Friday, August 31, 2012

Calvin dan Hobbes : Dari Illinois Ke Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Kadangkala saya berfikir bahwa tanda-tanda paling jelas tentang keberadaan makhluk cerdas di jagat raya ini adalah karena tidak ada dari mereka yang mencoba mengontak kita.” 

 “Setelah membaca-baca status di Facebook dan twit di Twitter makhluk cerdas luar angkasa membatalkan niatnya menyerang bumi.” 

Ucapan pertama itu dari kartunis Bill Watterson melalui karya komik stripnya Calvin dan Hobbes, dan ucapan kedua dari komedian Andy Borowitz yang kini mengisi kolom tetapnya di majalah The New Yorker

Bagi saya, keduanya lucu sekali. 

Dua cerita itu muncul ketika hari ini saya mendapat kiriman buku unik. Yaitu buku kumpulan komik strip karya Bill Watterson itu, Something Under The Bed Is Drooling (1988) dan flexible magnet dari majalah The New Yorker dengan kartun bergambar dua ekor anjing lagi mengobrol, dengan teks : “On the Internet, nobody knows you’re a dog.” 

Pengirimnya mBak Tinuk Yampolsky, penulis novel Candik Ala 1965 (2011). Jauh-jauh mudik dari Illinois, AS, ke Solo dan saya kebagian paket oleh-oleh hadiah yang berkesan ini. 

“Matur nuwun, mBak Tinuk.” 

Juga matur nuwun untuk mBak Listyawati Sulistyo yang jadi petugas ekspedisi :-) hingga si bocah Calvin dan macan Hobbes itu bisa ngeluyur bertualang sampai Wonogiri.

Wednesday, July 04, 2012

Buku-Buku Yang Membentuk Amerika

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Di Perpustakaan LIA Jakarta Timur.
Atau Perpustakaan Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Wisma Metropolitan 2 Jakarta.

Di tahun 1990-an saya menemukan buku karya Randy Shilts, And the Band Played On (1987), di antara rak-rak buku salah satu dari kedua perpustakaan tersebut.

Saya belum pernah meminjamnya. Tetapi saya ingat judulnya, sampai saya ketemu lagi dengan buku tersebut ketika dibahas oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000).

Bukunya Gladwell ini ketika membahas tiga kaidah epidemi, ia menyebut salah satu contoh dari cerita bukunya Randy Shilts itu. Tentang seorang pramugara sebuah maskapai penerbangan Prancis-Kanada, bernama Gaetan Dugas, yang mengaku telah berkencan dengan 2500 orang di seluruh Amerika Utara. Ia disebutkan terkait dengan setidaknya 40 kasus AIDS di California dan New York.

Tulis Gladwell, “Epidemi ini juga digerakan oleh upaya atau ulah segelintir orang saja. Dalam kasus ini, bukan selera seksual yang membuat orang-orang ini berbeda. Kelebihan mereka adalah dalam hal cara bergaul, semangat hidup, dan ketrampilan dalam memengaruhi orang lain.”

Bukunya Randy Shilts itu saya pergoki lagi, hari ini. Melalui twitnya pakar jurnalisme warga, Dan Gillmor (saya menjadi pengikut dirinya di : @dangillmor) , saya dirujuk untuk mengetahui betapa buku itu oleh Library of Congress didaulat sebagai satu dari 50 buku yang membentuk Amerika Serikat.

Silakan Anda cek disini.

Apakah ada buku yang pernah Anda baca juga ikut masuk dalam daftar tersebut ? Apa kira-kira isi daftar buku yang bermisi serupa untuk bangsa kita Indonesia ?

Wonogiri, 5/7/2012

Tuesday, May 29, 2012

Diktator Modern, Buku Dobson dan Nasib Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



@bambangharyanto 
Thanks for your note. 
The book is on today's modern regimes... 
Suharto was their teacher. 
^WJD 
@DictatorBook 
May 29, 12:11 AM 

Anda kenal William J. Dobson ?
Saya tidak mengenal dia.

Gara-gara membaca resensi di situs Bloomberg Business Week (17/5/2012) tentang bukunya yang akan terbit awal Juni 2012 ini, saya bisa “kenalan” dengannya lewat Twitter. Ia editor politik dan luar negeri dari situs Slate yang ternama.

