Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Picasso.
Andy Warhol.
Wassily Kandinsky.
Juga Jackson “action painting” Pollock.
Jangan bayangkan museum atau galeri yang memiliki koleksi lukisan karya para maestro di atas itu berada di New York, London, Paris atau Bilbao. Karya-karya master piece para maestro itu justru disimpan di ruang bawah tanah sebuah galeri di Teheran, Iran.
Aneh juga. Negara para mullah yang berseteru secara sengit dengan Israel, juga dengan negara-negara Barat itu, justru tetap melestarikan karya-karya lukisan orang-orang Barat itu.
Saya juga ikut-ikutan menceritakan hal unik terkait negeri Iran. Dalam buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010) yang sekuelnya bisa terbit bulan Oktober 2011, saya kutipkan cerita tentang lawakan komedian perempuan, Tissa Hami, yang berasal dari Iran tetapi kini menetap di Amerika Serikat.
Tissa Hami itu bergelar Master Kajian Internasional. Ia kini bekerja di John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard. Ketika tanggal 29 September 2009 saat SBY berpidato di sini, tentu ia ikut menjadi seksi repot. Tambahan info, anak sulung SBY, Kapten Agus Harimurti, juga berkuliah di sini.
Saya tidak tahu apa Tissa Hami saat itu juga tergelitik membuat lawakan tentang SBY yang berpidato di Harvard itu. Tetapi SBY-nya sendiri sering dikabarkan bangga dengan isi pidatonya saat itu. Bahkan oleh seorang pelatih pidato terkenal, Richard Greene, pidato SBY itu disisipkan dalam bukunya sebagai salah satu pidato abad ke-21 yang mengguncang dunia. [Di kepala saya muncul bunyi 'klik' : “Saya memperoleh ilham baru lagi untuk menulis humor tentangnya, di buku saya kemudian :-)”].
Kembali ke Tissa Hami. Latar belakang asalnya yang dari Iran dan referensi buruk hubungan di tahun 1970-an antara negeri kelahirannya dengan negerinya kini, justru sering menjadi materi lawakannya. Katanya : “Kalau tidak ada penonton yang tertawa mendengar lawakan saya, Anda semua akan saya jadikan sandera !”
Itulah humor orang Iran. Kalau saja lukisan-lukisan karya para “bule” itu berada di Afghanistan, sambil merujuk nasib patung-patung Buddha raksasa yang dihancurkan kaum Taliban, pasti karya seni bernilai jutaan dollar itu boleh jadi sudah lama menjadi abu.
Nasib patung Buddha raksasa itu pernah menjadi rujukan komedian intelek Steve Martin ketika memandu acara Oscar tahun 2001. Ia sambil merujuk patung-patung raksasa Oscar di sekitar panggung, lalu menyeletuk : “Kalau di Afghanistan, semua Oscar-Oscar itu pasti sudah dihancurkan oleh Taliban !”
Iran yang unik. Cerita itu saya ikuti ketika menonton tayangan kisah perjalanan menarik dari Diego Bunuel. Orang Perancis yang ramah ini keliling dunia untuk mengunjungi dan menceritakan hal-hal menarik yang ia temui. Acaranya itu bertajuk “Don’t Tell My Mother,” di kanal National Geographic Channel.
Sebelum bercerita tentang koleksi lukisan, Diego menemui komunitas orang Yahudi di Iran. Bayangkan, hubungan Iran dengan Israel ibarat anjing lawan kucing, tetapi komunitas Yahudi itu aman dan damai menjalankan ibadah.
Bahkan komunitas Yahudinya terbesar kedua setelah negeri Israel. Mereka hidup aman dan damai. Sinagognya tak pernah diusik orang Iran, karena menurut tokoh Yahudi di Iran itu, “warga negara Iran tahu membedakan mana urusan agama dan mana urusan politik.”
Cerita Diego Bunuel itu mengingatkan saya akan isi artikel yang ditulis Francis Fukuyama di majalah Newsweek, edisi dobel, Desember 2001-Februari 2002. Topik utamanya adalah Era Perang Kaum Muslim. The Age of Muslim Wars. Tentang era centang-perenang ketika kaum muslim berperang melawan muslim, dan juga peperangan muslim melawan Barat.
Majalah edisi ini bernilai sentimental sekaligus monumental. Juga buku The Comedy Bible-nya Judy Carter (foto). Karena keduanya saya beli untuk meredakan gejolak hati setelah memperoleh surat vonis PHK dari sebuah perusahaan Internet di Jakarta.
Dalam artikelnya di Newsweek yang berjudul “Today’s New Fascist, Their Target : The Modern World,” Fukuyama justru menyimpulkan bila “ada negara yang mampu memimpin dunia Islam untuk keluar dari jaman sulit dewasa ini, maka negara tersebut adalah Iran.”
Menurutnya, generasi Iran kini yang rentang usianya di bawah 30 tahun rata-rata tidak lagi menaruh simpati terhadap faham-faham fundamentalis “Dan bila Iran mampu menghadirkan sosok Islam yang lebih modern dan toleran, negeri tersebut akan menjadi model yang kuat bagi seluruh sisa negeri-negeri muslim di dunia,” pungkas Francis Fukuyama.
Bagaimana dengan Indonesia ? Republik Indonesia bukan negara agama. Tetapi tiap kali, antara lain mendengar pidato pembelaan Abu Bakar Baasyir di persidangan, juga heboh cerita tentang Panji Gumilang dan KW 9 (jadi isi laporan utama majalah Tempo terbaru) muncul teka-teki : apakah “The Age of Muslim Wars” justru telah “berpindah” ke Indonesia kini ?
Bagaimana pendapat Anda ?
Ayo jawab.
Tak usah menunggu orang Perancis ganteng itu, Diego Bunuel, melaporkannya dalam seri “Don’t Tell My Mother : Indonesia” di tayangannya mendatang.
Wonogiri, 19 Juni 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment