Tuesday, April 06, 2010

Rules of the Net dan Thomas Mandel : 15 Tahun Setelah Kepergiannya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Mengapa kau selalu berpakaian hitam-hitam setiap waktu ?”

Itulah sepotong dialog dari drama Burung Camar (1896) karya pengarang drama Rusia terkenal, Anton Chekhov (1860–1904). Saat itu tokoh Medvedenko bertanya kepada Masha. Apa jawabnya ?

“Saya sedang meratapi hidup saya. Saya tidak berbahagia.”

Warna hitam rupanya warna untuk duka. Tetapi bagaimana menjelaskan, walau mungkin ini suatu kebetulan, bila sebagian buku yang saya miliki dan bertopik Internet dan dunia digital memiliki sampul berwarna hitam ?

Bahkan pelbagai penerbit yang berbeda ketika menerbitkan buku yang membahas topik hot tersebut, termasuk buku maha terkenalnya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995), sampul bukunya juga berwarna hitam. Bukunya Ray Hammond, Digital Business : Surviving and Thriving in an On-Line World (1996), kembali sampulnya didominasi warna hitam.

Coba tengok lagi buku-buku terbitan Harvard Business School Press berikut ini. Buku karya Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (1996). Buku berat ini merupakan oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., ketika ia meliput Olimpiade Atlanta 1996.

Kemudian cek sampul bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, Net Gain : Expanding Markets Through Virtual Communities (1997). Kedua sampul buku tersebut juga didominasi oleh warna hitam. Demikian juga bukunya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun, Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996).

Apakah memang Internet itu pas dicitrakan dengan warna hitam ? Dan bukankah warna hitam sering pula diidentikkan sebagai warna kematian ? Untuk buku yang disebut terakhir memang terdapat kalimat yang menjelaskan kaitan antara Internet dan kematian. Tetapi dalam konteks pemanfaatan Internet oleh perusahaan.


”Corporate Web sites work best as flagpoles or cemeteries”, demikian tulis Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun. Situs web perusahaan, menurutnya paling cocok digunakan sebagai penanda atau sebagai kuburan. Karena menurut mereka banyak CEO dan CFO yang terjebak dalam mitos bahwa situs web merupakan “pasar dan sumber pemasukan yang tidak terbatas.”

Senyatanya, situs web ideal bila digunakan untuk mengenalkan produk-produk dan jasa-jasa baru. Tetapi alih-alih, kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu dipakai untuk memajang proyek dan produk yang nasibnya menjelang kematian. Pemborosan. Salah strategi.

Mabuk digital. Buku satu ini saya beli di Times Bookshop, Indonesia Plaza, Thamrin, Jakarta, 20 Februari 1997. Hasil dari honor artikel saya berjudul “Ambisi Microsoft di Tahun 1997” yang termuat di Media Indonesia, 23 Januari 1997.

Buku ini mengandung ratusan tip agar kita mampu memanfaatkan media digital secara maksimal. Kalau hari-hari ini muncul heboh masalah pencurian password, ada dua teman saya mengalami bencana sebagai kurban phising itu, Mandel dan Van der Leun sudah memberikan nasehat : password itu hanya tepat berada di dua tempat, di kepala pemiliknya dan di komputer induk layanan email bersangkutan.

“Jadilah Christopher Columbus, “ adalah pula tip lainnya. Kita dianjurkan untuk menjelajah Internet, terutama pada situs-situs yang terasa asing. Karena harta karun informasi itu sering kita temui secara serendipity di tempat-tempat aneh itu pula.

Terima kasih, Thomas Mandel.

Ia adalah futuris profesional dan konsultan manajemen pada Stanford Research Institute International. Di majalah TIME (Mei/1995) yang berisi laporan khusus membahas fenomena Internet, ia menulis artikel menarik. Judulnya “Confessions of a Cyberholic”, yang merupakan pengakuan dirinya sebagai seseorang yang kecanduan berat komputer dan Internet. Ilustrasinya berupa gambar kartun dirinya yang ditemani seekor (?) komputer yang berwujud kera.