Buku Pak WJD itu berjudul The Dictator’s Learning Curve: Inside the Global Battle for Democracy (Doubleday, 2012). 352 halaman. Isi intinya mengupas taktik-taktik licik para diktator era moderen dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam resensi itu termuat pendapat para diktator modern memahami bahwa lebih baik mereka tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum daripada secara terang-terangan melakukan pencurian terhadapnya.

Petikan resensi yang ditulis Joshua Kurlantzick, ahli kajian Asia Tenggara dari Council on Foreign Relations, antara lain :

“…tatkala gerakan protes demokrasi saling belajar satu sama lain, rejim otoriter juga melakukan adaptasi dan membangun jenis kediktatoran yang unik pada Abad 21 ini. Rejim-rejim otokrat seperti Vladimir Putin, Hugo Chavez dan Hu Jintao mengkooptasi bentuk-bentuk demokrasi, seperti pemilu, organisasi NGO, Internet dan media sosial yang nampak bebas, tetapi mereka manfaatkan itu semua dalam proses menegakkan otoritasnya.

Wajah demokrasi ia pampangkan ke muka dunia, bahkan juga kepada rakyatnya sendiri, sembari terus mendominasi kekuasaan tanpa tindak-tindak kekerasan gaya lama model Muammar Qadaffi atau Joseph Stalin.”

Bangsa Indonesia, mari kita bercermin. Kemenangan kelompok radikal terkait kasus konser Lady Gaga apa punya kaitan dengan tesisnya William Dobson itu ?

Juga dalam konteks Pemilu dan Pilpres 2009 di Indonesia, apakah Anda masih ingat kehebohan terkait kekisruhan data daftar pemilih, sampai merebaknya kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati yang dikaitkan dengan tuduhan manipulasi 18 juta suara di Pemilu dalam ocehan Nazaruddin saat dalam pelariannya di Kolombia ?

***  

Sang guru. Ketika membaca-baca resensi itu, saya agak heran : mengapa Soeharto tidak ia sebut-sebut ? Untuk mencari tahu, segera saya mendaftarkan diri menjadi pengikut Pak Dobson dalam akun Twitternya. Sungguh aneh, ia malah gantian menjadi pengikut saya :-).

Kemudian saya tanyakan via Twitter mengapa Soeharto nampak tidak ia sebut-sebut dalam bukunya yang bersampul merah dan bergambar tangan hitam memegang tiga pucuk bunga putih.

Jawaban Pak Dobson seperti tersaji di awal tulisan ini :  

Suharto was their teacher.
Suharto adalah guru mereka.

Bukankah dia enam kali terus-menerus memenangkan pemilu ?
Bukankah ia termasuk gurunya presiden kita yang kini berkuasa ?

Para pejuang demokrasi, rupanya Anda bakal tidak punya kesempatan untuk sejenak beristirahat – hingga saat ini. Dan nanti.


Wonogiri, 29 Mei 2012

Saturday, April 28, 2012

Anez, Perpustakaan Pribadi dan Kenangannya


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

D.A.R.Y.L.
Sebuah film fiksi ilmiah tentang robot yang ingin menjadi manusia.

Atau White Nights, film berlatar belakang kelompok balet Rusia, dibintangi Mikhail Nikolaevitch Baryshnikov (sekaligus kisah nyata dirinya) yang ingin membelot ke AS.

Sementara itu penari tap dance kulit hitam AS yang muak terhadap ketidakadilan sistem kapitalis AS justru ingin membelot ke Rusia.

Kita pernah berbagi cerita tentang hal itu,Anez. Juga tentang Uri Geller, si pembengkok sendok. Tentang carbon dating, karena kau kuliah di Arkeologi UI.

Atau sama-sama mendengar cerita Bapak Taufik tentang masakan khas Senegal di meja makan rumah Cilandak. Berempat bersama Ibu Bintari. Sambil menowel sambal dari cobek batu.

Saat itu saya sudah mempromosikan cabuk, makanan khas Wonogiri. Tetapi bahasa terlalu terbatas untuk menggambarkannya secara utuh, baik wujud atau pun rasanya.

Itu tahun 1986.

Tahun 2011, di rumah yang sama, saya bisa menemui Bapak lagi. Berjam-jam berbagi obrolan. Juga sempat melihat-lihat koleksi buku-buku perpustakaan pribadimu dengan subjek yang luas.

Dari teknik pilate, rumus Mars dan Venus-nya John Gray, karya Ken Blanchard sampai The Essential Koran-nya Thomas Cleary. Hanya saja kini, tak ada lagi ibu, juga tak ada dirimu.

