Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 16 September 2009
Salam episto ergo sum,
saya menulis surat pembaca karena saya ada,
Lebaran kunang-kunang. Semoga Anda sehat-sehat adanya. Bagaimana suasana kota Anda, mendekati hari Lebaran ? Di jalanan kota saya, Wonogiri, rasanya semakin sesak oleh orang. Pasar penuh orang. Antrean ATM penuh orang. Toko penuh orang.
Sementara Perpustakaan Wonogiri, yang mudah ditemui, tetap saja wajah-wajah yang sama. Familiar strangers.
Wajah-wajah yang lalu lalang di luar perpustakaan, adalah wajah-wajah asing. Perfect strangers. Juga kendaraan mereka yang bernomor bukan aseli Wonogiri. “Selamat pulang kampung sobat, saudara-saudara saya yang di hari-hari normal berkiprah, berkarya dan berkrida di luar Wonogiri.”
Adakah acara khusus bagi Anda, apabila Anda ikut merayakan Hari Kemenangan, di hari Fitri nanti ? Tahun ini saya akan merayakannya bersama kunang-kunang.
Ceritanya, ada seorang nenek yang mendongeng kepada cucu-cucunya. Tentang serpih-serpih tulang rawan hasil guntingan kuku-kuku jari dan kaki. Ia katakan, sebaiknya serpihan itu dipendam di pojok rumah. Bila malam, serpihan itu akan berubah menjadi kunang-kunang.
Cucu-cucu itu, walau takjub atas dongengan itu, tetap saja memendam rasa tidak percaya. Tetapi mereka tetap saja mengingatnya, bahkan setelah berpuluh tahun kemudian. Ada orang bilang, ucapan guru atau orang tua itu melesat dalam kecepatan cahaya untuk sampai ke telinga anak didik atau seseorang anak.
Tetapi makna dari ucapan itu sampai ke hati atau pemahaman, akan berjalan dengan kecepatan suara. Jauh lebih lambat dibanding kecepatan cahaya. Tetapi pesan itu tetap akan sampai. Entah beberapa bulan, beberapa puluh tahun kemudian, atau bahkan ketika sang anak, si penerima pesan itu, sudah berada di tepi kematian.
Dongeng tentang kunang-kunang itu, yang secara ilmu biologi atau fisika sebagai tak mungkin, mungkin dirancang sebagai sebuah metafora. Kiasan. Saya memaknainya kini, betapa bagian sekecil apa pun dari diri kita bila ditanam akan menumbuhkan cahaya, kebaikan, keindahan. Apalagi dalam kegelapan.
Kebetulan ketika saya mengetikkan kata firefly, kunang-kunang, dalam peranti lunak The Oxford Dictionary of Quotations (2002), muncul lema/entri menarik :
Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan :
What is life? It is a flash of a firefly in the night.
Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.
Nenek yang mendongeng tentang kunang-kunang itu berasal dari Kedunggudel, Sukoharjo. Namanya Jiah Martowirono. Ia nenek saya dan dongeng tentang kunang-kunang itu menjadi salah satu tema Reuni Trah Martowirono XXIII/2009, yang akan dilangsungkan 23 September 2009.
Lokasi : Museum Benteng Vredeburg, Djokdjakarta. Anak cucu-cicit Trah Martowirono, dari seantero Nusantara, bersiap melakukan Serangan Oemoem guna mendoedoeki selama Enam Djam di Djokdja. Cerita terkait dapat Anda klik di : http://trah.blogspot.com.
Surat-surat pembaca yang kita tulis, saya ibaratkan juga sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tetapi bagi orang tertentu, bila terjadi “klik,” surat pembaca itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.
Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tetapi ketukan yang mampu menyapa hati. Bagi saya, agar mampu menulis surat pembaca yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya yang tertentu. Utamanya : buku.