Gara-gara merasa bosan hanya bisa menonton televisi saat proses penyembuhan operasi di punggungnya, Mandel meminjam komputer dan modem dari kantornya, lalu lewat jaringan telepon dirinya terhubung dengan BBS (Bulletin Board Services) lokal. BBS adalah cikal bakal Internet. Itu terjadi di tahun 1985. Kecanduannya terhadap komunikasi on-line, dan kemudian pada Internet mulai bersemi. Lalu meledak-ledak. Thomas Mandel tercatat sebagai salah satu tokoh yang mewarnai perkembangan dunia Internet di Amerika Serikat, dan tentu saja, dunia.

Gerard Van der Leun yang menulis kenangan tentangnya mengatakan bahwa <"mandel"> (dalam buku aslinya ditulis tanpa tanda kutip, untuk menyimbolkan seseorang yang telah almarhum ; sebab bila ditulis tanpa tanda kutip itu maka di Internet nama “mandel” tersebut akan hilang!) tidak menghasilkan peranti lunak, peranti keras atau koneksi Internet. Juga tidak menyediakan fasilitas tunjuk dan klik yang mempermudah penjelajahan mengarungi samudera data di dunia maya.


Apa yang diberikan Thomas Mandel kepada Internet adalah seluruh jiwanya.

Menurut Van der Leun lagi, Thomas Mandel sangat faham, sementara banyak perusahaan dan individu gagal mengerti, bahwa koneksi on-line di Internet itu bukanlah wahana untuk menjual sesuatu atau menggerojoki informasi kepada khalayak yang kelaparan informasi.

Melainkan, menurut Mandel, Internet merupakan sarana bagi semua orang untuk terhubung dengan orang-orang lainnya, secara apa adanya dan jujur, genuine, tanpa filter sebagaimana berlaku pada media-media lama (media berbasis atom = media cetak). Untuk mengukuhkan, betapa pun remehnya, kehadiran komunitas insan-insan sejiwa yang kini secara kebetulan terpisahkan oleh batas-batas geografi, mampu menciptakan lingkungan di mana kandungan atau isi karakter seseorang yang pertama dan yang terutama adalah yang tercermin pada apa-apa yang dilihat oleh mereka.

Penyerahan diri secara total terhadap Internet membuat Mandel terperosok pada apa yang ia sebut sendiri sebagai terkena cyberaddiction dan bahkan menyebut dirinya sebagai abuser. Gejala kronisnya : ia gambarkan dirinya selalu terobsesi untuk memiliki komputer dengan segala periferalnya yang serba mutakhir dan canggih.

Sampai-sampai Mandel mengaku, “mengunjungi supermarket komputer lokal lebih sering dibanding mengunjungi toko-toko buku di kotanya”. Syukurlah, kemudian ia mengaku bisa mengerem kecanduannya itu.

“Mengunjungi dan seringkali memposting tulisan di milis Internet mengenai peralatan olah raga sama sekali tidak sama dengan berolah raga itu sendiri. Bermain Tetris (di komputer) bukan sejalan dengan resep atau nasehat dokter saya dalam rangka penyembuhan penyakit carpal-tunnel syndrome yang saya derita. Mendiskusikan pernak-pernik pakaian dalam wanita dalam forum chatting bukan pula pengganti yang sepadan dengan suasana ber-date di hari Jumat malam yang sebenarnya”, aku Mandel.

Benarkah Mandel berhasil mengerem kecanduannya sebagai seorang cyberholic ? Babak akhir artikelnya itu mampu mengundang senyum. Ia ternyata memang tidak mampu mengendalikan kecanduannya tersebut !

Thomas Mandel meninggal dunia, 5 April 1995.
Lima belas tahun lalu. Karena sakit kanker paru-paru.
Dalam usia 49 tahun.