Widhiana Laneza Taufik.
Brussels, 28 April 1963.
Bali, 20 Desember 2005.

Di ulang tahunmu hari ini, 28 April, terlantun doa :
semoga kau kini sejahtera disisiNya.


Wonogiri, 28/4/2012

Monday, April 02, 2012

Kindle, iPad versus Buku Masa Depan

Perangkat atau gadget untuk membaca buku
seperti Kindle-nya Amazon atau iPad-nya Apple,
ternyata bukan sarana yang sempurna.

Pembaca mudah capek ketika harus memelototi layar,
bikin pedih di mata,membutuhkan kacamata khusus,
dan kerumitan lainnya.

Kartunis Grant Snider di surat kabar terkenal
The New York Times (30/3/2012)
telah menerawang hadirnya buku masa depan.

Selamat mencicipi buku masa depan !

Wonogiri, 3/4/2012

Saturday, March 17, 2012

Kala 1965 : Kala Batara Kala Mencaplok Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Membaca novel Candik Ala 1965-nya Tinuk Yampolsky membuat saya ekstra sibuk :-).

Karena merasa pernah tinggal di satu kampung yang sama, di Baluwarti Solo, dan juga kenal penulisnya, saat baca selalu timbul godaan untuk menerka-nerka.

Misalnya, rumah "Eyang Behi" yang mana ya ? Jangan-jangan ini halaman rumah Eyang Laks yang aku tinggali di Tamtaman yang berhalaman luas.

Lalu rumah yang kemudian ditinggali keluarga Arab, apa yang di Mloyosuman itu ya ? Lalu ada sosok "Si Gagap" yang juga sering kluyuran di Sanggar, yang hingga kini lenyap tak berbekas menjelang 1998, plus rada bingung ada tokoh "Bu Darmi" dan "Bu Darmini."

Buku indah untuk kembali ke tahun 1970-an.
Tetapi juga kental horor yang sulit dihapus setelah digores rejim kejam dengan peluru, bayonet,amuk massa, kegilaan, yang membuat aliran Bengawan Solo bercampur darah, di tahun 1965-an. Juga Indonesia yang ditelan Batara Kala.

Mungkin hingga kini juga.

Buku ini saya terima dari penulisnya sendiri, yang ia kirimkan dari Illinois,AS, 26 Januari 2012. Tinuk Yampolsky menulis pesan : "Buat Mas Hery, teman lama dari era Kamandungan. Salam hangat, Tinuk, Jan 14,2012."

Silakan intip resensinya di:

Candik Ala 1965: Trauma Sepanjang Riwayat

Kisah Candik Ala 1965 Dari Tinuk Yampolsky

Wonogiri, 18/3/2012

Friday, February 17, 2012

Tika Bisono, KM dan Intellectual Capital

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Jangan lupa, Mas Bambang.
Knowledge Management.”

Demikian tutur Tika Bisono (foto) malam itu, ketika menyalami diri saya. Lokasi : Flores Room, Hotel Borobudur, Kamis malam, 26 November 2004. Acara Malam Penganugerahan Pemenang Kontes Mandom Resolution Award 2004.

Psikolog, entertainer sekaligus salah satu juri dari Mandom Resolution Award (MRA) 2004 tersebut telah pula menyumbang lagu “Killing Me Softly With His Song”-nya Roberta Flack, yang menghangatkan acara sebelum diumumkan siapa-siapa para pemenang MRA 2004 malam itu. Diri saya adalah salah satunya.

Knowledge Management (KM) adalah kosakata yang terlontar spontan dari Tika Bisono, di ruang presentasi, ketika penjurian sedang berlangsung.

Ia mengomentari resolusi yang saya ajukan, dimana sebagai penggagas komunitas kaum epistoholik atau para penulis surat pembaca, saya bercita-cita menghimpun pengetahuan warga komunitas Epistoholik Indonesia dalam situs-situs blog di Internet. Tujuannya, agar pengetahuan itu dapat dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat, bahkan mendunia.

“Ini ilmu baru, Mas Bambang. Nanti di luar, kita bisa bicara hal ini lebih banyak”, imbuh Tika saat itu.

Ilmu baru ?

