan surat-surat pembaca. Sampai kini.

    Seberapa sering menulis surat pembaca ? Tergantung topik dan suasana hati. Saya pernah menulis surat pembaca, sekali kirim 8 surat pembaca. Ini taktik agar ngirit, karena koran bersangkutan saat itu masih gaptek, tidak mau menerima surat pembaca via email. Untuk yang mau menerima kiriman surat pembaca via email, biasanya saya kirim 3 surat sekali kirim.

    Dikirim ke mana saja ? Ketika saya tinggal dan berkuliah di UI, Jakarta, saya kirimkan ke The Jakarta Post, Kompas, Pelita, Jayakarta, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Karya, beragam tabloid dan juga beragam majalah berita plus majalah hiburan.

    Saat tinggal di Wonogiri sekarang ini, saya mengirimkannya ke Kompas Jawa Tengah. Kadang ke Kompas Jawa Timur. Ada koran di Jawa Tengah yang sepertinya memboikot surat-surat pembaca saya, jadi saya kini tak mengirimkan ke sana. Tak apa-apa. Toh saya kini mengelola beberapa blog dengan topik beragam. Jadi energi menulis surat pembaca ke koran itu, tetap tersalurkan melalui blog-blog saya.

    Dimana kepuasannya ? Seperti kata Presiden AS ke-15, James Buchanan, yang bilang “Saya suka gaduhnya demokrasi,” maka surat pembaca saya itu berusaha ikut meramaikan karnaval kegaduhan demokrasi di Indonesia kita. Dengan cara yang elegan, melalui tulisan. Adu otak, bukan adu otot.

    Menulis surat pembaca itu, bagi saya, seperti tetesan air di permukaan batu. Kalau terus saja menetes, permukaan batu itu kelak akan menjadi berlubang, tak terasa. Dalam bahasa pemasaran, menulis surat pembaca itu merupakan strategi personal branding, menancapkan merek diri kita sendiri. Dengan frekuensi pemuatan yang bisa lebih sering dibanding pemuatan opini, aksi berderma ilmu yang dilakukan dengan cinta itu akan membuahkan sesuatu umpan balik yang tak terkirakan di masa depan.

    Topik apa saja yang ditulis di surat pembaca ? Saya penulis surat pembaca kelas omnivora, pemamah segala hal. Kebetulan saya dididik di perguruan tinggi yang khusus mengkaji seluk-beluk informasi, membuat diri saya mampu sebagai a hound dog (bisa juga : hound docs) yang terlatih dalam memburu dan menemukan informasi. Dengan keterampilan ini saya menjadi terbantu untuk mampu menulis surat pembaca segala topik.

    Apa bedanya menulis di surat pembaca dan kolom opini ? Menulis surat pembaca adalah menulis ledakan. Harus pendek, menggigit dan pesannya segera sampai. Sementara menulis opini membutuhkan renungan yang lebih panjang, disiplin berpikir yang lebih ketat dan teratur. Lebih sering ditolak, kadang alasannya bikin jengkel dan menyiutkan nyali untuk menulis lagi. Keduanya pernah dan terus saya jalani sampai kini.

    Apa cita-cita tertinggi mengenai surat pembaca ? Sebagai pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya ingin setiap orang itu menjadi penulis surat pembaca yang merangkap sebagai blogger juga. Fenomena ini ideal dan bagus bagi demokrasi.

    “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan dengan mudah.” Demikian bunyi Hukum Linus, yang diambil dari nama Linus Torvald, penemu piranti lunak open source Linux yang fenomenal. Ia sengaja membuka kode peranti lunaknya itu kepada masyarakat luas sehingga dapat segera ditemukan kutu-kutunya, yaitu cacat, kekurangan, dan kemudian upaya ramai-ramai memperbaikinya.

    Bila semua warga menjadi pelaku jurnalisme warga, mekanisme check and balances dalam kehidupan bernegara, menjadi berjalan. Asal anomali parah seperti kasus yang menimpa Prita Mulyasari dan Khoe Seng Seng dkk. itu tidak terjadi lagi, di mana mereka yang menemukan “kutu-kutu” ketidakadilan dan kecurangan justru terancam ditendang masuk penjara.


    Suka baca buku ? Buku apa yang disuka ? Sebutkan judul dan penulisnya bila ingat. Ya. Saat ini saya suka buku-buku mengenai teknologi informasi (TI). Salah satu buku TI yang inspiratif adalah Being Digital (1995), karya Nicholas Negroponte. John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, NetGain (1997), The Tipping Point (2000) karya Malcolm Gladwell, sampai Unleashing The IdeaVirus (2001) karya Seth Godin.

    Sejak kapan suka baca buku ? Saat klas 4-5 SD, tahun 1963-1964, di SD Negeri Wonogiri 3, Wonogiri.

