Monday, March 08, 2010

Facebook dan Peluang Dua Bisnis Besar

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Sinetron tolol itu saya lihat tak sengaja di warnet Telkomnet. Di Wonogiri. Ketika menunggu antrean, sambil membaca-baca brosur pelbagai jasa Telkom, akhirnya televisi yang hidup di ruangan itu merenggut perhatian.

Adegan dalam sinetron yang tertayang di RCTI, Jumat malam itu, dan saya tidak tahu judulnya, mengingatkan saya akan isi wawancara wartawan harian Kompas Dahono Fitrianto dengan aktor Tio Pakusadewo.

Seperti termuat di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 : 23, dalam menjawab pertanyaan apa aktor zaman sekarang ada yang tidak cerdas, Tio mengatakan : “Banyak sekali yang tolol. Ada ekspresi tolol yang diucapkan, dia biarkan saja…. Di sinetron, (adegan konyol) yang sering terlihat, misalnya kita sudah tahu apa yang terjadi, tetapi ditambahi suara monolog yang seperti suara dalam hati itu. Aduh, itu paling sering dibuat dan diulang, dan itu pembodohan yang sangat luar biasa.”

Adegan seperti itulah yang saya tonton malam itu. Aktor kelahiran Jakarta 2 September 1963 yang juga pernah mencoba sebagai hacker itu, tambah menarik jawabannya ketika dicecar pertanyaan terkait persiapan yang harus dimiliki seseorang yang ingin menjadi aktor.

Jawab Tio : “Harus bercermin dulu. Lihat dulu ke diri sendiri, digali dulu, kasih kuesioner kepada diri sendiri. Kira-kira mampu engga saya mencapai keaktoran ? Artinya di harus tahu diri dulu, cukup cerdaskah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya ? Modal paling utama harus cerdas. Sebab kalau kurang-kurang, ya, jangan mimpi dulu, sebab akan merepotkan yang lain.”

Sebagai pencinta humor dan komedi, pendapat Tio itu menurut saya juga relevan untuk kancah mengundang tawa ini. Tinggal kata-kata “aktor” tersebut tinggal diganti dengan “komedian,” beres sudah. Karena hal parah yang sama rasanya juga berlaku dalam dunia komedi kita.

Sementara nasehatnya bagi calon aktor untuk terlebih dahulu menggali diri sendiri, melakukan self-assessment atau soul-searching itu sebenarnya merupakan hal yang universal bagi setiap insan dalam mengarungi kehidupan. Dengan menyelami dirinya sendiri secara jujur, ia akan mengetahu aspirasi, impian, kelebihan atau pun kekurangannya, sehingga dirinya akan mampu menempatkan diri sebagai pribadi yang unik di tengah milyaran umat manusia di dunia ini.

Buku suci kehidupan. Di kampus-kampus negara maju, Amerika Serikat misalnya, minimal mahasiswa akan memperoleh himbauan untuk melakukan tes evaluasi diri mereka sendiri. Salah satu panduannya adalah buku terkenal What Color Is Your Parachute ? : A Practical Manual for Job-Hunters & Career Changers (Ten Speed Press, Tahunan). Pengarangnya Richard Nelson Bolles.

Kalau ingin lebih efektif lagi, buku diatas harus ditemani panduan yang lebih mendetil dari buku Where Do I Go From Here With My Life ? : A Very Sistematic, Practical and Effective Life /Work Planning Manual for Students, Instructors, Counselors, Career Seekers and Career Changers (1974). Pengarangnya tetap Richard Nelson Bolles beserta mantan agen CIA, almarhum John C. Crystal. Penerbitnya juga Ten Speed Press.

Prosesnya seperti kita menyusun daftar riwayat hidup. Tetapi dengan pendekatan secara lahir dan batin. Mungkin dalam kosmologi Jawa disebut sebagai mempersoalkan sangkan paraning dumadi. Kalau sudah selesai, kita akan memperoleh otobiografi kerja kita masing-masing kira-kira setebal 100 sampai 200 halaman.

Keunikan masing-masing diri kita kemudian telah terpetakan, demikian pula cita-cita beserta impian yang akan kita raih selama kita hidup di dunia ini. Tanpa arah dan tujuan, kita seperti ikut dalam keriuhan lomba lari cross country di hutan, tetapi sama sekali tidak ada rambu atau pun tanda-tanda penunjuk jalan.

Setelah itu semua mantap, kita tinggal mengaktualisasikannya dengan bantuan pelbagai media yang ada. Termasuk pula dengan Facebook, media sosial yang sungguh benar-benar dahsyat manfaatnya itu.