Jadi di MRA 2004 ini saya sukses “menemukan” ilmu baru ? Resolusi saya tersebut sebenarnya merupakan variasi lain dari kiprah perpustakaan. Yaitu menghimpun informasi, mengorganisasikan dan kemudian menyebarkannya. Yang mungkin membedakan, KM memperoleh sarana bantu secara masif teknologi informasi dan aplikasinya cenderung pada lingkup perusahaan.

Ahli itu kita sendiri. Yang pasti, setahu saya, KM memiliki aneka wajah. Thomas A. Stewart, wartawan senior majalah bisnis Fortune, penulis buku Intellectual Capital : The New Wealth of Organization (DoubleDay, 1997) dan salah satu pionir kajian KM, punya cerita menarik yang dimuat di majalah bisnis Fortune, 29/9/1997.

Ia telah menceritakan bagaimana cara raksasa pabrik traktor Deere & Co. mendayagunakan keahlian para karyawannya. Dengan langkah awal, melakukan inventarisasi.

Kalau direktori atau buku daftar alamat sesuatu perusahaan yang biasa hanya berisi data karyawan berdasar peringkatnya dalam struktur organisasi, maka direktori yang sudah terkomputerisasi di Deere ini agak lain. Dengan sebutan “People Who Know”, sistem ini mampu menjawab pertanyaan tentang keahlian tertentu yang dimiliki para karyawan yang dibutuhkan untuk menemukan solusi atau menjalankan sesuatu proyek pekerjaan.

Jadi kalau di jaman awal industrialisasi ada masalah dalam pabrik telah membuat begawan manajemen masa lalu Frederick Winslow Taylor bersabda, “biarlah para ahli yang membereskannya”, maka rumus solusi di jaman sekarang adalah, “para ahli itu sudah tersedia, mereka adalah kita-kita !”

Ada cerita menarik lainnya tentang KM. Ketika tim pengembangan mobil baru pada Ford Motor Company ingin mempelajari mengapa kerja tim pengembang mobil model Taurus meraih sukses di pasaran, mereka mengalami jalan buntu. Tak ada orang yang mampu memberitahu mereka. Tak ada yang ingat dan tak ada pula yang mencatat kerja sukses tim tersebut.

Akibatnya fatal : pengetahuan yang diperoleh Ford Motor Company selama mengerjakan proyek Taurus telah hilang selamanya.

Kejadian ini membuka mata bahwa aset terpenting suatu perusahaan yang paling sukar difahami dan paling sulit dikelola adalah pengetahuan. Belajar bagaimana mengidentifikasi, mengelola dan menumbuhsuburkan pengetahuan merupakan kiprah vital sesuatu perusahaan yang berniat memenangkan kompetisi dalam ekonomi global yang bergerak cepat dewasa ini.

Meremajakan ular. Meneladani kiprah pabrik traktor Deere & Co. itu, hal serupa selayaknya juga bisa diaplikasikan pada beragam perpustakaan di Indonesia. Para pustakawan kita, baik dengan melakukan self-assessment secara mandiri atau melalui bantuan kalangan psikolog, untuk mampu melakukan ekstraksi atas beragam kemampuan diri mereka yang selama ini tersembunyi. Juga terhadap klien-klien perpustakaan mereka.

Sudah saatnya keterampilan tradisional yang lajim dimiliki seorang pustakawan kini harus diperkaya dengan beragam daftar kecenderungan, minat atau hobi mereka, yang dapat disinergikan dengan minat-minat yang terdapat dalam klien mereka. Interaksi ini akan semakin menghangatkan hubungan antara pustakawan dengan klien yang selama ini hanya dijalin dalam hubungan transaksi yang dingin dan fungsional, yang jauh dari sentuhan-sentuhan pribadi dan emosi.

Dalam konteks yang lebih sempit, inilah salah satu alasan mengapa saya usulkan agar perpustakaan (umum) buka di hari Minggu. Kalau hari-hari kerja biasa, teorinya, hanya berlangsung kontak dengan klien secara fungsional, maka di hari Minggu para pustakawan dapat berinteraksi dengan mereka sebagai seorang pribadi yang memiliki sesuatu wawasan sampai keterampilan, di luar keterampilan tradisionalnya, untuk meng-engage klien perpustakaan dalam kegiatan bersama yang bermanfaat bagi semua fihak.

Ibaratnya dalam bahasa ular, setiap hari Minggu itu pustakawan dapat berganti kulit mereka. Mudah-mudahan Anda juga tahu bahwa ular yang berganti kulit adalah ular yang sedang melakukan peremajaan bagi dirinya sendiri.

