Friday, February 17, 2012

Tika Bisono, KM dan Intellectual Capital

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Jangan lupa, Mas Bambang.
Knowledge Management.”

Demikian tutur Tika Bisono (foto) malam itu, ketika menyalami diri saya. Lokasi : Flores Room, Hotel Borobudur, Kamis malam, 26 November 2004. Acara Malam Penganugerahan Pemenang Kontes Mandom Resolution Award 2004.

Psikolog, entertainer sekaligus salah satu juri dari Mandom Resolution Award (MRA) 2004 tersebut telah pula menyumbang lagu “Killing Me Softly With His Song”-nya Roberta Flack, yang menghangatkan acara sebelum diumumkan siapa-siapa para pemenang MRA 2004 malam itu. Diri saya adalah salah satunya.

Knowledge Management (KM) adalah kosakata yang terlontar spontan dari Tika Bisono, di ruang presentasi, ketika penjurian sedang berlangsung.

Ia mengomentari resolusi yang saya ajukan, dimana sebagai penggagas komunitas kaum epistoholik atau para penulis surat pembaca, saya bercita-cita menghimpun pengetahuan warga komunitas Epistoholik Indonesia dalam situs-situs blog di Internet. Tujuannya, agar pengetahuan itu dapat dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat, bahkan mendunia.

“Ini ilmu baru, Mas Bambang. Nanti di luar, kita bisa bicara hal ini lebih banyak”, imbuh Tika saat itu.

Ilmu baru ?

Jadi di MRA 2004 ini saya sukses “menemukan” ilmu baru ? Resolusi saya tersebut sebenarnya merupakan variasi lain dari kiprah perpustakaan. Yaitu menghimpun informasi, mengorganisasikan dan kemudian menyebarkannya. Yang mungkin membedakan, KM memperoleh sarana bantu secara masif teknologi informasi dan aplikasinya cenderung pada lingkup perusahaan.

Ahli itu kita sendiri. Yang pasti, setahu saya, KM memiliki aneka wajah. Thomas A. Stewart, wartawan senior majalah bisnis Fortune, penulis buku Intellectual Capital : The New Wealth of Organization (DoubleDay, 1997) dan salah satu pionir kajian KM, punya cerita menarik yang dimuat di majalah bisnis Fortune, 29/9/1997.

Ia telah menceritakan bagaimana cara raksasa pabrik traktor Deere & Co. mendayagunakan keahlian para karyawannya. Dengan langkah awal, melakukan inventarisasi.

Kalau direktori atau buku daftar alamat sesuatu perusahaan yang biasa hanya berisi data karyawan berdasar peringkatnya dalam struktur organisasi, maka direktori yang sudah terkomputerisasi di Deere ini agak lain. Dengan sebutan “People Who Know”, sistem ini mampu menjawab pertanyaan tentang keahlian tertentu yang dimiliki para karyawan yang dibutuhkan untuk menemukan solusi atau menjalankan sesuatu proyek pekerjaan.

Jadi kalau di jaman awal industrialisasi ada masalah dalam pabrik telah membuat begawan manajemen masa lalu Frederick Winslow Taylor bersabda, “biarlah para ahli yang membereskannya”, maka rumus solusi di jaman sekarang adalah, “para ahli itu sudah tersedia, mereka adalah kita-kita !”

Ada cerita menarik lainnya tentang KM. Ketika tim pengembangan mobil baru pada Ford Motor Company ingin mempelajari mengapa kerja tim pengembang mobil model Taurus meraih sukses di pasaran, mereka mengalami jalan buntu. Tak ada orang yang mampu memberitahu mereka. Tak ada yang ingat dan tak ada pula yang mencatat kerja sukses tim tersebut.

Akibatnya fatal : pengetahuan yang diperoleh Ford Motor Company selama mengerjakan proyek Taurus telah hilang selamanya.

Kejadian ini membuka mata bahwa aset terpenting suatu perusahaan yang paling sukar difahami dan paling sulit dikelola adalah pengetahuan. Belajar bagaimana mengidentifikasi, mengelola dan menumbuhsuburkan pengetahuan merupakan kiprah vital sesuatu perusahaan yang berniat memenangkan kompetisi dalam ekonomi global yang bergerak cepat dewasa ini.

Meremajakan ular. Meneladani kiprah pabrik traktor Deere & Co. itu, hal serupa selayaknya juga bisa diaplikasikan pada beragam perpustakaan di Indonesia. Para pustakawan kita, baik dengan melakukan self-assessment secara mandiri atau melalui bantuan kalangan psikolog, untuk mampu melakukan ekstraksi atas beragam kemampuan diri mereka yang selama ini tersembunyi. Juga terhadap klien-klien perpustakaan mereka.

Sudah saatnya keterampilan tradisional yang lajim dimiliki seorang pustakawan kini harus diperkaya dengan beragam daftar kecenderungan, minat atau hobi mereka, yang dapat disinergikan dengan minat-minat yang terdapat dalam klien mereka. Interaksi ini akan semakin menghangatkan hubungan antara pustakawan dengan klien yang selama ini hanya dijalin dalam hubungan transaksi yang dingin dan fungsional, yang jauh dari sentuhan-sentuhan pribadi dan emosi.

Dalam konteks yang lebih sempit, inilah salah satu alasan mengapa saya usulkan agar perpustakaan (umum) buka di hari Minggu. Kalau hari-hari kerja biasa, teorinya, hanya berlangsung kontak dengan klien secara fungsional, maka di hari Minggu para pustakawan dapat berinteraksi dengan mereka sebagai seorang pribadi yang memiliki sesuatu wawasan sampai keterampilan, di luar keterampilan tradisionalnya, untuk meng-engage klien perpustakaan dalam kegiatan bersama yang bermanfaat bagi semua fihak.

Ibaratnya dalam bahasa ular, setiap hari Minggu itu pustakawan dapat berganti kulit mereka. Mudah-mudahan Anda juga tahu bahwa ular yang berganti kulit adalah ular yang sedang melakukan peremajaan bagi dirinya sendiri.

Masa sih, anjuran agar pustakawan selalu bisa awet muda akan Anda tolak ?


Wonogiri, 17 Februari 2012