    Buku-buku apa yang dibaca semasa dulu itu ? Komik semisal cerita Baratayudha dan Siti (Wonder Woman) Gahara. Serial Nogososro-Sabuk Inten, yang paling berkesan, karena selain cerita yang menarik, dan proses pembeliannya melibatkan hubungan unik ayah dan anak.

    Ayah saya bertugas di Yogya, setiap Sabtu pulang ke Wonogiri. Kalau ada buku yang ingin saya baca, saya tulis di carik kertas data bukunya, lalu diam-diam saya masukkan ke kantong baju beliau. Minggu depan, saya berharap memperoleh bacaan baru, ketika ayah saya pulang. Saya mengikat cinta dan hormat saya terhadap ayah saya (Kastanto Hendrowiharso) melalui buku dan buku.

    Siapa yang mengenalkan pada membaca ? Sebelum SD, di rumah nenek saya di Kedunggudel, Sukoharjo, ada Pak Lurah mengajak saya untuk melihat papan peraga yang digunakan para tuna aksara, warga buta huruf, untuk belajar membaca.

    Di rumah nenek ini ada tumpukan buku dan majalah Sosiawan (Depsos) dan Penyebar Semangat milik Pakde (Sutono) yang seorang guru. Bacaan itu yang membuat kunjungan ke rumah nenek itu sebagai kegiatan favorit. Ayah saya juga suka mendongeng, dan di rumah kebetulan ada juga koran tetapi tidak ada bacaan.

    Apa makna membaca bagi Anda ? Membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Saya ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), yang bilang agar kita selalu memperbarui diri sendiri.”Leave school early, if you want, but never stop learning,” tegasnya.

    Sekarang seberapa sering membaca ? Setiap hari, walau yang saya baca itu bukan melulu buku. Informasi hasil unduhan dari Internet kini semakin mendominasi asupan informasi bagi saya.

    Apakah membaca membantu Anda dalam menulis ? Pasti. Menulis dan membaca itu, bagi saya, seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, saya seperti melakukan aksi donor darah. Darah saya disedot secukupnya, syukur-syukur kalau bisa secara teratur. Kemudian saat saya membaca, seolah saya memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh saya.

    Lima buku favorit ? Seperti saya sebut sebelumnya, antara lain Being Digital (1995) karya Nicholas Negroponte, John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, NetGain (1997), The Tipping Point (2000) karya Malcolm Gladwell, sampai Unleashing The IdeaVirus (2001) karya Seth Godin, sampai The Long Tail (2006)-nya Chris Anderson.

    Diantara 5 buku itu mana yang paling menjadi titik kisar dalam hidup? Ceritakan singkat. Being Digital (1995) dari Nicholas Negroponte. Bagi saya, inilah buku TI yang mampu membuat saya menitikkan air mata, sekaligus bangga untuk selalu dan berulang kali menceritakannya.

    Dalam satu artikel di majalah Forbes, Negroponte yang pelopor gerakan One Laptop For Child itu, mengatakan bahwa Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 Skala Richter yang mengguncang-guncang sendi-sendi peradaban manusia.

    Buku ini mengantar saya, selain berpikir secara analog, juga membuka cakrawala yang lebih luas dan menantang dalam mencari dan menemukan solusi segala macam masalah dengan cara-cara budaya digital. Kasus Prita itu kasus digital, tetapi solusinya secara analog oleh fihak RS Omni.

    Akibatnya, yang mungkin tidak mereka rasakan, tindakan mempidanakan Prita itu membuat citra dirinya (RS Omni itu) justru hancur lebur dalam ingatan abadi masyarakat yang terekam dalam kenangan digital kita bersama, yang tak bisa terhapuskan selamanya.

    Buku ini membuat saya menangis karena memberi ilham dari sikap optimistis Negroponte bahwa gaya hidup digital akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.

    Yang mampu memberikan kebahagiaan puncak, bukanlah karena buku saya ini menjadi best-seller di mana-mana, tetapi ribuan email yang saya terima dalam tahun-tahun terakhir ini. Para orang tua mengucapkan terima kasih kepada saya ketika menjelaskan apa yang dikerjakan oleh anak-anak mereka kini dan mungkin yang akan datang.

    Para kaum muda mengucapkan terima kasih karena tertular antusias saya. Tetapi kepuasan nyata dan ukuran keberhasilan yang paling bermakna adalah ibu saya yang berumur 79 tahun, sekarang ini mengirimi email kepada saya setiap harinya.

    Alinea terakhir dari buku Being Digital ini yang mampu membuat saya menangis. Sekaligus bangga untuk selalu saja ingin menceritakannya.


    Wonogiri, 21/8/2009

    beha