Masa sih, anjuran agar pustakawan selalu bisa awet muda akan Anda tolak ?


Wonogiri, 17 Februari 2012

Sunday, January 15, 2012

Fire Up, Endorphins dan Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Candu pena. "Keuntungan apa yang sudah diterima dari kegemaran menulis surat-surat pembaca ?"

Itulah salah satu dari sebelas butir pertanyaan yang diajukan oleh A. Bimo Wijoseno, reporter majalah Intisari, yang dikirimkan melalui e-mail, April 2004 yang lalu.

Saya jawab, bahwa seperti halnya hobi lainnya, the reward is in the doing.

Pahala, berkah atau keuntungan itu kita nikmati ketika kita mengerjakannya. Yaitu ketika menulis surat-surat pembaca itu pula.

Menyelesaikan sebuah surat pembaca nikmatnya setara saat kita usai berolah raga. Yaitu ketika otak kecil kita mengeluarkan endorphins atau encephalins (morfin alamiah, pain-relieving substances yang dikeluarkan oleh otak) yang memberikan rasa nikmat, segar, sejahtera dan diimbuhi perasaan berguna bagi orang lain (pembaca).

Tak mudah lupa. Terlebih lagi, aktivitas menulis itu juga punya berkah otomatis lainnya : ilmu atau pengetahuan yang baru kita tuliskan itu segera semakin melekat untuk menjadi milik pribadi kita. Pengetahuan itu lebih dalam membekas pada memori kita, dibanding bila kita hanya membacanya.

Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E – U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda – Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat : gunakan segera pengetahuan baru Anda itu agar tidak mudah lupa.

Gunakan pula info yang sama melalui cara yang berbeda-beda.

Sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.

Apalagi bila tulisan kita itu bisa dimuat, dipublikasikan, muncul kenikmatan ekstra lainnya. Semua itu, terentang dari aktivitas membaca, menulis dan menikmati publikasi, ibaratnya berpadu menjadi candu yang teramat mengasyikkan.

Bukankah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), telah berujar bahwa : for those who have tasted the profound activity of writing, reading is no more than a secondary pleasure ?


Wonogiri, 16/1/2012

Wednesday, January 04, 2012

Marshall McLuhan, Murtidjono dan Mandungan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Cerita lucu dari Marshall McLuhan tidak berlaku di Taman Budaya Surakarta siang itu.

Cerita tersebut bersumber dari buku terkenalnya Understanding Media : The Extensions of Man (1965).

Buku ini saya beli dari Toko Buku Gramedia Gajah Mada Jakarta, 25 Mei 1977. Via pos dari Mandungan. Hasil honor menulis di koran Merdeka, Minggu, Februari 1977.

Nabi media asal Kanada ini pernah cerita tentang suku buta huruf asal Afrika ketika ramai-ramai menonton film.

Karena memahami cerita dalam film dibutuhkan keterampilan literasi yang tinggi, film bagi suku Afrika film menjadi tontonan yang membingungkan mereka. Adegan lucu pun terjadi.

Ketika ada tokoh yang kena tonjok dalam sesuatu adegan, lalu menghilang dari layar, muncul kehebohan. Para penonton asal benua hitam itu akan ramai-ramai berlarian ke belakang layar. Mereka ingin mengetahui nasib aktor tersebut.

“Menyaksikan filmnya Charlie Chaplin, The Tramp, penonton film Afrika menyimpulkan bahwa orang-orang Eropa itu tukang sihir hebat. Karena mereka mampu menghidupkan mahkluk-makhluk yang telah meninggal dunia,” demikian cerita McLuhan.

Film tentang seseorang yang telah meninggal juga ditayangkan di siang teduh, Rabu, 4 Januari 2012, di Taman Budaya Surakarta, Solo. Taman ini kemudian bernama Taman Budaya Jawa Tengah.

Saya ikut menonton adegan yang tersaji. Sayangnya dalam layar yang pucat, karena lumens proyektornya tidak mampu menyaingi sinar matahari pendopo besar tersebut.

Mandi di Sasonomulyo. Seseorang yang meninggal itu bernama lengkap Drs. Martinus Joseph Murtidjono (61). Nama gelarnya dari Kraton Surakarta : Kanjeng Raden Tumenggung Sudjonopuro. Tahun 1975-1980, di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya mengenalnya sebagai Eyang Murti.

