Thursday, October 21, 2010

Mary J. Cronin, Internet dan Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Mary J. Cronin.
Itulah nama perempuan berwajah anggun dan karismastis ini.

Sayangnya, ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI (JIP-FSUI) di Kampus Rawamangun era 1980-an, seingat saya, namanya tidak pernah muncul dalam perkuliahan.

Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, Bapak Karmidi Martoadmodjo sampai Bapak Sulistyo Basuki, sepertinya belum pernah menyebut-nyebut nama itu pula.

Tak apalah.
Saya mengenalnya dari majalah Library Journal.

Kalau ada waktu luang, di perpustakaan JIP-FSUI yang berada di lantai 2 Unit 3 Kampus FSUI, saya membuka-buka majalah itu. Biasanya, setumpuk majalah itu atau yang sudah terjilid, saya bawa ke luar ruang.

Kemudian membaca-bacanya di beranda, di atas kursi rotan panjang yang tua, yang terletak di sisi barat ruang perpustakaan jurusan tersebut. Bisa sambil melihat-lihat hijau daun, berbercak putih yang berpadu bunga-bunga kuning, dari pohon-pohon akasia yang merindangi kampus itu.

Saya memang nekat "melanggar aturan" dengan membawa bahan pustaka ke luar perpustakaan. Terima kasih Pak Wakino dan Nasfudin, petugas perpustakaan JIP-FSUI, yang rupanya memaklumi alasan saya. Karena di luar, sambil membaca-baca itu saya juga bisa bernikmat-ria dengan asap plus nikotin yang di tahun 1980 itu masih membekap ketat diri saya.

Bahkan, di masa itu, bergabung dengan sesama mahasiswa yang juga perokok seperti Hartadi Wibowo dan Subagyo Ramelan, kami dikenal sebagai trio penghuni "the smoking corner" di kelas. Penyebar kabut racun. Syukurlah, pada tahun 1989, saya bisa berhenti merokok, setelah menjadi budak nikotin lebih dari 16 tahun.

Lupakanlah nikotin. Mari kembali ke Mary J. Cronin.

Kalau tak salah ingat, ia mengisi kolom tetap di majalah tersebut dengan topik seputar aplikasi teknologi informasi di perpustakaan. Topik tersebut masih terasa asing, dan baru, utamanya dalam atmosfir dunia kepustakawanan di Indonesia saat itu.

Internet dengan intelejensia. Waktu pun bergulir. Empat belas tahun kemudian, suatu keajaiban, saya bisa "ketemu" dengan Mary J. Cronin kembali. Bukan di majalah Library Journal lagi. Sebagai anggota perpustakaan American Cultural Center (ACC), Wisma Metropolitan 2, saya seperti dapat anugerah ketika memergoki isi majalah Fortune, 18 Maret 1996.

Di situ terdapat wawancara komprehensif antara editor IT majalah bisnis bergengsi itu, Rick Tetzeli, dengan Mary J. Cronin. Judul artikelnya, "Getting Your Company's Internet Strategy Right."

Dalam pengantarnya Rick Tetzeli menulis : "Mary Cronin menemukan Internet sebelum Internet menjadi bahan kehebohan pada dekade ini. Sebagai pustakawan universitas di Boston College, Cronin memanfaatkan Internet untuk meriset data pada tahun 1980-an.

Kini dalam empat tahun terakhir ia menulis, memberi kuliah dan memberikan konsultasi bagaimana perusahaan mampu memanfaatkan Internet dan teknologinya sebagai bagian dari strategi perusahaan bersangkutan. Sekarang ia menjabat sebagai professor di Carroll School of Management dari Boston College, Cronin memberikan wawasan, quiet intellegence, untuk kajian yang kini lebih menonjol heboh hura-huranya itu.

Bukunya yang segera terbit, The Internet Strategy Handbok : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menunjukkan bagaimana kalangan bisnis dapat memanfaatkan Internet jauh lebih signifikan dibanding hanya tampil genit berpamer-ria dengan situs-situs web yang molek semata. Cronin membeber pikiran-pikirannya secara persuasif bahwa perusahaan membutuhkan perencanaan yang cermat agar mereka mampu memanfaatkan Internet untuk kebutuhan di dalam mau pun di luar perusahaan."

Akhirnya, Rick Tetzeli menyimpulkan : buku ini merupakan buku panduan untuk perusahaan-perusahaan Amerika.

Kramat sampai Atlanta. Diam-diam, saat itu, saya merasa bangga. Bahwa seorang pustakawan telah mampu melakukan "penjarahan," dengan mengaplikasikan wawasan dan ilmu pengetahuan miliknya sebegitu jauh jangkauannya. Bahkan mampu menerobos batas-batas teritori ranah tradisionalnya. Ilmu perpustakaan a la ramuan Cronin itu mampu memperkuat otot-otot yang menunjang keberhasilan dunia bisnis, dunia korporasi, bahkan pada pilar-pilar yang paling fundamental di era perubahan dewasa ini.

Suatu kebetulan, ketika keluyuran di lapak majalah bekasnya Pak Yono ("asal Sragen, hijrah ke Jakarta sejak 1957-an") di Kramat Raya, Depan Gedung PMI, saya menemukan lagi majalah Fortune edisi 18 Maret 1996. Tentu, saya beli. Foto Mary J. Cronin di atas juga saya ambil dari majalah bisnis ini.

Keajaiban masih berlanjut. Ketika adik saya, Broto Happy W., yang reporter Tabloid BOLA, meliput Olimpiade Atlanta 1996, saya wanti-wanti berpesan untuk dioleh-olehi buku karya Mary J. Cronin itu. Syukurlah, buku itu ia beli pada tanggal 17 Juli 1996, dan kini berjejer dengan beberapa buku bersampul hitam, buku-buku bertopik Internet, yang juga terbitan dari Harvard Business School Press.

Buku yang isinya tidak mudah dikunyah. Salah satu isi buku itu yang relevan dengan komunitas penulis surat pembaca yang saya dirikan, Epistoholik Indonesia, dan sering saya kutip antara lain tulisan Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones Business Information Services.

Ia membuka cakrawala saya saat menjabarkan perbedaan antara media cetak dan media Internet. Menurutnya, di dunia media cetak aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi terpisah-pisah. Tetapi kini berkat kehadiran Internet, semua proses tersebut terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari konsumen sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah, menurut saya, yang masih banyak tidak disadari oleh para pengelola media cetak dan situs di Indonesia.

Wawasan dari Pak Gerdy itulah yang kini menjadi salah satu sacred mission saya : berusaha mengabarkan hadirnya perubahan berkat kehadiran Internet. Utamanya sebagai orang yang merasa memperoleh anugerah karena dalam bagian hidup saya yang terindah pernah terciprat untuk memiliki DNA ilmu perpustakaan, walau pun selama ini memilih untuk tidak berkarya dalam kurungan tembok-tembok gedung perpustakaan.

Ada nasehat dari Mary J. Cronin yang mungkin bermanfaat bagi kita. Ketika ditanya bagaimana agar peselancar Internet bisa tertarik melakukan bookmark, atau secara rutin mengunjungi situs-situs kita di Internet, ia pun menjawab :

"Informasi yang bermanfaat, itulah kuncinya. Anda harus memberi mereka sesuatu yang berharga dalam transaksi ini. Ini bukan perbuatan berderma, altruistik. Melainkan ini merupakan strategi pemasaran yang baik."

Terima kasih, Ibu Mary, untuk jeweran ini. Karena selama ini saya sering mejeng di Internet hanya semata-mata tergoda hasrat tak terkendali untuk berasyik-masyuk bagi diri sendiri.


Wonogiri, 20 Oktober 2010