Gerard Van der Leun menulis : “Mandel meninggal dengan tenang. Ia didampingi kekasih yang mencintainya, diiringi nomor Ode to Joy dari Simfoni Nomor 9 Beethoven. Saat itu saya berfikir, inilah momen menjemput kematian yang terindah.”

Selamat beristirahat dengan damai, Pak Mandel.
Hari ini saya akan mengenakan pakaian hitam, untuk mengenangnya.



Wonogiri, 24/3-6/4/2010

Monday, April 05, 2010

Laron-Laron Luaran Pendidikan Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Al Ries.
Carole Hyatt.

Chris Anderson. Don Tapscott. Jack Trout. Malcolm Gladwell.
Nicholas Negroponte. Richard Nelson Bolles. Seth Godin.

Anda merasa akrab dengan nama-nama mereka itu ? Nampaknya tidak. Di pelbagai media utama Indonesia, nama-nama itu juga jarang atau tidak pernah muncul. Bahkan dalam publikasi di dunia maya kita, rasanya hal serupa juga terjadi.

Untuk nama pertama, yang kiranya bisa bercerita banyak tentangnya mungkin Hermawan Kertajaya. Untuk nama kedua, wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih. Untuk nama-nama selanjutnya, sedikit banyak kiranya pernah diceritakan oleh seorang blogger asal Wonogiri :-).

Untuk Hermawan Kertajaya, yang hari-hari ini sedang merampungkan 100 seri tulisan tentang pemasaran di koran Jawapos, saya tidak mengenalnya. Untuk nama kedua, saya pernah berbincang dengannya di depan sebuah ruang pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta (25/11/2004).

mBak Maria adalah juri saya, disamping Tika Bisono dan Mas Ito alias Sarlito Wirawan Sarwono. Terdapat 20 finalis dalam Mandom Resolution Award 2004, dan separonya akan dikukuhkan sebagai pemenangnya.

mBak Maria, yang sering menulis masalah jender, ketidakadilan sampai impunitas militer di Indonesia, tentu tidak mengenal diri saya saat itu. Saya berinisiatif mengobrol. Mulai dengan bertanya apakah ia mengenal wartawan Kompas asal Wonogiri, Thomas Pudjo. Ternyata malah beliau pernah menginap di rumas Mas Thomas itu, di Wonogiri, kota saya.

Sesuatu yang magis terjadi ketika saya ingatkan akan tulisannya, sekitar 3-5 tahun yang lalu. Hmm, agen rahasia, komedian dan penulis itu harus punya daya ingat yang kuat, bukan ? [“Demikian juga penipu” :-( ]. Tulisan mBak Maria itu mengutip pendapat konsultan karier, Carole Hyatt, dengan bukunya Shifting Gears : How To Master Career Change and Find the Work That’s Right for You (1990).

Obrolan kami rasanya menjadi lebih hidup. Apa sih yang lebih bisa mendekatkan kita dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal, selain humor, dan buku-buku yang sama-sama pernah kita baca ?

Saya akhirnya ikut menang dalam kontes Mandom Resolution Award 2004 itu. Meraih peringkat ketiga. Sepertinya saya menang bukan karena ide resolusi saya yang unggul, yaitu meluncurkan 100 blog untuk para penulis surat pembaca, dan baru terlaksana 30-an.

Tetapi mungkin karena di mata ketiga juri itu saya bukan lagi sebagai orang asing bagi mereka. Saya “kenal” Tika Bisono sejak tahun 1980. Di arena persidangan itu, saya mengaku sebagai fans untuk suara lembutnya sebagai penyanyi. Sementara untuk Mas Ito saya mengaku bahwa istri beliau, mBak Pratiwi, adalah kakak kelas saya di UI.