Maaf, sebagai pembaca surat-surat pembaca, saya kadang merasa kurang nyaman bila memergoki surat pembaca atau artikel yang merujuk kepada sumber tertentu tetapi ditulis dengan data bibliografi yang pincang. Misalnya data judul buku rujukan tidak ditulis, nama pengarang dikaburkan, dan tahun terbit disepelekan karena tidak dicantumkan.
Maaf lagi, iritasi ringan ini memang dipicu cara berpikir model digital. Semua ilmu pengetahuan itu harus tersambung, connected, sehingga dapat dicek dan di-ricek oleh orang lain, untuk sama-sama diuji kebenaran atau validitasnya. Jalan pikiran ini pula yang mendasari raksasa internet, Google, meluncurkan proyek gigantik : berusaha mendigitalkan semua buku-buku di dunia, sehingga bisa diakses oleh sesama umat manusia.
Syukurlah, ketidaknyamanan saya tentang data bibliografi itu masih kelas ringan kok. Karena dalam surat-surat pembaca, yang sering isinya menyangkut isu-isu aktual dan kurang dituntut adanya pendalaman, sehingga tidak terlalu menuntut hadirnya parade atau obral kutipan dari buku-buku (baru ?) tertentu.
Tetapi realitas semacam ini juga bisa sebagai tabir, untuk menutupi hal yang bisa (bila mau) diperdebatkan : apakah seorang penulis surat pembaca juga seorang maniak, pembaca buku, atau justru tidak menyukai buku ? Mungkin ini penilaian subyektif : bagi saya, rasanya selama ini, tidak mudah menemukan obrolan tentang sesuatu buku dalam surat-surat pembaca.
Akibatnya, salah satu cita-cita saya sebagai pendiri komunitas EI/Epistoholik Indonesia, sepertinya masih di awan. Gerakan menjadikan surat pembaca sebagai salah satu media untuk mem-buzzing info dan isi buku-buku (baru ?), kiranya masih belum memancarkan daya tarik optimal untuk memantik minat sesama warga komunitas EI ini.
Minimal untuk semakin meminati, mencintai buku. Sehingga sumber info, asupan bagi gelegak kawah intelektual kita, bukan kliping-kliping koran semata. Anda punya pendapat ? Saya tunggu.
Untuk menggelorakan cinta buku itu, walau seorang Jeff Gomez menerbitkan buku Print Is Dead : Books in Our Digital Age (2007, http://printisdeadblog.com), saya kini mencoba menghidupkan lagi blog buku saya yang lama terbengkalai.
Sekian dulu, obrolan dari Wonogiri. Setelah hiruk-pikuk Lebaran usai, saya punya PR. Menyiapkan makalah guna merayu mahasiswa baru agar memiliki wawasan baru betapa keterampilan menulis (surat pembaca, blog, artikel, surat cinta, sd surat lamaran) adalah senjata survival mereka dalam percaturan dunia datar yang mengglobal ini.
Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer Sinar Nusantara, Solo, tanggal 30 September 2009, memberi saya podium untuk berbagi wawasan dengan mereka. Terima kasih untuk Sadrah Sumariyarso dari PasarSolo yang telah memberi saya kepercayaan yang mulia ini.
Bocoran : di depan mahasiswa itu saya akan bercerita tentang kisah sukses non-linear dari pacarnya Sherina, yang menulis buku berjudul Babi Ngesot : Datang Tak Diundang, Pulang Tanpa Kutang.
Hal lain : saya memimpikan bisa membaca buku baru, terbitan Harvard (2009), karya John Mullins dan Randy Komisar, Getting The Plan B : Breaking Through to a Better Business Model.
Isinya membahas rahasia dibalik sukses iPod-nya Apple, Skype sampai Paypal. Siapa tahu, dengan ditulis akan membuat impian ini lebih mudah direalisasikan.
Terakhir : Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Sejahtera bagi Anda semua dan keluarga.
Wassalam,
Bambang Haryanto
Wednesday, September 16, 2009
Print is Dead, Surat Pembaca dan Promosi Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment