Sunday, December 18, 2011

Komunikasi Lelaki dan Nasehat mBak Tannen

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Berebut unggul.
Mencari kompromi.
Itulah perbedaan pola komunikasi, genderlect, antara pria-pria versus perempuan-perempuan.

Kaum pria ketika berbicara dengan sesama pria, mereka berusaha berebut unggul atas lawan bicara.Sekaligus menghindari sebagai fihak yang berposisi di bawah.Kaum lelaki senantiasa berada dalam atmosfir bersaing dengan sesamanya.

Sementara pola komunikasi antarperempuan adalah berusaha mencari kesepakatan atau kompromi.

Itulah tesis menarik dari buku karya linguis Deborah Tannen, You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation (1990).

Pesan dalam buku laris itu, yang saya pinjam dari perpustakaan America Cultural Center (ACC) di Wisma Metropolitan 2 pada tahun 90-an, kembali muncul. Yaitu ketika menaiki kendaraan umum antara Bogor-Parung-Serpong-Bumi Serpong Damai-Pamulang-Ciputat-Depok-Bogor, beberapa hari yang lalu.

Saya tiba di Bogor, di rumah adik saya Broto Happy Wondomisnowo,9 Desember 2011.Karyanya berupa buku Baktiku Untuk Indonesia : 60 Tahun Tiada Henti Mencetak Juara, 9 Juara Dunia + 4 Peraih Medali Olimpiade baru saja diluncurkan.

Siangnya, memenuhi niatan lama. Yaitu keinginan untuk berziarah ke makam dosen saya dan juga mantan Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, Ibu Lily Koeshartini Somadikarta. Beliau wafat tahun 2009, dimakamkan di TPU Blender, Kebon Pedes, Bogor.

Hari Sabtunya, 10 Desember 2011,ke Jakarta. Untuk sowan ke rumah Bapak Taufik Rachman Soedarbo, di Cilandak.

Saya pertama kali ke rumah ini tahun 1986, saat ingin menemui putrinya yang cantik, artistik dan karismatik, Widhiana Laneza (foto). Anez yang kelahiran Brussels di tahun 1963 itu sudah tak bisa lagi saya temui. Alumnus Arkeologi FSUI itu meninggal dunia di Denpasar, Bali, 20 Desember 2005.

Sekitar 2-3 jam saya mengobrol dengan Bapak Taufik. Berdua. Saya sempat membaca-baca buku yang memuat sejarah hidup dan sepak terjang beliau sebagai diplomat. Juga mengobrol di ruang baca, tempat buku-buku koleksi pribadi Anez masih tertata rapi di rak.

Kepada beliau saya serahkan fotokopi buku Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (1987). Sejak saya sowan tanggal 13 November 2011, beliau sempat menanyakan buku yang sudah out of print ini. Sebagai kilas balik, ilham penulisan buku ini adalah Grigri, Cakil, sampai Pancho. Siapa mereka ? Ini merupakan nama-nama anjing kesayangan dari Widhiana Laneza. Juga saya serahkan buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010).

Dari Cilandak, saya pamit, untuk menuju TPU Jeruk Purut. Walau diguyur hujan, saya menyempatkan diri berziarah di makam Ibu Bintari Tjokroamidjojo Taufik, Liana Rasanti (adiknya Anez, meninggal tahun 1965) dan juga makam Widhiana Laneza.Juga menyerahkan foto yang berpose dengan Pak Daman, petugas makam, saat saya berkunjung 15 November 2011.

Reuni Mandungan. Minggu tanggal 11/12/2011, dari Bogor saya menuju Parung naik bis mini. Disambung naik angkot jurusan Bumi Serpong Damai, untuk turun di Buaran Gardu, Serpong.

Acaranya : bertemu dengan rekan-rekan Workshop Seni Lukis Mandungan Muka Kraton Surakarta yang sudah lama tidak bertemu. Workshop itu terjadi tahun 1972.

Reuni itu berlangsung di rumah mentor workshop melukis itu, Mas Abdurrahman. Yang hadir, murid-murid beliau. Antara lain : Efix Mulyadi, Si Benk, Suryo Lelono, Sarwono, Mamok,Chosani, Budoyo Sumarsono, Musyafik, Harsoyo Rajiyowiryono dan Subandiyo.

Juga hadir pegawai PKJT saat itu, tetapi dekat dengan kami, Mas Sudarto. Yang tidak hadir tetapi menitipkan salam adalah mBak Tantin Sasonomulyo dan Nanik Gunarni.

Saya sendiri, aktif di Mandungan tahun 1977-1980. Sebenarnya bukan murid Mas Rahman, tetapi bersahabat kental dengan murid-murid beliau. Saya bisa hijrah ke Jakarta untuk berkuliah di JIP-FSUI berkat bantuan informasi dari Bang Efix Mulyadi, yang saat itu (dan sampai pensiun) sebagai wartawan Kompas. Saat awal, juga satu kos dengan Chosani dan Sarwono, di Jl. Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur.