Persneling kehidupan. Buku tersebut berisi panduan strategi karier ketika dunia sedang berubah. Menurut Hyatt, kita pun harus ikut berubah, dituntut terampil memindah–mindah persneling kehidupan kita. Karena, sembari mengutip pendapat Buddha, “penyebab utama penderitaan manusia adalah keyakinannya tentang kepermanenan.”

Perubahan itu, seperti tergurat di bab pertamanya menyangkut fenomena desa global. Antara lain berkat Internet di masa kini, membuat kita sudah menerjuninya sendiri pula. Profesi-profesi masa depan yang menjanjikan, menurut Hyatt, berada di dan bukan lagi berada pada perusahaan raksasa, tetapi pada perusahaan-perusahaan kecil, yang bergerak di bidang jasa, intrapreneuring (kewiraswastaan di dalam perusahaan), dan bekerja di rumah.

Perubahan itu juga menuntut pola pikir baru dalam bidang pendidikan. “Pendidikan,” demikian dikutip dari Donna Shalala dari Universitas Wisconsin, harus “mampu memberi Anda keyakinan bahwa Anda dituntut terus belajar dan belajar” (h.39). Yang menarik, ketika pekerjaan makin terspesialisasikan, ternyata tuntutan bagi seseorang yang memiliki “kapasitas merangkai pelbagai hal-hal menjadi satu dan memahami konteks,” justru semakin sangat dibutuhkan.

Ben Barber, ilmuwan dan teoritikus brilyan dari Departemen Politik Universitas Rutgers menyimpulkan (h.41) : “Agar sukses dalam pasar tenaga kerja, Anda harus memiliki keterampilan analisis dan kapasitas memahami kaitan antara pelbagai hal yang ada.” Filsafat, kesusasteraan, dan bahkan puisi, ia percayai, semakin menempati posisi terhormat di tengah gejolak dunia yang berubah.

Bunuh diri ramai-ramai. Mungkin ini pendapat subyektif, betapa resep Donna Shalala di atas belum atau tidak bergema di benak para luaran pendidikan kita. Banyak orang begitu lulus atau wisuda, langsung pula berhenti dalam belajarnya. Mengamati pengunjung perpustakaan di kota saya, banyak anak-anak muda yang saya amati, hanya membaca-baca koran untuk meneliti iklan-iklan lowongan pekerjaan semata.

Sementara kabar tentang tes masuk PNS sampai penyelenggaraan job fair, foto-fotonya di media massa selalu menampakkan jubelan anak-anak muda yang bergelar sarjana. Saya menyebut mereka sebagai laron-laron luaran pendidikan kita, yang menyerbu sumber-sumber sinar yang benderang. Semua nampak anut grubyug. Ikut arus semata.

Mereka tidak pernah membekali diri dengan strategi berburu pekerjaan secara memadai. Akibat fatalnya, yang justru tidak mereka sadari, dalam keriuhan demi keriuhan itu sebenarnya mereka sedang melakukan “bunuh diri” beramai-ramai adanya.

Iklan-iklan lowongan sampai job fair itu adalah game-nya perusahaan. Bukan game-nya para pencari kerja. Teknik rekruitmen dengan jalur itu dirancang untuk menguntungkan perusahaan semata. Bahkan tenaga kerja yang berkualitas pun, karena bias dari teknik itu, juga begitu mudah tersingkir dalam persaingan.

“Jumlah surat lamaran yang membeludak diterima oleh perusahaan potensial menjadi penghalang serius Anda,” kata John Langley, ahli strategi perancangan surat lamaran dari Detroit yang dikutip Carole Hyatt (h. 201). Sementara itu, repotnya lagi, “sembilan puluh sembilan persen orang mengalami kesulitan dalam merancang dan menulis surat lamaran mereka !”

Problem serius semacam ini apakah telah diketahui, disadari, oleh para guru atau pun dosen mereka ? Saya tidak tahu. Karena kebanyakan lembaga pendidikan itu nampaknya lebih hirau sebagai pabrik ijazah, dengan meluluskan anak didiknya sebanyak-banyaknya, sementara nasib mereka itu di dunia kenyataan selanjutnya hanya diserahkan kepada Yang Maha Esa.