Media berdarah-darah. Sayangnya, selama ini isu terkait Facebook yang lebih sering muncul dan menonjol di media massa adalah hal-hal yang negatif saja. Bisa dimaklumi, karena begitulah mindset media massa. Selain mengugemi pakem 5W+1H, mereka kini getol menambahnya dengan 1 W lagi. Wow. Menu utamanya adalah berita-berita kerusuhan. Bentrokan. Bencana. Kematian. Darah. Ancaman.

Termasuk getol mengambil sudut pandang dengan fokus tentang kejelekan atau ancaman yang berpotensi dimiliki oleh media-media sosial itu, boleh jadi karena media-media sosial tersebut merupakan ancaman kuat bagi media-media lama , media-media mainstream yang sering diledek sebagai media lame stream itu.

Kasihan bener pergulatan media-media mainstream yang lamban itu. Aksi mereka untuk mempertahankan hidup sering nampak tersaji lucu-lucu. Termasuk misalnya melakukan kampanye gencar agar anak-anak sekolah (kembali) membaca dan mencintai koran. Ada yang lewat kompetisi basket, lomba bikin situs, lomba majalah dinding, pelatihan sampai outbound, dan sejenisnya.

Seorang maverick Internet dari majalah gaya hidup Internet Wired, Kevin Kelly, pernah saya kutip dalam artikel "Solocon Valley" (Kompas Jawa Tengah, 5/8/2006), pantas kita dengar pendapatnya. Ia telah mengutip kesimpulan Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, bahwa rumus aktual masa kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Itulah yang banyak dilakukan secara keblinger oleh pengelola surat-surat kabar di Indonesia, hanya karena media lain melakukannya. Mereka berupaya menimbun lubang, abyss, yang tak berdasar itu.

Seharusnya mereka mencari peluang, dengan mempercayai jaringan, network mereka. Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan (istilah dari Kevin Kelly) di era Internet ini yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan, repetisi, sekuel, kopi-mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya.Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya !

Repotnya banget, apakah sistem dan atmosfir pendidikan kita selama ini telah memupuk segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinasi tersebut pada anak didik ? Sebagai mantan mentor melukis anak-anak, setiap kali membaca koran tentang lomba mewarnai, saya merasakan ada ribuan Picasso-Picasso dan Einstein muda yang terbantai di sana.

Pembantaian terhadap rasa percaya diri anak-anak untuk tegak menjadi insan-insan berpikiran mandiri dan kreatif ini rasanya justru jarang masuk radar para guru, psikolog, seniman, dan juga insan-insan perguruan tinggi seni kita.

Pembantaian jenis lain juga diam-diam terjadi bagi kita-kita yang memiliki akun Facebook ini. Kalau para konsultan karier di pelbagai negara maju berujar bahwa media sosial seperti blog, Facebook dan Twitter merupakan sarana ampuh untuk mengedepankan masing-masing subject matter expertise kita, tetapi yang sering banyak terjadi adalah pesan-pesan atau tulisan yang egosentris.

Facebook banjir tulisan status yang semata mendongkrak ego kita, karena memang hanya kita sendiri yang pantas sebagai audiensnya. Tulisan tersebut benar-benar melupakan segi manfaat bagi orang lain yang membacanya.


Sebuah artikel kontroversial yang ditulis Nukman Luthfie berjudul Blog Memang Tren Sesaat, yang mengisahkan konon turun pamornya blog secara kuantitatif akibat tergusur popularitas Facebook dan Twitter, telah memicu beragam komentar.


Misalnya “ogiexslash” (#4) menulis : “Bagi saya mau trennya turun, yang penting nge-BLOG, FB isinya kebanyakan curhat2an saja…lama-lama bosen.”

Sementara “Moch Ata” (#15) bilang : “ Ngeblog, separah-parahnya ngeblog pasti ada satu pesan berisi pengetahuan yang ingin blogger bagi. Coba tengok update Facebook teman-teman kita, saya sampai muak, dan sama sekali tak ada sebuah knowledge yang bisa kita dapat. “

Mungkin sudah ratusan, ribuan dan bahkan milyaran jam telah dihabiskan untuk urusan egosentris itu. Karena memang asyik saat mengelus-elus ego kita sendiri. Mungkin rasanya seperti naik kuda-kuda kayu, atau kursi goyang. Kita bergerak, mungkin juga berkeringat, tetapi nowhere, tidak pernah kemana-mana.

Terakhir, bagi saya, dalam Facebook terbuka dua bisnis besar.

Pertama, mereka yang berbisnis menakut-nakuti orang lain dengan bercerita tentang ancaman dan bahayanya. Kedua, kubu yang memberi tahu tentang manfaat dan cara-cara memanfaatkannya. Saya tidak tahu, tulisan saya ini masuk aliran yang mana. Anda punya pendapat ?


Wonogiri, 6-7 Maret 2010

No comments:

Post a Comment