“Murti baru belakangan gabung di Mandungan,” tutur Sudarto (76), pegawai Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo era 70-an yang kini masih bekerja di ISI Surakarta. Saat itu pria kurus asal Mangkubumen Solo tersebut, yang memiliki kulit kehitaman yang terkenal dengan ciri syal yang selalu melingkari lehernya, menjelang lulus kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.

“Kalau Murti datang dari Yogya,” lanjut Mas Darto, “pasti nginepnya juga di Mandungan. Kalau pagi, bawa ciduk isi sabun, sikat gigi dan odol, untuk menumpang mandi di Sasonomulyo.” Di Mandungan, yang saya ingat, ia sering membawa mesin tulis. Flute. Memainkan gitar, nomornya Villa Lobos. Naiknya Yamaha bebek hijau.

Ia juga memberi saya bacaan menarik. Himpunan guntingan cerita bersambung dari harian Kompas yang dilanggan oleh ayahnya, tokoh Tentara Pelajar (TP) yang terkenal di Solo : Mardeyo Jungkung.

Antara lain cerita thriller, saya lupa judulnya, tentang agen rahasia Perancis yang berusaha membongkar kudeta merangkak yang dilakukan justru oleh presiden Perancis yang ingin menjadi satelit Uni Sovyet di masa perang dingin. Juga cerita berjudul Salamander yang menegangkan.

Minatnya terhadap thriller kiranya yang juga membuat Murtidjono tak jarang berbagi cerita dengan saya. Ia suka sinis atau getol melucukan cerita-cerita perjuangan fisik tokoh-tokoh seangkatan ayahnya saat mereka berperang melawan Belanda. Utamanya untuk cerita-cerita yang menurutnya fiktif, rekaan atau yang bombastis.

Ketika mengintip sebagian buku yang ia bawa ke Mandungan, antara lain saya menemui nama Søren Kierkegaard sampai Teilhard de Chardin. Sebagai mahasiswa Fakutas Keguruan Teknik (FKT) Jurusan Mesin UNS, yang terbius ikut berkesenian di Mandungan, saya tidak ngeh atas nama-nama itu. Bahkan sampai kini.

Tetapi pertarungan intelektual antara kita, yang menarik dan bikin kecanduan sehingga berlangsung hampir tiap malam, adalah saat kami bertanding main scrabble. Benar-benar malam demi malam Mandungan sering sama-sama kita habiskan.

Kompetitornya bukan main-main. Ada Profesor HB Sutopo (almarhum), Conny Suprapto, Marsudi, Broto Dompu (Ekonomi UGM), juga Narsen Afatara yang kandidat doktor dan dosen Seni Rupa UNS. Saat ketemuan di Taman Budaya Surakarta tadi Cak Narsen mengaku sambil tertawa : “Saya dulu bagian yang kalahan.”

Saya kena marah. Sekadar kilas balik, satu-satunya action dia yang rada “nylekit” pada saya adalah saat saya ia pinjami ensiklopedia.Lalu saya baca sambil tiduran. Tentu saja, saat tidur halaman dalam ensiklopedia itu kemudian saya tutupkan ke muka saya.

Saya lalu rada dimarahi olehnya. Karena menurutnya kertas ensiklopedia itu akan terkotori dan rusak oleh keringat jidat saya. Betul juga. Mungkin justru karena teguran itulah, saya dapat hikmah. Pada tahun 1980 kami berpisah. Saya malah melanjutkan kuliah di Jakarta yang mata kuliah intinya tentang teknik dan organisasi bahan pustaka (termasuk buku, juga ensiklopedia), di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fak. Sastra Universitas Indonesia.

Bisa ketemu lagi dengan Eyang Murti, tanggal 9 Desember 1982, di Pemakaman Kajen, Wonogiri.Tidak saya duga, dirinya bersama Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono dan Wahyu Sukirno, ikut melayat saat ayah saya Kastanto Hendrowiharso (54) meninggal dunia.

Saat saya tinggal di Jakarta, beberapa kali kami bertukar surat dan kartupos. Ketika dirinya diangkat sebagai Kepala TBS dan saat ayahnya meninggal dunia. Murtidjono pernah pula mampir ke kos saya di Rawamangun, sekitar tahun 1982. Saat itu saya menjual buklet tipis berisi artikel Harold Rosenberg, berjudul "Apa itu seni ?." Murti nampak agak kecewa, karena mungkin ia mengharapkan buku yang tebal. Sementara buklet itu hanya belasan halaman saja.