Peserta reuni di Buaran Gardu itu juga menanam pohon sawo kecik, yang mengandung pesan sarwo becik (serba baik), yang atas prakarsa Harsoyo dapat memperoleh pohon itu dari lingkungan Kraton Surakarta. Kebetulan di depan Sanggar Mandungan juga tumbuh pohon serupa.

Kami juga menuliskan kesan di kanvas kenangan, yang rata-rata berpendapat bahwa fase-fase di sanggar itu memunculkan nilai-nilai penuh makna bagi hidup masing-masing hingga saat ini.

Pamulang-Depok : Nostalgia. Usai dari lokasi reuni, saya pindah "kos" ke rumah teman sesama kuliah di JIP-FSUI. Yaitu Bakhuri Jamaluddin, kini verifikator Jamkesmas Pusat, di Pamulang. Sebelum ke Pamulang, saya harus menemui teman istimewa yang akan pamit untuk kembali ke Inggris (14/12/2011). Ketemuannya di mal Teras Kota, Bumi Serpong Damai.

Sesudah menginap dua malam di Pamulang, saya tur ke Depok. Ke rumah Sarwono, di Jl. Ciliwung, lalu main ke rumah Suryo Lelono di Cimanggis. Kemudian ke Pondok Duta, menemui Mas Sudiyono dan mBak Erna di warung soto mie miliknya. Juga sowan ke rumah mBah Roto putri, di Pondok Duta juga.

Mas Sudi, mBak Erna, mBah Roto, Sarwono dan saya di tahun 80-95 adalah warga satu komplek di Jl. Belimbing, Rawamangun.Komplek itu dijadikan ruko, warganya "bubar" kemana-mana. Setelah belasan tahun terpisah, baru bisa ketemuan lagi di hari kemarin itu.

Tanda kelemahan. Selain diantar Sarwono, saya naik angkutan umum. Sebagai pengalaman pertama menjelajah kawasan itu, saya sudah membuang rasa gengsi atau sungkan yang menghalangi niat untuk bertanya-tanya.

Tentu saja bertanya tentang rute atau pun nomor kendaraan yang akan saya naiki. Ada catatan, yang belum tentu valid,yang kemudian saya peroleh dalam pelbagai momen bertanya kesana-kemari itu.

Bahwa ketika saya bertanya kepada supir angkot atau kondektur bis,mereka kemudian rata-rata sepertinya meminta bayaran ongkos yang lebih tinggi. Pertanyaan saya kepada mereka rupanya merupakan sinyal sebagai tanda "kelemahan" saya dan hal itu mereka manfaatkan dengan menaikkan ongkos. Saya senyum-senyum saja mendapat perlakuan seperti ini.

Berbeda halnya bila saya bertanya kepada seorang perempuan, yang kebetulan sama-sama menaiki angkutan umum yang sama. Pertanyaan saya tentang rute, mungkin saja justru dianggap sebagai sebuah "penghormatan" bagi mereka.

Karena mereka rata-rata nampak antusias dalam memberikan jawaban, petunjuk, bahkan sangat detil. Juga tak jarang ceritanya malah melenceng dan keluar dari konteks semula.

Seperti saat saya kembali dari Bogor menuju Solo, menaiki bus Raya, disamping saya ada seorang ibu. Saya bertanya, "turun mana,ibu ?" ternyata pertanyaan itu memancing cerita ibu tersebut jadi berlanjut. Ibu itu, orang Jawa asal Semarang, berjilbab, sosoknya masih nampak muda.

Kita mudah tidak percaya kalau beliau sudah memiliki cucu.Ia nampak independen, dengan berani bepergian seorang diri. Selama perjalanan juga tidak melakukan percakapan telepon dengan anak, atau kerabatnya.

Ketika rasa kantuk belum tiba, berkali-kali terdengar suara dering ritmis dari HP ditangannya. Saya baru ngeh kemudian, ternyata ibu tadi asyik bermain game. Sebelumnya, beliau asyik bercerita tentang anak-anaknya.

Termasuk yang baru saja diantarnya untuk berangkat ke Kanada menyertai suaminya yang bule.Pasangan ini dikaruniai satu anak, dimana si bule itu duda dengan dua anak dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia.

Ibu itu bahkan cerita tentang pesan khusus kepada putrinya. Bahwa dirinya tidak hanya diminta mencintai si bule itu, saja tetapi juga harus mencintai kedua anak dari istrinya yang terdahulu.

Terima kasih,mBak Deborah Tannen.

Kini saya tahu. Bahwa saya kalau tersesat di suatu tempat, atau saat ingin menaiki kendaraan umum di tempat asing, saya sekarang tahu kepada siapa sebaiknya saya harus bertanya.Apalagi, sok GR, saya juga merasa memiliki telinga yang berfungsi masih baik adanya.


Wonogiri,19/12/2011

No comments:

Post a Comment