Wabah markus. Laron-laron luaran pendidikan kita itu, kini juga mencari “pekerjaan” dengan menyerbu dunia maya. Facebook utamanya.

Yang lelaki, mereka nampak cukup berbahagia dengan meniti karier guna meraih pangkat sebagai Consigliere, Underboss, dan Boss dalam Mafia Wars yang terkenal itu. Apakah fenomena ini sekaligus cerminan mengapa borok makelar kasus dan mafia hukum begitu meruyak di Indonesia ?

Sementara yang perempuan terjun ramai-ramai berkarier di dunia pertanian, berbagi pupuk bagi tanaman mereka di FarmVille, seiring kenyataan bahwa presiden kita adalah seorang doktor ilmu pertanian.

Pertanyaannya : adakah sekolah atau perguruan tinggi kita yang dengan sengaja, secara terencana dan terstruktur membekali anak didiknya menggunakan Facebook sebagai sarana bantu yang dahsyat guna memudahkan para lulusan itu meraih pekerjaan idamannya ? Kalau Anda seorang guru atau dosen, saya tunggu kabar, cerita dan opini Anda tentang hal ini. Terima kasih.

Tetapi yang pasti, ketahuilah, dewasa ini para perekrut profesional juga menggunakan media sosial, baik blog, Facebook sampai Twitter, sebagai sarana mereka melakukan seleksi calon karyawan. Mereka tidak lagi puas hanya membaca-baca surat lamaran dan daftar riwayat hidup yang Anda kirimkan.

Karena mata mereka kini juga mencari-cari informasi yang lebih rinci dan mungkin tersembunyi tentang diri Anda di dunia maya. Melalui bantuan Google, dengan hanya satu-dua klik saja, mereka justru akan menjadi curiga berat bila nama Anda tidak mereka temukan di dunia maya.

Akan tetapi sebaliknya, bila mereka menemukan diri Anda dalam tags foto kiriman teman Anda nampak sedang telanjang dada, memegang botol bir, beradegan foto-foto gokil di pantai dan pesta, atau hanya bisa memposting pesan-pesan egosentris yang menye-menye semata, boleh jadi doa tulus ayah-ibu agar Anda segera memperoleh pekerjaan mungkin akan sia-sia.

Kuda Ries. Manfaatkan Facebook seturut nasehat Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991) ini. Guna meraih sukses dalam meniti karier dan pekerjaan, Anda harus menemukan kuda yang tepat untuk Anda tunggangi. Bila kuda kerja keras yang Anda pilih, peluang sukses Anda hanya 1 dari 100. Kuda IQ ? Hanya 1 banding 75. Mengandalkan kuda pendidikan pun cuma 1 dari 60.

Nasehat Ries dan Trout, pilihlah kuda kreativitas yang membuka peluang sukses Anda naik, 1 banding 25. Kuda hobi lebih potensial lagi, 1 banding 20. Sementara kuda publisitas, menurut mereka, telah menjanjikan peluang sukses Anda 1 banding 10.

Ajakan saya untuk Anda : gunakan potensi Facebook yang dahsyat ini sebagai kuda tunggang publisitas Anda. Secara cerdas dan bijaksana. Postinglah informasi-informasi yang mencerminkan siapa Anda, apa keistimewaan dan manfaat eksistensi Anda bagi bebrayan agung di dunia ini.

Sebab terlalu sayang bila Facebook Anda isinya hanya lebih banyak menye-menye, yang mungkin membuat Anda bangga semu terhadap diri sendiri, tetapi sebenarnya membuat Anda jatuh harga dan mengguratkan citra negatif di benak banyak fihak.

Misalnya, di mata calon penggemar, calon bos, bahkan juga calon mitra sukses karier Anda.



Wonogiri, 31/3/2010