Tuesday, January 12, 2010

Kontroversi Goblog Dalam Buku : Suharto versus Gus Dur

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Soeharto benar-benar gondok. Marah besar sama Gus Dur.

Karena menurutnya Gus Dur telah berbicara kepada wartawan asing, Adam Schwarz, yang menyatakan bahwa anak petani kelahiran Kemusuk, Godean, dan pernah tinggal di kota kelahiran ayah saya, Wuryantoro, serta bersekolahnya di kota saya Wonogiri, lalu menjadi diktator paling lama memerintah itu, disebut sebagai goblog.

Ungkitan cerita perseteruan dua mantan presiden kita itu saya baca dari artikel Siswono Yudo Husodo, berjudul “Gus Dur dan Pak Harto,” di Suara Merdeka, 4/1/2010 : 6. Saya membacanya di Perpustakaan Umum Wonogiri, 6/1/2010.

Menurut cerita Pak Siswono, suatu peristiwa Gus Dur titip pesan kepada beliau agar diteruskan kepada Pak Harto. Isinya, bahwa kyai petinggi NU ini ingin menghadap. Tetapi Pak Harto tak berkenan saat itu. Alasannya ?

Jenderal besar yang tinggal di jalan Cendana itu lalu merujuk kepada isi bukunya Adam Schwarz, A Nation In Waiting : Indonesia In The 1900s (1994).

Menurut paparan Pak Siswono, dalam buku karya wartawan majalah Far Eastern Economic Review yang berbasis di Hongkong itu tertulis kalimat, “That is the stupidity of Soeharto that he did not follow my advice.” Itulah kebodohan Soeharto yang tidak mengikuti nasehat saya.

Ketika kalimat ini dikonfirmasikan kepada Gus Dur, santri humoris ini berusaha menjelaskan bahwa sang pengarang bersangkutan salah kutip. Karena menurut Gus Dur, yang ia katakan selayaknya berbunyi : “That is my stupidity that I do not advice Soeharto.” Itulah kebodohan saya bahwa saya tidak memberi saran kepada Suharto.

Pak Siswono lalu mengutip kata Gus Dur saat itu, bahwa “Tentu saya mengerti kalau Pak Harto tersinggung berat atas kesalahan penulisan itu.”

Kedua mantan presiden kita itu telah berpulang.


Militan vs moderat. Tergerak isi artikel Pak Siswono itu, yang menulis judul bukunya Adam Schwarz itu dengan Nation In Waiting (tanpa “A”), saya mencoba membolak-balik buku hadiah dari Mas Bambang Setiawan, wong Wonogiri yang tinggal di Jakarta, yang ia berikan kepada saya 8 Januari 2006 itu.

Boleh jadi karena kegoblogan diri saya, saya hanya menemukan lema “stupid” yang relevan pada halaman 188. Lema itu termuat dalam konteks terjadinya perbenturan antara muslim militan yang disebut oleh Gus Dur diwakili oleh organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) versus muslim moderat termasuk dirinya.

Menurut Gus Dur, proses demokratisasi harus dimulai dengan penguatan nilai-nilai demokrasi pada tingkat akar rumput, di mana nilai-nilai ini telah diperlemah selama tiga puluh tahun oleh hukum dari penguasa yang otoriter. Apa yang kita butuhkan, demikian keyakinan Gus Dur, adalah pendekatan demokratisasi bottom-up, bawah-atas, yang isinya diperdebatkan secara terbuka.

Bila nilai-nilai demokrasi itu hadir, ia percaya, perubahan politik secara gradual pun akan terjadi seiring terserapnya pandangan terhadap demokrasi yang meluas dan difahami. Pendekatan top-down, atas-bawah, melalui sesuatu kelompok tertentu dengan melimpahinya legitimasi dan pengaruh, sebagaimana Gus Dur melihat apa yang dilakukan Soeharto dengan menganakemaskan keberadaan ICMI, menurutnya hal itu justru berlawanan dengan asas-asas demokrasi yang sejati.

“Bagi Soeharto, ICMI merupakan bulan madu yang pendek. Ia berfikir bahwa dirinya mampu mengontrol (kaum modernis di ICMI) bila mereka bertindak terlalu jauh. Saya kuatir strategi ini akan gagal…Muslim moderat akan menang apabila sistemnya bebas tetapi problemnya Soeharto justru membantu muslim militan…Kita butuh waktu untuk mengembangkan toleransi beragama yang penuh berdasarkan kebebasan berkeyakinan. Sebaliknya Soeharto justru memberikan peluang kepada sekelompok muslim, terutama kelompok militan yang menganut faham bahwa Islam merupakan solusi untuk seluruh problem dalam modernisasi.”

Demikian tutur Gus Dur dalam wawancara 29 April 1992 dan 9 Juli 1992.

Adam Schwarz lalu meneruskan, bahwa dalam wawancaranya dengan Gus Dur di bulan Maret 1992 ia sempat menanyakan mengapa pandangannya itu tidak akan digubris oleh Soeharto.

“Ada dua hal,” sahut Gus Dur.

Lanjutannya akan saya kutip dalam bahasa aslinya buku ini seperti tertera di halaman 188 : “Stupidity, and because Soeharto doesn’t want to see anyone he doesn’t control grow strong.”

Kini keduanya sedang ramai menjadi wacana yang ramai di masyarakat saat diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.


Wonogiri, 13 Januari 2010


tmw

No comments:

Post a Comment