Di tahun 2007, saat membaca-baca koran Solopos yang mewartakan bahwa Pak Topo dan Eyang Murti pensiun, saya telah menulis kenangan di blog saya. Berkat tulisan itu pula saya bisa kontak lagi dengan Murti.

Lewat email, sms dan Facebook, kami pun berhubungan. Juga saat Murti dirawat di Rumah Sakit Brayat Minulyo. Saya baru tahu belakangan ia sakit leukemia. Ini penyakit seniman yang lebih elit, cetus sahabatnya, Efix Mulyadi. Saat itu Murti via sms mengatakan “telah diperbolehkan pulang, jangan kuatir.”

Jalan kebudayaan. Mas Darto, Mas Ardus, Agustinus Sumargo, Basnendar, Budi, Hajar Satoto (diatas kursi roda), Cak Narsen, Prof. Darsono, Anang Syahroni, Gunarni, Harsoyo, Listyawati, Mayor Haristanto, Niken, Prof. Rustopo, Yantono, saya dan ribuan warga komunitas seniman Jawa Tengah dan DIY, siang itu bisa dipersatukan kembali dalam satu situasi yang sama. Sama-sama merasa kehilangan atas wafatnya Murtidjono.

“Saya pribadi harus berterima kasih kepada Mas Murti, karena dirinya telah mempertemukan saya dengan para raksasa seniman hebat yang berkiprah di Solo,” kata Halim HD, networker kebudayaan yang mengenal almarhum sejak 40-an tahun yang lalu.

“Kami sama-sama kuliah di Filsafat UGM, satu tahun tidak pernah ketemu di kampus. Tetapi ketemuannya di jalan kebudayaan. Termasuk ketika di tahun 1978 Mas Murti mengundang saya ke Solo. Ketika itu Mas Murti sedang membidani embrio Taman Budaya Surakarta,” cetus Halim HD dalam orasi yang sangat emosional.

Sejak itu, dalam hitungan masa 26 tahun, lanjutnya, Murtidjono ia sebut telah berhasil membangun fondasi yang kemudian memunculkan Taman Budaya Surakarta sebagai “rumahnya seniman, rumahnya rakyat, sekaligus rumahnya kebudayaan rakyat.”

Kontroversial. Film yang menggambarkan sebagian fragmen kehidupan Murtidjono itu saya lihat dari arah belakang layar. Seperti saat kita menonton wayang.

Tak ada narasi dalam film itu. Karena narasi yang mendominasi saat itu adalah urutan upacara penyerahan jenazah dari fihak keluarga kepada fihak Taman Budaya Jawa Tengah. Disusul upacara keagamaan secara Katholik. Ucapan belasungkawa dari kalangan seniman, termasuk dari seniman Yogyakarta yang diwakili Landung Simatupang. Pembacaan riwayat hidup Murtidjono hingga doa pemberangkatan.

Di film itu nampak Murti sedang berpidato yang didampingi istrinya, Ningsri Sadiarti. Saya baru tahu saat itu, ia adiknya Bambang Sumantri yang teman kuliah saya di FKT-UNS, Jurusan Mesin.

Pasangan Murti-Ningsri di film itu nampak ceria. Banyak senyum. Sepertinya Murti sedang memuji atau berbagi cerita lucu tentang istrinya kepada audien.

Adegan yang memikat kemudian adalah saat Murti mencium pipi istrinya. Adegan pasangan suami-istri yang dikaruniai putra-putri Gernatatiti (menantu Panji Nugroho), Bramwasdanto dan Oki Nandhi Wardhana sangat mengesankan. Membahagiakan.

Tetapi adegan film berikutnya bagi saya kontroversial. Ada deretan bapak dan ibu, sepertinya semuanya pegawai negeri. Mereka semuanya nampak berpakaian resmi, berlaku takjim dan bahkan dengan gesture menunduk-nunduk. Mereka berbaris berurutan untuk bersalaman dengan Eyang Murti yang didampingi istrinya.

Mungkin ini acara halal-bihalal. Atau peringatan ulang tahun dirinya. Tetapi Murtijono saat itu tampil tanpa jas. Juga bukan berbaju batik. Melainkan hanya dengan kaos warna hitam. Bahkan tanpa lengan. Seperti foto dalam profil pribadinya di akun Facebook (foto).

“Kontroversial. Itulah kakak saya itu,” demikian awal pidato dari fihak keluarga yang berduka. “Dalam pertemuan keluarga, baik eyang sampai orang tua kami, kalau ada sesuatu yang menurut kakak saya dianggap keliru, ia akan mengritiknya. Tetapi sebenarnya, di balik itu ada keinginan yang baik, untuk menuju sesuatu yang lebih baik.”

Cerita satu ini mengingatkan saya komentar seorang nara sumber dalam acara balap mobil F-1 di televisi ketika mengobrolkan sosok pembalap F-1 dari tim Scuderia-Ferrari, Fernando Alonso.

Komentator itu bilang, “kalau pembalap bagus, sebagian besar orang menyukainya. Tetapi bagi pembalap yang hebat, pasti ada sebagian yang menyukai dan sebagian lain membencinya.” Mungkin itu pula profil sosok seorang sahabat yang bernama Murtidjono.

Adios, amigo. Siang itu, jam 11.13, mobil jenazah PDIP Surakarta yang bagian belakangnya ada fotonya Jokowi-Rudi, berangkat meninggalkan pendopo Taman Budaya Jawa Tengah. Membawa peti jenazah rekan saya yang sesama aktivis di Mandungan, di masa-masa muda dulu.Makam keluarga Njithengan-Kayangan, Karangpandan, Karanganyar, kini menjadi tempat istirahatnya yang abadi.

Film tentang Murtidjono sebagai insan, sebagai seniman, juga tentang hidup kita atau mereka yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik yang suka atau yang benci, semoga akan tetap tertayang di layar kehidupan kita masing-masing.

Demikianlah siang itu akhirnya film tentang sobat saya Murtidjono selesai ditayangkan. Layar pucat itu kembali putih bersih. Ketika sosoknya hilang dari layar, tidak seperti perilaku suku Afrika dalam kisah McLuhan, saya tidak mencari-cari dirinya ke balik layar.

Karena saya sudah ada di sana. Di balik layar. Sambil merangkai kenangan yang berkelebatan di benak tentang dirinya. Saya mengharapkan sobat Murtidjono kini sudah berada di tempat lain, di tempat yang paling enak.

Paling baik dari yang terbaik.
Di sisi Sang Khalik.

Selamat jalan, sahabat.
Sugeng tindak, Eyang Murti.


Wonogiri, 4 Januari 2012

Sunday, January 01, 2012

Eduardo Galeano dan Budaya Tradisional Impotensi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Pembacaan Esai Eduardo Galeano
Selasa, 31 Januari 2012 : Jam 19.00-22.00
Balai Soedjatmoko, Jl. Slamet Riyadi 284 Solo.
Telp 0271-741990.


Anda kenal Eduardo Galeano ? Novelis, sastrawan dan wartawan Uruguay. Saya menyebutnya sebagai Pramudya-nya Uruguay.

Berkat kebaikan hati sobat saya Andibachtiar Yusuf, sutradara film dan penggila sepakbola,saya bisa memiliki buku karyanya yang mengesankan.

Berjudul Football in Sun and Shadow (2003).
Aslinya : El Fútbol A Sol Y Sombra (1995).

Buku itu telah menulis panorama sepak bola dunia dengan kaya konteks, berdegup dan indah, di mana penanya juga menggurat tiga kaitan antara Indonesia dan Piala Dunia yang kemudian menjadi ilustrasi artikel saya di koran Solopos (10/6/2010).

Judul aslinya di surat kabar : "Piala Dunia dan Budaya Korupsi Kita"
Silakan klik di blog saya : disini.

Ajakan memberontak. Buah pikiran Eduardo Galeano, di luar sepakbola, yang paling relevan dengan Indonesia, menurut saya, adalah hardikan bagi kita agar berani melakukan pemberontakan.

Terutama membongkar terunjamnya pola pikir sampai ke balung sumsum yang mendoktrin bahwa kita sebagai rakyat selalu berposisi terus sebagai fihak yang tidak mampu, dan juga tidak mampu untuk membuat perubahan.

Ia menyebutnya sebagai budaya tradisional impotensi.

Akibat fatalnya, bangsa kita ini terus saja menjadi gaglakan empuk kaum politisi busuk yang silih berganti menguasai negeri ini, walau dengan baju yang berbeda-beda.

Selamat Tahun Baru 2012.
Jangan lewatkan acara langka tersebut.